Melacak Kajian Akademis tentang (Islam) Banjar (1)

0

Oleh : Prof. Dr. H. Mujiburrahman MA

MENYAMBUT peluncuran Banjar Corner dan Melayu Corner di Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari, saya mencoba menelusuri kajian-kajian akademis  yang telah dilakukan para sarjana tentang Banjar dan keislaman masyarakat Banjar.  Hal ini diharapkan dapat mendorong gairah pengkajian ilmiah di masa yang akan datang.

MENURUT analisis sejumlah sarjana, suku Banjar adalah etnis ke-10 terbesar di Indonesia dan 99,55 persen beragama Islam (Suryadinata et.al 2003; Ananta et.al 2015). Jika di Indonesia terdapat 360 etnis dengan 719 bahasa yang berbeda (Pisani 2013: 2), maka etnis Banjar sudah selayaknya termasuk yang diperhitungkan dari segi sosial, budaya, ekonomi dan politik.

Karena itu, kajian akademis terhadap suku Banjar telah berkembang sejak zaman kolonial hingga sekarang, baik oleh sarjana asing ataupun orang Indonesia, termasuk orang Banjar sendiri. Kebanyakan kajian tersebut bersifat historis, antropologis dan sosiologis, yang memberi perhatian pada aspek politik, ekonomi dan kebudayaan. Adapun dalam ranah kajian keislaman orang Banjar, perhatian para sarjana tampaknya baru berkembang pada masa Indonesia merdeka, dan mulai lebih intensif sejak masa Orde Baru hingga sekarang.

Kalau kita ingin menelusuri literatur akademis paling awal yang mengkaji masyarakat Banjar, sumber yang paling lengkap mungkin adalah Daftar Pustaka disertasi karya Helius Sjamsuddin di Monash University pada 1989 yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul Pegustian dan Temenggung.

BACA : Tahun Depan Kawasan Sekumpul Dipercantik Dilengkapi Museum Peradaban Islam Banjar

Di Daftar Pustaka tersebut kita bisa melihat puluhan artikel jurnal dan buku, hampir semuanya ditulis oleh sarjana Belanda, dari abad ke-18, 19 hingga 20. Mayoritas kajian tersebut adalah gambaran sosiologis dan historis tentang masyarakat Banjar dan/atau Dayak. Ada pula laporan-laporan intelijen, termasuk tentang berbagai pertempuran yang terjadi. Besar kemungkinan, tulisan-tulisan pada abad ke-18 dan 19 tersebut dibuat sebagai bahan pertimbangan bagi para pejabat kolonial untuk membuat berbagai kebijakan demi memperkuat kekuasaannya di tanah jajahan. Namun, terlepas dari isinya yang sarat dengan bias kolonial, tulisan-tulisan itu menyajikan banyak data yang berharga untuk dikaji para sarjana di kemudian hari.

Pada abad ke-20 dan 21, perhatian sarjana asing terhadap kajian mengenai masyarakat Banjar tetap berlanjut. Namun, jika pada masa sebelumnya sarjana Belanda yang mendominasi, mulai abad ke-20, tampaknya para sarjana Australia, Amerika bahkan Jepang juga tertarik. Misalnya, pada 1968 sarjana Belanda J.J. Ras menerbitkan kajiannya tentang Hikajat Bandjar yang sampai kini telah menjadi ‘klasik’. Pada 1976, sarjana Australia, Douglas Miles menulis buku berjudul Cutlass and Crescent Moon yang membahas hubungan etnis Banjar dan Dayak hingga pemisahan ‘wilayah Dayak Ngaju’ menjadi provinsi tersendiri, Kalimantan Tengah.

BACA JUGA : Diperkenalkan Imigran Yaman, Batapih Menjadi Simbol Islamisasi Masyarakat Banjar

Pada awal 1982, seorang sarjana Australia lainnya, Virginia Matheson (Hooker) tertarik untuk menelaah sejarah Perang Banjar, dan menulis makalah cukup panjang dengan judul “Conflict Without Resolution”, tetapi makalah ini tidak diterbitkan.

Pada 1993, antropolog Amerika, Anna Lowenhaupt Tsing menerbitkan hasil penelitiannya berjudul In the Realm of a Diamond Queen, yang menganalisis politik budaya Dayak Meratus, termasuk interaksi mereka dengan orang Banjar yang dipercaya memiliki nenek moyang yang sama. Pada tahun 2000, sarjana Australia, Mary Hawkins menulis artikel tentang identitas etnis Banjar dalam The Asia Pacific Journal of Anthropology berjudul “Becoming Banjar, Identity and Ethnicity in South Kalimantan, Indonesia”.

Yang lebih menarik lagi, seorang sarjana Jepang, Nomura Toru, pada 2009 menulis tentang catatan kesaksian orang Jepang yang terdampar hidup di Banjarmasin selama beberapa tahun di abad ke-18. Artikelnya yang berjudul “Magotaro: An Eighteenth Century Japanese Sailor’s Record of Insular Southeast Asia” itu terbit di jurnal Sari.

BACA JUGA : Islam Banjar Perpaduan Kultur Demak dan Samudera Pasai

Bagaimana dengan kajian tentang keislaman orang Banjar? Pada 1981, sarjana Belanda, C. van Dijk, menerbitkan buku berjudul Rebellion Under the Banner of Islam, yang mengkaji tentang gerakan Darul Islam, dan salah satunya adalah gerakan yang dipimpin oleh Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan bernama Kesatuan Rakjat Jang Tertindas (KRJT). Pada 1984, sarjana Belanda, Karel A. Steenbrink, menulis buku berjudul Beberapa Aspek Islam di Indonesia Abad ke-18, yang di dalamnya antara lain menyinggung tokoh-tokoh Banjar seperti Muhammad Arsyad al-Banjari, Pangeran Antasari dan Abdul Rasyid. Sarjana Belanda lainnya, Martin van Bruinessen, dalam penelitiannya yang terbit pada 1995 berjudul Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat antara lain menganalisis literatur keislaman yang dipakai di pesantren-pesantren di Indonesia, termasuk Kalimantan Selatan.

Selain itu, dia juga membahas tentang Tarekat Samaniyah dan Muhammad Nafis al-Banjari. Pada 2007, sarjana Australia bernama Ian Chalmers, menulis artikel di jurnal Studia Islamika dengan judul “The Islamization of Southern Kalimantan: Sufi Spiritualism, Ethnic Identity, Political Activism.” (jejakrekam/bersambung)

Penulis adalah Rektor UIN Antasari Banjarmasin

(Isi dari artikel ini sepenuhnya tanggungjawab penulis bukan tanggung jawab media)

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2021/03/03/melacak-kajian-akademis-tentang-islam-banjar-1/

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.