Melacak Kajian Akademis tentang (Islam) Banjar (2-Habis)

0

Oleh : Prof. Dr. H. Mujiburrahman MA

SARJANA Indonesia sendiri juga banyak yang melakukan kajian akademis mengenai masyarakat Banjar. Barangkali tokoh yang paling terkemuka adalah sejarawan M. Idwar Saleh.

DIA banyak menulis buku dan artikel tentang sejarah dan budaya Banjar, termasuk Perang Banjar. Mungkin, dialah pula orang Indonesia pertama yang menulis tentang Banjar di tingkat internasional. Dosen Universitas Lambung Mangkurat ini menulis artikel tentang Perang Banjar berjudul “Agrarian Radicalism and Movements of Native Insurrection in South Kalimantan (1858-1865)” yang terbit di jurnal Perancis, Archipel, pada 1975. Judul artikel ini juga mengingatkan kita pada kecenderungan kajian sejarah pada masa itu, yang mungkin dipengaruhi oleh sejarawan alumni Belanda dan dosen Universitas Gadjah Mada, Sartono Kartodirdjo, yang menulis disertasi dan terbit pada 1966 dengan judul mirip, The Peasant’s Revolt of Banten in 1888.

Generasi berikutnya antara lain adalah M. Ramli Nawawi, Yustan Aziddin, Gazali Usman, Suriansyah Ideham, Syamsiar Seman, Yusliani Noor, Wajidi, M. Zainal Arifin Anis, Syaharuddin (lihat Ideham, Syarifuddin, Anis dan Wajidi 2015). Dosen Universitas Lambung Mangkurat lainnya, Noerid Haloei Radam, pada 2001 menerbitkan hasil penelitiannya berjudul Religi Orang Bukit yang merupakan kajian yang serupa sekaligus berbeda dengan karya Anna Tsing tentang budaya Dayak Meratus, termasuk hubungannya dengan orang Banjar.

Penting pula ditambahkan di sini karya Abdurrahman, dosen Universitas Lambung Mangkurat yang juga hakim agung, yang merintis kajian terhadap Undang Undang Sultan Adam dalam beberapa tulisannya yang terbit pada 1977 dan 2011. Pada 2009, Taufik Arbain menerbitkan buku berjudul Strategi Migran Banjar, yang semula merupakan tesisnya di Universitas Gadjah Mada. Buku ini membahas orang-orang migran Banjar di Palangka Raya, Kalimantan Tengah, dalam hubungannya dengan etnis Dayak, khususnya pasca konflik etnis Madura-Dayak di Sampit.

BACA : Melacak Kajian Akademis Tentang (Islam) Banjar (1)

Tentu saja yang istimewa adalah disertasi Helius Sjamsuddin yang sudah disebutkan di atas, yang mengkaji sejarah Perang Banjar. Terjemahan disertasi ini pertama kali diterbitkan oleh Pustaka Jaya pada 2001, kemudian oleh Penerbit Ombak pada 2014. Yang terbaru adalah skripsi Muhammad Iqbal di Universitas Negeri Yogyakarta pada 2009 yang kemudian diterbitkan pada 2021 berjudul Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Soekarno di Amuntai 27 Januari 1953.

Selain kajian historis dan sosio-antropologis di atas, yang amat penting juga adalah kajian bahasa Banjar. Bagaimanapun, bahasa Banjar merupakan ciri identitas etnis yang sangat penting. Dalam kajian bidang ini, kita berhutang banyak kepada sejumlah dosen Universitas Lambung Mangkurat. Salah seorang di antaranya adalah Abdul Djebar Hapip, yang menulis Kamus Banjar Indonesia, terbit pertama kali pada 1977 oleh Pusat Bahasa, kemudian pada 1994 oleh Almamater Press dan pada 1997 oleh Grafika Wangi Kalimantan, yang terus mengalami cetak ulang.

