Salah Gisel, Salah Kita

0

OLEH: Kadarisman

NAMA Gisella Anastasia atau Gisel menarik perhatian publik. Itu terjadi setelah beredar video layak sensor ke media sosial di awal November 2020 lalu. Sebulan lebih video itu menyimpan misteri hingga para pihak pun berspekulasi: benarkah atau fitnah semata.

KINI tabir itu terungkap. Gisel, 29 Desember 2020 ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat dengan  pasal 4 ayat 1 junto pasal 29 dan atau pasal 28 UU Nomor 44 tentang Pornografi dengan ancaman minimal 6 bulan dan maksimal 12 tahun penjara.

Sang mantan finalis Indonesia Idol itu kini terpukul karena sejatinya Gisel pun adalah korban.

Hujatan bersarang padanya. Padahal jelas kesalahan bukan monopoli dirinya. Gisel menjadi bulan-bulanan dalam berbagai macam perbincangan.

Gisel seorang pendosa, dibicaraka oleh mereka yang merasa  tidak berdosa.  Para manusia suci lantang menudingkan telunjuk hingga Gisel pun terpuruk dan tersudut. Gisel hanyalah wanita biasa dan kita pun manusia tak sempurna.

Tentu saja, apa yang dilakukan Gisel pada video berdurasi 19 detik itu tidak dapat dikatakan benar. Tak juga patut kita mendukung itu semua sebagai sebuah kebenaran. Tegas, itu adalah kesalahan.

Tetapi kesalahan itu jangan sampai menciptakan kesalahan yang beranak pinak pada diri kita. Memposisikan Gisel sebagai yang salah jangan lantas menarik kita pun turut membuat kesalahan.

Kita tak layak ikut bersalah atas kesalahan Gisel. Lalu terlibat melakukan searching ke berbagai media sosial agar dapat melihat lebih detail menyebarkan video itu, menghakimi, mencaci maki, menyumpah serapah, menuding dengan kebencian atau bahkan turut menikmati tontonan itu dan sebagainya justru menegaskan posisi kita bukanlah orang yang benar.

Kerap kali kita hanya mampu memandang salahnya orang lain tanpa disadari kita pun telah menjadi dari kesalahan itu sendiri. Salah Gisel, itu juga salah kita. Sejatinya kita sedang tidak menyeru pada tujuan kemuliaan, tapi justru terjebak dalam ladang kebencian dan kepongahan kepribadian semu.

Karena begini, kata Profesor M Scott Peck, motif utama kejahatan adalah penyamaran. Salah satu tempat orang jahat paling mungkin ditemukan adalah di dalam tempat ibadah. Begitulah cara menyembunyikan kejahatan seseorang dari diri sendiri maupun dari orang lain selain.

Jangan-jangan para pihak yang sedang menghujat Gisel adalah para pihak yang bersembunyi di tempat aman; tempat kebaikan yang luput dari kesalahan di matanya sendiri dan orang lain. Nanti dulu. Anda tak bisa menipu Tuhan.

Gisel harus kuat melalui semua ini. Dia punya ladang masa depan untuk bertahan menghadapi dinamika  hidupnya. Getir kelam hidupnya bukan disebabkan oleh pihak manapun, tapi oleh dirinya sendiri.

Kita mendukungnya untuk menghadapi kenyataan itu agar tercipta tumbuhnya kebaikan di masa-masa mendatang oleh mantan orang yang memiliki kesalahan sekalipun, tak terkecuali Gisel.

Para bijak Bestari mengatakan bahwa momen terbaik kita kemungkinan besar terjadi ketika kita merasa sangat tidak nyaman, tidak bahagia, atau tidak puas dan terhina. Karena hanya pada saat-saat seperti itulah dengan didorong oleh ketidaknyamanan, kita cenderung keluar dari kebiasaan kita dan mulai mencari cara yang berbeda mencari jawaban hidup yang lebih benar.

Dan kitalah yang berhati-hati. Karena kerap kali merasa berada di garis kebenaran justru adalah sebuah kesalahan.

Ini bukan salah Gisel semata, tapi juga salah kita. (jejakrekam)

Penulis adalah pemerhati masalah-masalah sosial pada Yayasan Sayangi Sesama Tabalong.

(Isi dari artikel ini sepenuhnya tanggungjawab penulis bukan tanggung jawab media)

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.