Ombudsman (Juga) Melawan Korupsi

0

(Catatan Kecil Menjelang Hari Anti Korupsi Internasional 9 Desember)

Oleh: Dr. Muhammad Suriani Shiddiq, S.Ag, M.Si

MASIH ingat peristiwa Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 15 September 2017 silam? Kala itu Ketua DPRD Kota Banjarmasin, Iwan Rusmali, tertangkap tangan menerima suap dalam kasus dana penyertaan modal PDAM Bandarmasih (Banjarmasin Post, 14/09/17).

SETAHUN setelah itu, di tempat yang berbeda, 41 Anggota DPRD Kota Malang juga ditangkap KPK dalam kasus APBD Perubahan Tahun Anggaran 2015 (Kompas.com, 9/9/18). Yang Paling aktual adalah penangkapan Menteri KKP, Eddy Prabowo, dalam kasus perizinan lobster (Detiksnews.com, 25/10/20), kurang dari sepekan Walikota Cimahi Ajay Muhammad Priatna (Detiknews.com, 27/11/20), juga ditangkap KPK, dalam kasus perizinan rumah sakit.

Sejumlah peristiwa korupsi yang diungkap banyak media ini tentu sangat memprihatinkan, karena dilakukan oleh para pejabat publik yang seyogyanya menjadi teladan dalam proses penyelenggaran pemerintah yang baik dan bersih. Fakta ini juga menambah panjang daftar nama pejabat publik yang menjadi tersangka korupsi di tanah air.

Ironisnya, berdasarkan pengamatan penulis mata rantai semua kasus tersebut rata-rata berkaitan dengan proses penyelenggaraan layanan publik, Uang yang diduga dikorupsi, merupakan uang negara yang semestinya dapat dimaksimalkan untuk menyelenggarakan layanan publik dengan baik dan dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat. 

BACA : 14 Nama Lulus Seleksi Berebut Kursi Kepala Ombudsman Kalsel

Lalu, apa yang semestinya dilakukan untuk mencegah peristiwa seperti ini berulang? Bagaimana peran Ombudsman Republik Indonesia (ORI) sebagai salah satu lembaga negara yang diberikan kewenangan mampu memotong mata rantai korupsi dari sektor layanan publik?

Maladministrasi dan Korupsi

We don’t build services to make money, but we make money for better services (Kita tidak membangun sebuah pelayanan (publik) semata untuk menghasilkan uang, tetapi kita justru (harus) mengeluarkan uang untuk menghasilkan sebuah layanan publik yang terbaik. demikian kata Founder dan CEO Facebook, Mark Zuckenberg, ketika ditanya mengenai layanan publik. (Time, 02/07/2018).

Mark Zuckenberg ada benarnya, sebuah penyelenggaraan layanan publik semestinya hadir dimaksudkan tidak semata-mata untuk mendapatkan keuntungan material, sebaliknya justru substansi dasar dari pelaksanaan layanan publik yang dibiayai dengan anggaran tidak kecil itu untuk mendapatkan tata kelola dan sistem pelayanan publik yang terbaik. Dengan pemahaman yang sederhana, dapat dikatakan bahwa sebuah pelayanan publik yang terbaik itu memang harus didukung oleh anggaran yang sesuai agar menghasilkan pelayanan yang paripurna.

BACA JUGA : Ombudsman Dorong Pemda Bikin Unit Layanan Pengaduan Masyarakat

Akan tetapi, di negara kita, masih banyak paradigma penyelenggara dan pelaksana layanan publik yang justru ingin mengambil kesempatan dan keuntungan dari layanan publik yang diselenggarakannya. Dari sinilah modus maladministrasi yang disitir dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 terjadi yang berujung korupsi.

Meskipun sudah memiliki aturan dasar bagaimana menyelenggarakan layanan publik yang baik dan benar sebagaimana diamanatkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, tetapi masih banyak oknum yang dengan sengaja mengabaikan standar pelayanan dengan tujuan mencari keuntungan pribadi.

Labodo Muhadam (2011) dalam tulisannya “Reformasi Birokrasi dan Implementasi Good Governance” mengidentifiksi setidaknya ada 4 (empat) pola yang paling menonjol yang menyebabkan banyaknya terjadi penyalahgunaan layanan publik yang berpotensi menjadi tindak korupsi yaitu penundaan berlarut, tidak kompeten, diskriminasi, dan konflik kepentingan. 

Menurutnya, empat hal tersebut jika kurang diawasi dan mendapatkan perhatian serius dari semua pihak terutama dari ORI yang memang memiliki kewenangan untuk itu, bukan mustahil peristiwa tindak pidana korupsi seperti kasus yang penulis ungkap di awal tulisan ini semakin sering terjadi tanpa terkendali. Kondisi ini paralel dengan fakta bahwa kesadaran masyarakat kita untuk melaporkan peristiwa penyalahgunaan kewenangan yang berhubungan dengan layanan publik masih rendah.