Pada 2001 sampai 2008, sebuah tim yang dipimpin oleh Dendy Sugono membuat Kamus Indonesia-Banjar Dialek Kuala yang kemudian diterbitkan oleh Balai Bahasa Banjarmasin pada 2008. Dosen Universitas Lambung Mangkurat lainnya, yang memberikan perhatian pada kajian ilmiah terhadap bahasa Banjar antara lain adalah Djantera Kawi, yang menulis Telaah Bahasa Banjar, terbit pada 2011 dan Rustam Effendi yang menulis Sastra Banjar, Teori dan Interpretasi, terbit pada 2011. Dua akademisi yang lebih muda, yakni Sainul Hermawan, dosen Universitas Lambung Mangkurat, menulis Maitihi Sastra Kalimantan Selatan 2005-2007, terbit pada 2007, dan Jamal T. Suryanata, dosen Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Banjarmasin, menulis Sastra Banjar: Refleksi Historis dan Tinjauan Kritis, terbit pada 2015.

BACA JUGA : Tahun Depan Kawasan Sekumpul Dipercantik Dilengkapi Museum Peradaban Islam Banjar

Untuk kajian keislaman orang Banjar, tampaknya perhatian yang besar dicurahkan oleh para sarjana kita kepada Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, baik berupa usaha menyusun riwayat hidupnya ataupun mengkaji karya-karyanya. Mungkin, karya akademis paling awal berupa skripsi yang ditulis tentang Riwayat hidup Syekh Arsyad adalah karya Zafry Zamzam yang selesai ditulis pada 1972 dan terbit pertama kali pada 1974 oleh Penerbit Karya, dan diterbitkan ulang pada 2018 oleh Antasari Press pada peringatan seratus tahun kelahirannya dan menghormatinya sebagai rektor pertama IAIN Antasari. Pada 1977, Ramli Nawawi menulis skripsi di Universitas Lambung Mangkurat tentang Syekh Arsyad pula. Ada beberapa tulisan lagi tentang Syekh Arsyad, tetapi tidak ditulis oleh kalangan akademisi seperti yang ditulis oleh Ahmad Basuni, Jusuf Halidi, Abu Daudi dan Wan Mohd. Shaghir Abdullah.

Selain kajian biografis, ada pula kajian terhadap karya-karya Syekh Arsyad. Misalnya yang dilakukan oleh M. Asywadie Syukur pada 1990 tentang Kitab Tuhfat al-Râghibîn, yang kelak juga ditulis oleh Noorhaidi Hasan dan terbit di jurnal BKI Belanda pada 2007. Pada 1989, satu tim peneliti yang terdiri dari dosen-dosen IAIN Antasari membuat laporan penelitian tentang “Pemikiran-Pemikiran Keagamaan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari” yang kemudian pada 2019 lalu diterbitkan oleh Antasari Press. Pada 2005 telah terbit juga karya Muslich Shabir berjudul Pemikiran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari tentang Zakat, Suntingan Teks dan Analisis Intertekstual, yang semula merupakan disertasi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kemudian pada 2009, Khairil Anwar menerbitkan Teologi al-Banjari: Pemikiran Akidah Syekh Arsyad al-Banjari, yang semula merupakan disertasinya di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Patut pula disebutkan di sini bahwa Asywadie Syukur juga menerbitkan ‘terjemahan’ kitab Sabilal Muhtadin karya Syekh Arsyad. Yang terbaru, dosen UIN Antasari, Muhammad Iqbal, berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul “Arsyad al-Banjari’s Approach to Rationality: Argumentation and Sharia” di Universitas Lille pada 14 Januari 2021. Karya ini unik karena memadukan kajian usul fiqh klasik dengan filsafat modern.

