Berpikir Sampai Berkeringat!

0

(Mengenang Budayawan Radhar Panca Dahana)

Oleh : Nasrullah

“INI dari Radhar…” kata sang pemilik suara dari kejauhan melalui panggilan telepon selular. Saya langsung teringat kenangan panggilan telepon tahun 2017 itu, begitu mendengar kabar budayawan Radhar Panca Dahana (RPD) yang meninggal dunia 21 April 2021 lalu.

WAKTU itu, suara saya tertahan sejenak begitu menyadari siapa yang menjadi lawan bicara. Bagaimana tidak, selain nama besar RPD sebagai budayawan, juga Mas Radhar, demikian saya memanggilnya, yang mengundang langsung untuk mengikuti acara Mufakat Budaya (MBI).

Bahkan, Mas Radhar menimpali dengan pesan pendek melalui layanan WhatsApp memastikan jadwal keberangkatan dan kepulangan serta penulisan nama sesuai KTP. Maka tulisan mengenang RPD ini secara khusus saya kaitkan dengan beberapa pertemuan dalam kegiatan MBI tersebut.

Tahun 2017, merupakan kali kedua saya mengikuti acara MBI.  Pertama kali saya mengikuti acara tersebut di Manado pada tahun 2014 di Manado. Pertama kali itu pula saya bertemu langsung dengan Mas Radhar. Sejak itu, muncul kebiasaan saya mengajak beliau berfoto berdua yang dari tahun ke tahun gaya kami di depan kamera tidak berubah: berdiri kaku menatap ke depan. Tak ada tangan mengepal ke depan ataupun gerakan atraktif penuh gaya, kami hanya berdiri dalam posisi “siap grak” nyaris mematung. Entah apa maknanya?

Mewariskan Pemikiran

Melalui MBI itulah Mas Radhar selaku penggagas dan pelaksana kegiatan, selalu mengingatkan pentingnya pertemuan tersebut. “Sumber daya alam mungkin habis, dan tidak bisa kita wariskan untuk generasi akan datang. Maka yang bisa kita wariskan adalah pemikiran” kira-kira demikianlah penggalan sambutan beliau.

Barangkali nama besar RPD membuat berbagai tokoh hadir dalam acara MBI. Mereka ada yang dari akademisi berbagai keilmuan: politik, agama, sejarah, hingga pemikir militer, lalu tentu saja seniman, pelukis, budayawan. Begitu pula tokoh berbagai agama di Indonesia hadir dalam kegiatan MBI tersebut. Namun untuk mengelola lontaran pemikiran, sekaligus berupaya mewariskan ini tak luput dari kritik. Ada yang menganggap MBI yang digelar itu adalah bentuk top down, padahal anggapan tersebut merupakan suatu kekeliruan.

BACA : Digarap Sejak 2008, Micky Hidayat Akhirnya Luncurkan Buku Leksikon Penyair Kalimantan Selatan

Apakah pakar yang diundang itu datang dari negeri antah-berantah yang datang ke dengan pikiran dari dunia lain, dan tidak mengetahui keadaan sosial budaya di tempatnya, di bumi Indonesia ini? Mereka itu justru menjadi mata, telinga, mulut, hidung, bahkan segenap panca indera yang merasakan berbagai fenomena dan persoalan kebudayaan di masyarakat.

RPD dalam berbagai artikelnya seperti di kolom opini harian Kompas maupun melalui chanel youtubenya, menggambarkan tragedi kebudayaan dari berbagai peristiwa kecil yang terjadi di tengah masyarakat.  Ia menggambarkan tentang sikap pengendara yang seenaknya di jalan raya. Di tulisan lain, ia menyampaikan seorang warga menjadi korban main hakim sendiri. Bahkan tragedi kebudayaan demikian, muncul dari persoalan gagalnya masyarakat menertawakan ketidakmampuan dirinya sendiri.

Mufakat Style Radhar

Dalam pertemuan MBI di Yogyakarta tahun 2017 bertepatan bulan Ramadhan, dan dihadiri berbagai tokoh agama, budayawan, intelektual, hingga seniman, RPD menegaskan agar peserta “berpikir sampai berkeringat”. Sepanjang agenda pertemuan tersebut, tidak ada waktu untuk berleha-leha kecuali waktu istirahat selebihnya dengan jadwal ketat digunakan untuk berdiskusi. Pertemuan pemikiran tersebut ibarat makanan sebelum ditelan, terlebih dahulu dikunyah sedemikian kuat dan deras melalui pertanyaan kritis hingga menghasilkan saripati sebagai ide, gagasan atau abstraksi pemikiran.

Kegiatan MBI tersebut bagi saya menarik dalam dua hal. Pertama, masih jarang terselenggaranya kegiatan pertemuan para pemikir dari berbagai lintas disiplin ilmu, antar tokoh agama dan berbagai profesi lain yang duduk bersama dan menyampaikan pemikiran paling radikal sekalipun dalam ranah kebudayaan demi keutuhan bangsa ini.

