Pakar Hukum ULM Sebut Putusan PSU Pilgub Kalsel Coreng Wajah Demokrasi Banua

0

PUTUSAN pemungutan suara ulang (PSU) yang telah diputuskan majelis Mahkamah Konstitusi (MK) baik untuk pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur (Pilgub) Kalimantan Selatan dan Walikota-Wakil Walikota Banjarmasin (Pilwali), dinilai mencoreng wajah demokrasi Banua.

PAKAR hukum administrasi Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Prof HM Hadin Muhjad mengatakan jika diamati dari putusan MK lewat putusan bernomor 124/PHP.GUB-XIX/2021, soal hasil Pilgub Kalsel, membuktikan jika mahkamah justru mengembalikan masalah itu ke daerah.

“Ya, jika kita amati apa yang disorot MK, memang cukup rasional. Namun, MK justru mengembalikan masalah itu ke Kalsel sendiri. Tapi, putusan MK itu juga agak aneh, jika dianggap sebagai pelanggaran, mengapa harus pemungutan suara ulang? Harusnya tidak perlu diulang, kalau itu masuk kategorinya pelanggaran,”  ucap Hadin Muhjad kepada jejakrekam.com, usai diskusi terpumpun helatan Yayasan Demokrasi, Hukum dan Hak Asasi Manusia (YDH’HAM) di Hotel BW Kinday, Banjarmasin, Rabu (31/3/2021) lalu.

Guru besar Fakultas Hukum ULM menilai kesan kuat MK memang tak ingin sendirian memutus soal sengketa hasil Pilgub Kalsel, hingga melahirkan putusan PSU di tujuh kecamatan di tiga daerah (Banjarmasin, Banjar dan Kabupaten Tapin).

“Nah, kalau itu misalkan dianggap sebagai pelanggaran, harusnya putusan MK itu mendiskualifikasi (calon). Padahal, jika kita pelajari dari kasus-kasus yang terungkap di MK, justru merupakan sebuah pelanggaran. Inilah ganjilnya,” papar Hadin.

BACA : Berebut 281.636 Pemilih PSU dari 7 Kecamatan, BirinMu atau H2D yang Menang?

Lantas bagaimana dengan putusan PSU? Mantan Ketua Panwaslu Kalsel mengatakan dengan digantinya KPPS dan jaringan penyelenggara pilkada terlibat pada 9 Desember 2020 lalu diganti dengan wajah baru, sehingga harus menunjukkan integritas penyelenggara pemilu.

“Saya sepakat dengan pernyataan para pakar lainnya yang menyatakan putusan PSU justru mencoreng wajah demokrasi Banua, terutama penyelenggara pilkada yakni KPU Kalsel yang dianggap tidak becus,” cetus Hadin.

Untuk itu, mantan Rektor Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Kalsel ini meminta agar semua pihak, baik kontestan pilkada, penyelenggara dan masyarakat untuk menjaga PSU berjalan sesuai koridor.

Menariknya, Hadin justru mengamati putusan PSU di Pilwali Banjarmasin tertuang dalam putusan MK bernomor 21/PHP.KOT-XIX/2021, terkesan dipaksakan. Ini karena, PSU hanya berlangsung di tiga kelurahan di Banjarmasin Selatan, yakni Kelurahan Mantuil, Kelurahan Murung Raya dan Kelurahan Basirih Selatan.

“Misalkan, PSU di saat pemungutan suara ada masalah. Ada salah satu pertimbangan putusan MK, seperti anggota Bawaslu Banjarmasin diduga menjadi anggota grup, lantas apa kaitannya? Lalu, soal verifikasi KTP, memang sudah ditemukan? Kalau ternyata kasus pemilih yang ada di TPS, di luar dari daftar pemilih tetap (DPT), lantas dipermasalahkan verifikasi. Jadi masalah, ketika verifikasi KTP atau pemilih tidak terdaftar di DPT,” ucap Hadin.

BACA JUGA : Putusan MK soal Gugatan AnandaMu: KPU Banjarmasin Diminta Gelar PSU di Tiga Kelurahan

Senada itu, pakar komunikasi politik FISIP ULM Dr Fahrianoor pun menilai putusan PSU jelas mencoreng wajah penyelenggara pilkada, terutama KPU Kalsel.

Doktor lulusan Universitas Padjadjaran Bandung ini mengakui adanya putusan PSU yang menjadi sejarah buram bagi demokrasi di Banua, sehingga makin menguatkan dugaan adanya praktik culas atau curang.

“Ini juga membuktikan jika selama ini parpol yang harusnya menjadi wadah kaderisasi calon pemimpin tak jalan, malah berada di bawah aktor politik. Ya, kalau diistilahkan dikendalikan para oligarki,” kata Fahrianoor.

Hal senada ini juga dilontarkan pakar hukum tata negara FH ULM, Dr HM Ichsan Anwary bahwa putusan PSU menguatkan adanya praktik yang salah dalam penyelenggara pilkada di Kalsel. (jejakrekam)

Penulis Rahim/Didi GS
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.