BACA JUGA : Diperkenalkan Imigran Yaman, Batapih Menjadi Simbol Islamisasi Masyarakat Banjar

Selain Syekh Arsyad, banyak pula kajian akademis terhadap ulama-ulama Banjar. Di antara tokoh yang banyak dikaji adalah Syekh Muhammad Nafis al-Banjari. Pemikiran tokoh ini dibahas secara kritis dalam skripsi Laily Mansur di IAIN Antasari yang diterbitkan pada 1982, skripsi Ilham Mayskuri Hamdie di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 1989, tesis MA Abdul Muthalib di McGill University pada 1995, dan tesis dan disertasi Ahmadi Isa di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, berturut-turut pada 1990 dan 1996. Kajian tentang Syekh Nafis tertutama terfokus kepada karyanya, al-Durr al-Nafîs yang mengandung ajaran tasawuf wahdat al-wujûd yang kontroversial.

Beberapa pernyataan dalam kitab tersebut bagi sebagian ulama dianggap menyimpang dari ajaran Islam, sementara bagi ulama lain tidak. Salah satu ‘turunan’ dari kitab al-Durr al-Nafîs adalah Risalah Amal Ma’rifat yang ditulis oleh Syekh Abdurrahman Shiddiq al-Banjari. Risalah ini juga telah dikaji secara akademis, antara lain dalam bentuk skripsi di IAIN Antasari oleh Jamhari Arsyad pada 1985. Pada 1990-an hingga 2000-an, kajian-kajian tentang ulama Banjar, baik biografi dan pemikiran, terus berkembang. Tokoh yang paling terkemuka dan banyak dikaji adalah Tuan Guru H. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani yang akrab disebut Guru Sekumpul atau Guru Ijai.

Paling tidak, sudah ada dua disertasi tentang tokoh ini, yang ditulis oleh Mirhan AM, dosen UIN Antasari, dan Ersis Warmansyah Abbas, dosen Universitas Lambung Mangkurat. Juga ada berbagai kajian tentang ulama Banjar kharismatik lainnya seperti tentang Tuan Guru H. Ahmad Zuhdian Noor, Tuan Guru Haji Ahmad Bakhiet dan Tuan Guru H. Asmuni. Selain tokoh-tokoh besar ini, ada pula kajian biografis singkat ulama Banjar dari masa ke masa, yang semula diterbitkan atas inisiatif MUI Kalsel pada 2010, kemudian diterbitkan ulang edisi revisinya oleh UIN Antasari pada 2018.

BACA JUGA : Islam Banjar Perpaduan Kultur Demak dan Samudera Pasai

Kajian keislaman orang Banjar tentu tidak hanya terpusat pada seorang ulama sebagai pribadi, melainkan juga pada dinamika budaya masyarakat Muslim itu sendiri yang dipengaruhi Islam. Pada 1991, satu Tim Peneliti IAIN Antasari membuat laporan penelitian tentang sejarah organisasi Islam lokal bernama Musyawaratutthalibin. Penelitian ini sangat kaya dengan data berharga sehingga diterbitkan oleh Antasari Press pada 2019. Ada pula kajian historis tentang proses Islamisasi masyarakat Banjar abad ke-15 hingga ke-19 yang ditulis oleh sejarawan Universitas Lambung Mangkurat, Yusliani Noor dan terbit pada 2016 silam. Selain itu, terkait dengan ulama, namun tidak terfokus pada satu tokoh adalah kajian Rahmadi tentang Jaringan Ulama Banjar Abad XIX dan XX, yang diterbitkan Antasari Press pada 2010 dan diterbitkan ulang pada 2019.

Pada 2002, Raihani menulis tesis Master di University of Melbourne, Australia tentang kurikulum dua pesantren di Kalimantan Selatan, yaitu Pesantren Al-Falah Banjarbaru dan Pesantren Ibnul Amin, Barabai. Pada 2009, tesis ini diterbitkan dengan judul Curriculum Pesantren in the Indonesian Pesantren: A Study of Curriculum Development in Two Different Pesantrens in South Kalimantan. Pada 2009, Ahmad Muhajir menulis tesis di Faculty of Asian Studies, Australian National University berjudul “Tuan Guru and Politics in South Kalimantan: Islam in the 2005 Gubernatorial Elections” yang membahas peran ulama Banjar dalam politik lokal. Selain itu, banyak pula penelitian yang berupa survei dan pemetaan mengenai pengajian-pengajian tauhid, fiqh dan tasawuf dan kitab-kitab yang digunakan.