BACA JUGA :   Pertama se-Indonesia, Ombudsman Perwakilan Kalsel Canangkan Pembangunan Zona Integritas

Masyarakat dan kita tentu masih memiliki harapan besar dengan keberadaan ORI akan dapat membantu menuntaskan permasalahan yang terjadi dalam proses layanan publik dengan modus seperti diidentifikasi Labodo di atas, sehingga buruknya tata kelola layanan publik disebabkan adanya motif penyelahgunaan seperti tindakan pungli, gratifikasi dan korupsi tidak semakin subur karena lemahnya pengawasannya.

Kita perlu memberi apresiasi besar atas kerjasama yang sudah terjalin antara ORI dengan KPK dalam rangka memaksimalkan layanan publik sekaligus meminimalisir serta mencegah terjadinya tindak pidana korupsi (Detiknews.com, 18/3/2019). Inisiasi kerjasama ini merupakan salah satu alternatif terapi yang cukup ampuh untuk meminimalkan hal itu. 

Sebab, kita tahu bahwa KPK sudah memiliki track record dan jam terbang yang cukup dalam mengindentifikasi potensi penyalahgunaan kewenangan termasuk strategi khusus yang bisa dielaborasi dan diadaptasi dalam upaya melakukan tindakan pada penyelahgunaan kewenangan dalam penyelenggaraan layanan publik di seluruh Nusantara. Setidaknya, jika hal ini di-blow up melalui seluruh jaringan media, oknum yang berniat melakukan kecurangan dan penyalahgunaan layanan publik harus berfikir seribu kali.

BACA JUGA : Ada Dugaan Tumpang Tindih Aturan, Ombudsman Kalsel Telisik Konflik Baliho Bando

Penulis jadi teringat, diawal kerjasama antara ORI dengan KPK, Ketua KPK Agus Raharjo, ketika itu pernah menyebutkan setidaknya ada 3 (tiga) mudus kejahatan kerah putih dalam bentuk korupsi yang potensial terjadi di sektor layanan publik yaitu di bidang kesehatan, pendidikan, dan transportasi (Kompas.com, 18/3/2019). 

Harus diakui, ketiga sektor tersebut merupakan bidang penyelenggaraan layanan publik yang paling seksi dan tinggi resistensi penyalahgunaannya, selain memang berkaitan dengan banyak pihak, tetapi karena memang di sektor itulah postur anggaran yang dialokasikan, baik melalui APBN maupun APBD relatif besar, sehingga banyak menjadi “incaran” oknum-oknum tertentu untuk diselewengkan. 

Menumbuhkan Kesadaran Bersama

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kesadaran bermakna keinsafan. Tetapi terminologi kesadaran yang dimaksud di sini bukanlah sekedar pemahaman yang benar, bukan pula sekedar kampanye besar, slogan dan teriak-teriakan penuh kepongahan terhadap apa itu korupsi dan maladministrasi yang berpotensi merugikan negara dan masyarakat banyak, tetapi sebuah keinginan kuat dan tindakan nyata untuk turut ambil bagian dalam proses pengawasan terhadap setiap potensi penyelewengan baik yang berdampak maladministrasi maupun korupsi.

Suka atau tidak suka, tindak pidana korupsi yang berawal dari maldministrasi setiap waktu bermetamorfosa modusnya, dari yang paling telanjang dan terang-terangan sampai yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Tetapi tentu saja, sebagai warga bangsa ini menjadi tugas bersama seluruh komponen masyarakat untuk bisa melakukan deteksi dini agar modus apapun yang dilakukan tidak dapat mendapat ruang untuk menggerogoti keuangan negara, yang pada gilirannya merugikan masyarakat sendiri.

BACA JUGA : Akses Internet Wajib Disediakan, Ombudsman Minta Seluruh Siswa Harus Naik Kelas

Kita harus sadari, bahwa tindak pidana korupsi bersamaan dengan narkoba merupakan bahaya laten seperti halnya ideologi komunis. Tindakan tersebut dapat merusak sendi-sendi berbangsa dan benegara, karena anggaran yang dikorupsi dapat merusak tata kelola pemerintahan yang sudah direncanakan dengan baik dengan menggunakan anggaran tersebut.

Kita juga harus ingat, bahwa tindakan korupsi tidak terjadi dengan sendirinya, dia terjadi melalui proses yang juga tidak sederhana, dan yang paling tinggi resistensi penyebab korupsi adalah lemahnya pengawasan terhadap penyelenggaran publik. Bukan tidak mungkin, hari ini yang teriak anti korupsi besok atau lusa menjadi bagian dari mereka yang melakukan korupsi itu sendiri.

Bagi Ombudsman, tugas utamanya tidak hanya dibaca sebagai norma lembaga pengawasan terhadap pelaksanaan layanan publik yang dilaksanakan oleh Penyelenggara Negara dan Pemerintah, baik yang dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan/atau yang dilaksanakan oleh Badan Hukum Milik Negara, atau badan swasta dan perseorangan yang diberikan tugas melaksanakan pelayanan publik tertentu, akan tetapi harus benar-benar berdaya apabila mampu merangkul seluruh komponen masyarakat agar menjalankan seluruh fungsi, tugas dan wewenangnya dengan baik.