Sumber foto : Ngopibareng.id

Kedua, diskusi untuk mempertemukan berbagai pemikiran yang menggunakan istilah Claude Lévi–Strauss antropolog barat yang terkenal dengan teori strukturalisme budaya bukan pada tataran surface structure (struktur permukaan), sebab permukaan itu bisa menipu. Para peserta diajak menukik menyelami pada bagian dasar kebudayaan sebagai bentuk dari deep structure (struktur dalam). Oleh Ahimsa Putra (2006) dalam buku Strukturalisme Lévi-Strauss Mitos dan Karya Sastra, struktur dalam ini dapat disusun dengan menganalisis membandingkan berbagai struktur luar yang berhasil ditemukan atau dibangun.

BACA JUGA : 47 Penyair Lintas Tiga Negara, Semarakkan Hari Puisi Internasional

Atau, dengan istilah lain, sebagaimana digunakan Cassirer (1987) dalam buku Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei tentang Manusia adalah berada pada ruang abstrak yang dilakukan melalui proses berpikir yang sukar dan amat kompleks. Lebih lanjut dijelaskan idea inilah yang membuka jalan tidak hanya pada medan baru berupa pengetahuan tetapi ke arah yang sama sekali baru, yakni budaya. Dengan demikian, semua orang dapat melihat dan menceritakan suatu fenomena tetapi untuk menangkap makna di balik fenomena itu tidak semua orang mampu melakukannya.

Jika melihat pandangan Geertz berdasarkan Max Weber, bahwa manusia adalah seekor binatang yang bergantung pada jaringan-jaringan makna yang ditenunnya sendiri sebagaimana dalam terjemahan buku Tafsir Kebudayaan (1991), tapi jangan lupa, Geertz melanjutkan bahwa analisis atasnya lantas tidak merupakan sebuah ilmu eksperimental untuk mencari hukum melainkan  sebuah ilmu yang bersifat interpretatif untuk mencari makna. Jadi, tugas pemikir budaya lah menangkap makna itu dengan memahami logika jauh di balik sebuah fenomena yang berlangsung.

Dengan demikian, sebuah diskusi tidak cukup membicarakan fenomena yang terlihat dari luar, sebagai puncak gunung es, tapi harus menembus kedalaman dan mengungkap misteri besar yang mesti diungkap. Maka diskusi-diskusi serius para ahli yang memikirkan berbagai persoalan kebudayaan dan penyelesaiannya tidak lain adalah pandangan individu yang subjektif, tetapi ketika saling bertemu menjadi pandangan intersubjektif bermuara pada lahirnya ide. Diskusi kebudayaan yang lebih intens dan mendalam sangat dibutuhkan agar bangsa ini tidak hanya bekerja dengan otot tapi dengan otak untuk berpikir.

Lalu Siapa Radhar?

Dalam MBI, Mas Radhar mengambil peran sentral. Ia sekaligus sebagai pemantik untuk menyampaikan isu-isu terkait persoalan kebudayaan dan hubungannya dengan isu global serta apa yang dialami bangsa Indonesia. Mas Radhar juga berperan sebagai moderator merangkap sebagai ‘notulen’ tetapi ia tidak sekedar mencatat melainkan membuat otak peserta harus berpikir keras dengan feedback pertanyaan-pertanyaannya terhadap statemen atau argumentasi peserta tersebut.

Bahkan ketika statement penting peserta telah tercatat, Mas Radhar langsung mengabstraksikannya. Sehingga kalimat yang kita sampaikan telah berubah menjadi kalimat yang berbobot, bermakna dan bukan sekedar menambah kuantitas kata-kata.

BACA JUGA : Kenangan Persahabatan Sastrawan Hijaz Yamani dan Subagio Sastrowardoyo

Kini RPD telah tiada, sebuah kenangan lain yang masih tersimpan dalam smartphone adalah pesan lebaran 1440 H. Saya mengirimkan ucapan selamat lebaran tanpa berharap banyak akan dibalas, atau seperti segelintir orang membalas dengan jawaban pendek “idem” atau “dengan ucapan yang sama…” Namun kenyataannya Mas  Radhar membalas dengan serius “Idul fitri adalah saat paling tepat mengingatkan kita untuk tidak hidup berlebih. Begitupun kerap saya berlebihan dalam berkata, bersikap dan bertindak, sengaja maupun tidak.

Untuk itu, Saudaraku, mohon saya dimaafkan dan diikhlaskan. Selamat lebaran berkah dan rezeki-Nya semoga selalu ada padamu sekeluarga, Saudaraku. Radhar Panca Dahana dan keluarga.” (jejakrekam)

Penulis adalah Antropolog pada Prodi Pendidikan Sosiologi FKIP ULM

(Isi dari artikel ini sepenuhnya tanggungjawab penulis bukan tanggung jawab media)

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2021/04/25/berpikir-sampai-berkeringat/

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.