Sebagian besar penelitian tersebut tidak diterbitkan, namun ringkasan dan analisisnya ada yang saya tulis dalam artikel-artikel yang terbit di jurnal nasional (2013) dan internasional (2014 dan 2017). Yang patut disebutkan di sini pula adalah terjemahan Alqur’an ke bahasa Banjar, yang semula merupakan proyek kerjasama UIN Antasari dengan Balitbang Kemenag RI pusat, dan terbit pada akhir 2017. Namun, setelah diluncurkan versi elektroniknya pada 2018 dan dibaca publik, edisi awal ini banyak mendapatkan kritik dan saran.

Karena itu, sejak 2018 Tim UIN Antasari menyiapkan lagi edisi revisinya, dengan ditambah hiasan ornamen bernuansa Banjar. Tahun 2021 ini, edisi revisi tersebut diluncurkan. Saya juga menulis artikel akademis berbahasa Inggris tentang terjemahan ini sebagai salah satu bab buku yang terbit di Taiwan (2020).

BACA JUGA : Sentuhan Tangan HM Arip, Sang Ketua Pedoman Besar Sarekat Islam Banjarmasin

Yang paling menonjol dan kini menjadi ‘klasik’ adalah kajian Alfani Daud. Dosen IAIN Antasari dan mantan rektor ini memiliki ketertarikan yang besar terhadap pendekatan ilmu-ilmu sosial, khususnya antropologi dan sosiologi agama. Dia suka melaksanakan penelitian lapangan dengan bergaul dan bercengkrama dengan masyarakat yang diteliti sehingga berhasil mengumpulkan banyak data yang menarik dan kaya. Disertasinya di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang merupakan hasil penelitiannya di masyarakat Banjar dan juga Belanda, pada 1997 diterbitkan menjadi buku berjudul Islam dan Masyarakat Banjar.

Buku ini kiranya merupakan rujukan wajib bagi siapapun yang ingin mengkaji Islam di masyarakat Banjar. Karya-karya Alfani Daud lainnya ada dalam bentuk makalah-makalah, yang kumpulannya tengah disiapkan untuk diterbitkan Antasari Press. Adapun kajian antropologis-sosiologis setelah generasi Alfani Daud tampaknya semakin berkembang, baik mengenai Islam dalam budaya Banjar ataupun hubungan antar etnis Banjar dan Dayak Meratus. Di antara kajian tersebut adalah buku saya, Alfisyah dan Ahmad Syadzali berjudul Badingsanak Banjar Dayak (2011) yang diterbitkan CRCS Universitas Gadjah Mada, dan Moh Soehada berjudul Dalam Rengkuhan Diyang Panambi (2018) yang diterbitkan UIN Suka Press.

BACA JUGA : Datu Kandang Haji, Pengasas Pendidikan Islam Tertua Tanah Banjar

Sejumlah kajian akademis yang disebutkan di atas tentu tidak mencakup seluruh kajian yang telah ada. Namun, secara umum, baik kajian tokoh, biografi dan pemikirannya ataupun kajian sosial keagamaan masyarakat Banjar, termasuk hubungannya dengan etnis lain, telah berkembang pesat, khususnya di UIN Antasari. Hal ini dapat ditelusuri melalui judul-judul skripsi, tesis dan disertasi di kampus tersebut. Begitu pula, banyak artikel yang diterbitkan di jurnal-jurnal UIN Antasari, khususnya jurnal Khazanah dan Al-Banjari, juga membahas topik-topik seputar Islam di masyarakat Banjar. Jurnal lain di luar kampus, yang diterbitkan oleh Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) pada awal 2000-an bernama Kandil, juga memberikan perhatian kepada kajian-kajian tentang masyarakat Banjar.

