Meski Energi Terbarukan Mulai Dilirik, Tambang Batubara Dinilai Belum Bisa Lepas dari Kalsel

0

DIREKTUR Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Selatan, Kisworo Dwi Cahyono, menuturkan daya rusak tambang batu bara masih mengancam wilayah kelola rakyat di Kalsel. Meskipun transisi ke energi terbarukan mulai diminati, toh, perluasan tambang dan peningkatan produksi batubara tetap berjalan untuk memenuhi kebutuhan lokal dan global.

33 persen dari luas wilayah kalsel adalah izin tambang, kebanyakannya adalah batubara. Menurut Dinas ESDM Kalsel ada 222 IUP yang beroperasi di Kalsel dengan total bukaan lahan 76.604,29 ribu hektar dan baru direklamasi 60% dari luas seluruhnya,” ujar Cak Kis sapaan akrabnya kepada jejakrekam.com, Jum’at (4/12/2020). 

Dia menyatakan, berdasarkan analisa spasial, terdapat tumpang tindih antara izin pertambangan dengan ruang hidup masyarakat dengan luasan yang cukup besar. 

“Sehingga potensi meluasnya perusakan lingkungan dan perampasan lahan masyarakat memungkinkan akan terus terjadi. Ada lebih dari 8.000 hektare izin tambang di wilayah pemukiman dan transmigrasi, 251.000 di wilayah pertanian dan perikanan, 465.000 di wilayah hutan, dan 47.000 di wilayah kelola masyarakat adat di Kalsel,” ucapnya.

Kata Cak Kis, kebanyakan izin tambang juga berada di sekeliling Pegunungan Meratus. Seluas 253.000 hektare izin tambang masuk dalam Pegunungan meratus berdasarkan sosio-ekologinya.

“Izin-izin itu berada di wilayah kehidupan masyarakat seperti hutan, sungai dan kawasan perbukitan karts/kapur. Keberadaan izin tambang yang mengancam Meratus juga mengancam ekosistem dan kehidupan di bawahnya,” tegasnya.

Banyak wilayah pertanian dan kebutuhan air baku berasal dari sungai-sungai yang mengalir dari pegunungan Meratus.
Cak Kis menyebut berapapun yang telah direklamasi, kerusakan sosial dan lingkungan akibat tambang batubara nyaris tidak mungkin bisa untuk dipulihkan. 

“Sampai saat ini usaha pembelaan korban batubara baik lingkungan hidup maupun manusianya terus dilakukan. Aktivitas ini dijalankan beriringan dengan kampanye penolakan batubara di Kalsel di tingkat provinsi, nasional, dan internasional yang terhubung dengan jaringan yang memiliki tujuan sama melawan batubara,” ujar aktivis Mapala ini.

Di tingkat local, kata Cak Kis, kampanye ini mendapat dukungan banyak pihak seperti kelompok agama, masyarakat adat, influencer, content creator, akademisi, beberapa elit politik, dan individu. 

“Mereka memberikan dukungan dan melakukan aktivisme sesuai dengan minat dan kemampuan. Hal ini sangat mendukung dan gerakan penolakan batubara di Kalsel telah meluas,” sebutnya. 

Hasil yang didapat diantaranya adalah meluasnya kampanye dan dukungan penolakan batubara tidak hanya di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), tempat dimana pemicu besarnya gerakan berawal disini. 

“Hulu Sungai Tengah, tempat dimana Pegunungan Meratus masih bebas dari tambang batubara sebagai tempat awal memulai gerakan berhasil mempersatukan wilayah lain yang memiliki keterhubungan langsung dan tidak langsung dengan jajaran Pegunungan Meratus di kabupaten lain,” ujarnya.

Dalam kesempatan itu, Walhi Kalsel mendesak pemerintah daerah untuk segera menyusun kajian ekosistem esensial Pegunungan Meratus untuk mendorong kebijakan perlindungan dari kegiatan perlindungan dari kegiatan ekstraktif  baik tambang maupun perkebunan kelapa sawit skala besar.

“Harus disusun deliniasi wilayah Pegunungan Meratus berdasarkan sosio-ekologi, Serta menyusun rekomendasi regulasi kawasan Karts dalam upaya perlindungan Pegunungan Meratus,” tutupnya. (jejakrekam)

Penulis Ahmad Husaini
Editor Donny

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.