BACA JUGA : Kepala Ombudsman Kalsel Sebut PSBB Hanya Instrumen Bukan Tujuan

Dengan cara ini, Ombudsman tidak hanya bertugas mengawal tumbuh suburnya praktek maladministrasi pada saat yang sama juga bertindak mencegah terjadinya korupsi. Oleh karenanya, Ombudsman pusat hingga Perwakilan Ombudsman di seluruh tanah air, harus bergerak bersinergi dengan masyarakat untuk mengawal penyelenggaraan layanan publik.

Kesadaran bahwa layanan publik adalah untuk dan demi kepentingan bersama dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009, tidak berlebihan kiranya jika Ombudsman memperluas lagi cakrawala dan jejaringnya hingga ke pelosok desa, agar tercipta sinergi dan pola pengawasan bersama terhadap sistem penyelenggaraan layanan publik. Dengan cara ini, diharapkan potensi terjadinya penyalahgunaan dapat diminimalisir.   

Mulai Dari Pinggiran

Salah satu poin penting dalam Nawacita Presiden Joko Widodo adalah membangun Indonesia dari daerah dan desa dalam rangka negara kesatuan. Presiden seperti ingin menekankan betapa penting wilayah pinggiran sebagai bagian yang merekatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi perhatian.

Desa sebagai daerah paling pinggir dalam sistem tata negara kita, memang perlu mendapat perhatian serius, oleh karenanya dari Kepala Perwakilan Ombudsman sebagai perpanjangan tangan Ombudsman RI, memikul tugas yang tidak ringan dalam melakukan terobosan-terobosa baru untuk membangun kesadaran anti maldminitrasi sekaligus anti korupsi.

Apalagi Undang-udang Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Desa dengan gamblang mengamanatkan betapa pentingnya membangun desa sebagai toluk ukur keberhasilan pembangunan. Keberhasilan membangun desa adalah keberhasilan otonomi daerah. Keberhasilan otonomi daerah adalah keberhasilan bangsa. 

BACA JUGA : Pemasangan Tapping Box Diduga Tanpa Perda, Ombudsman : Maladministrasi Berpotensi Pungli

Jika selama ini, fokus pengawasan Ombudsman lebih banyak pada lembaga-lembaga Negara dan Pemerintahan di tingkat atas, maka masa yang akan datang Ombudsman melalui Kepala Perwakilan Ombudsman memiliki tugas yang jauh lebih besar lagi yakni memaksimalkan pengawasan penyelenggaraan layanan publik yang ada di desa.

Kita sadari besama, konsekuensi langsung dari dilaksanakannya otonomi desa adalah berpindahnya beberapa urusan yang sebelumnya dilaksananakan di tingkat pemerintah kabupaten/kota ke desa, konsekuensi logisnya adalah potensi penyelewengan penyelenggaraan layanan publik juga sangat mungkin terjadi di desa.

Kondisi ini berkorelasi positif dengan masih rendahnya kemampuan, tingkat pendidikan dan pemahaman aparatur desa terhadap peraturan dan perundangan yang berlaku terkait layanan publik termasuk konsekuensi sanksi hukuman yang mungkin akan diterima jika terjadi penyalahgunaan dalam pelaksanaan layanan publik di desa. 

Oleh karena itu, Ombudsman melalui Perwakilan Ombudsman di setiap provinsi harus mendorong hadirnya klinik-klinik konsultasi dan layanan pengawasan terhadap penyelenggaran layanan publik, agar kesadaran dan pemahaman aparatur desa dan masyarakat semakin meningkat.

BACA JUGA : Miliki Mall Pelayanan Publik Perdana di Kalsel, Batola Diapresiasi Ombudsman

Di samping itu, perlu terus digalang kerjasama dan sosialisasi secara simultan dengan aparatur desa dan masyarakat, untuk meminimaliri terjadinya penyalahgunaan dan maladministrasi dan potensi korupsi dalam layanan publik di desa.

Di samping membangun kerjasama dengan aparatur desa, Perwakilan Ombudsman juga perlu menyusun roadmap pontesi maladministrasi di daerahnya. Tujuannya adalah untuk bisa mengidentifikasi peta kesadaran masyarakat terhadap potensi maladministrasi di daerah tersebut, yang pada gilirannya dapat menyusun langkah-langkah strategis untuk sosialisasi mengenai mekanisme pelaporan dan/atau pengaduan jika ada yang mengetahui terjadinya tindakan maladministrasi di desanya masing-masing.

Dengan cara ini, diharapkan ke dapan muncul kesadaran yang tinggi di tengah masyarakat untuk ikut ambil bagian dalam proses pengawasan terhadap potensi maladministrasi dan korupsi. Selamat Hari Anti Korupsi. Ombudsman BISA!. Wallahul Muwafiq Ila Aqwamit Thariq.(jejakrekam)

Penulis adalah Pemerhati Kebijakan Publik, Peserta Seleksi Kepala Perwakilan Ombudsman Kalimantan Selatan

(Isi dari artikel ini sepenuhnya tanggungjawab penulis bukan tanggung jawab media)

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.