Di sisi lain, masih ada sejumlah kelemahan yang perlu diperbaiki agar kajian-kajian itu semakin meningkat kualitasnya. Pertama, kesadaran akan kajian-kajian terdahulu masih kurang sehingga kadangkala terjadi kajian-kajian yang tumpang tindih. Ini tentu tidak sesuai dengan semangat ilmiah yang menekankan kebaruan dan orisinalitas. Kedua, pada umumnya para peneliti lemah dalam teori dan tidak mengikuti wancana akademik terbaru di bidang kajiannya.

BACA JUGA : Etnis Bakumpai Lebih Dulu Menganut Islam Dibanding Masyarakat Banjar

Akibatnya, kita kadang menemukan penelitian yang sangat kaya dengan data tetapi miskin analisis sehingga data tersebut tidak ‘bicara’ kepada kita. Ketiga, pada umumnya peneliti kita berorientasi ke dalam, tidak mau atau tidak mampu melihat keluar. Kita cenderung menerbitkan hasil penelitian untuk kita sendiri, bukan untuk ditelaah oleh sarjana-sarjana luar daerah kita apalagi luar negeri. Kita masih miskin kajian Banjar yang diterbitkan di tingkat internasional, baik dalam bentuk buku ataupun artikel jurnal. Keempat, kita belum memiliki agenda riset tentang Islam Banjar yang terencana dengan baik. Jarang sekali ada pemikiran mengenai topik-topik kajian yang disusun secara berurutan untuk dikaji secara bertahap. Hal inilah yang membuka pintu bagi kajian-kajian yang tumpang tindih dan kurang mengandung orisinalitas. Kelima, kerjasama lintas disiplin ilmu juga masih kurang.

Padahal, sekarang bukan saatnya lagi untuk berbangga dengan spesialisasi, lebih-lebih dalam kajian-kajian sosial-humaniora. Kerjasama lintas disiplin dan lintas universitas akan membantu kita melihat masalah dari berbagai sudut pandang, dan membuka pintu untuk saling belajar.

Dalam rangka mengembangkan kajian akademis tentang Islam Banjar dan masyarakat serta lingkungan Banjar pada umumnya, saya mengupayakan pembukaan pojok khusus, yaitu Banjar Corner dan Melayu Corner di Perpustakaan Pusat UIN Antasari yang diresmikan pada 25 Februari 2021. Di pojok ini dikumpulkan berbagai manuskrip dan karya tulis para ulama Banjar dan Melayu untuk bisa dipelajari dan dikaji secara ilmiah. Dua pojok ini sengaja disejajarkan karena etnis Banjar merupakan sub-etnik Melayu, dan bahasa Banjar sangat dekat dengan bahasa Melayu. Selain itu, para ulama Banjar banyak menulis karya mereka dalam bahasa Melayu menggunakan huruf Arab Melayu.

BACA JUGA : Di Era Sultan Suriansyah, Kerajaan Banjar Mulai Terapkan Hukum Islam

Sungguh menggembirakan bahwa inisiatif ini mendapat dukungan masyarakat, khususnya keluarga keturunan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, yang terbuka meminjamkan beberapa manuskrip langka karya beliau untuk difoto dan direpro. Juga diserahkan sejumlah manuskrip karya ulama keturunan Syekh Arsyad.  Selain itu, banyak pula kitab-kitab karya ulama Banjar, yang ditulis dalam bahasa Melayu ataupun bahasa Arab, yang sudah kami kumpulkan. Kami juga berhasil mendapatkan banyak manuskrip Islam Melayu dan karya-karya ulama Melayu yang diterbitkan oleh Khazanah Fathaniah, Malaysia.

Tak lupa pula karya-karya ulama dan cendekiawan Banjar modern, yang ditulis dalam huruf Latin, dalam bahasa Indonesia, Arab dan Inggris. Yang lebih penting lagi adalah koleksi laporan penelitian yang dilakukan oleh para dosen IAIN/UIN Antasari yang lumayan banyak. Sebagian kecil sudah disunting dan dipublikasi, sementara sebagian besar masih dalam bentuk laporan interim.

Kami juga meluncurkan edisi revisi terjemahan Alqur’an ke bahasa Banjar yang dihias ornamen ‘khas Banjar’, yang kiranya menjadi simbol perpaduan antara yang lokal dan global, yang normatif dan historis. Saya sengaja memberi tanda kutip untuk ‘khas Banjar’ karena ornamen itu adalah invensi dari para kaligrafer Sanggar al-Banjari UIN Antasari, yang menggabungkan seni ornamen kaligrafi dengan ukiran atap rumah Banjar lama.

Sebagian antropolog memang menyatakan bahwa tradisi adalah invensi, sesuatu yang ‘ditemukan’ oleh orang sekarang. Tradisi bukanlah sesuatu yang jauh di masa lalu, melainkan masa lalu yang hadir bersama kekinian kita dan mempengaruhi masa depan kita. Karena itu, maksud kita mengembangkan kajian (Islam) Banjar bukanlah untuk memuja masa lalu sehingga lupa masa kini, tidak pula untuk menyuburkan ego identitas etnis, melainkan untuk lebih memahami diri kita dan kemanusiaan kita, dan mengembangkannya menjadi lebih baik. Kita ingat bahwa pada 1930-an pernah terjadi polemik kebudayaan di Indonesia, apakah kita menuju kepada kebudayaan Barat atau Timur.

BACA JUGA : Islamisasi Tanah Banjar dan Gagalnya Raden Sekar Sungsang Dirikan Kerajaan Islam

Sutan Sjahrir kala itu dengan cerdas mengatakan bahwa kita sudah tak perlu berbicara Barat dan Timur, karena keduanya akan menjadi masa silam. Kelak di alam Indonesia merdeka, para seniman kelompok Gelanggang, pada 1950 membuat suatu pernyataan yang menarik: “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia, dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat” (Sani 1997: 3-4). Kita mengkaji (Islam) Banjar, tidak untuk “melap-lap” masa lalu hingga mengkilap. Kita hanya ingin memahami diri agar tidak tercerabut dari akar bumi di mana kita berpijak, dan pada saat yang sama kita tetap menatap masa kini dan masa depan dunia dengan kreatif.

Karena itu pula, kita sama sekali tidak menginginkan kajian (Islam) Banjar membuat kita berpikiran sempit seperti katak dalam tempurung atau jago dalam kandang. Kita justru berpikir sebaliknya, yakni dengan mempelajari masyarakat lokal, kita akan bisa memahami secara lebih baik persoalan nasional dan global. Kita ingin mencermati pohon-pohon, tetapi tidak melupakan bahwa pohon-pohon itu berada dalam satu hutan. Sebaliknya, kita juga tidak boleh terperdaya dengan pandangan nasional dan global sehingga mengabaikan keunikan dan keragaman di tingkat lokal. Universalitas dan partikularitas, kulliyât dan juz’iyyât, harus terhubung secara harmonis.

Kalau menggunakan terminologi Sufi, kita harus berusaha melihat yang satu (wahdah) di dalam yang banyak (katsrah), dan melihat yang banyak di dalam yang satu. Dalam kehidupan praktis, memang demikianlah adanya. Kita tidak bisa mencintai kemanusiaan kecuali melalui seorang manusia yang konkret. Kita tak bisa mencintai perempuan atau lelaki kecuali kepada perempuan atau lelaki yang nyata. Inilah sebabnya, filosofi keilmuan UIN Antasari antara lain adalah “Berbasis Lokal, Berwawasan Global.” (jejakrekam)

Penulis adalah Rektor UIN Antasari Banjarmasin

(Isi dari artikel ini sepenuhnya tanggungjawab penulis bukan tanggung jawab media)

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.