MUI, Tonggak Penyebaran Wasathiyah Islam

0

Oleh : H Nasrullah AR, S.Pdi, SH, MH

HARI ini hingga tiga hari ke depan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) akan menggelar Musyawarah Nasional (Munas) dalam rangka regenerasi kepemimpinan dan konsolidasi harakah (gerakan). Artinya, tidak lama lagi kita akan mendapatkan seorang pimpinan baru dalam organisasi paguyuban keulamaan ini.

SEBAGAI wadah yang menampung seluruh ormas Islam, MUI diharapkan tetap bisa menjadi titik temu yang rahmatan lil ‘alamin. Artinya, sisi kemanfaatan yang hadir karenanya bukan hanya bagi satu atau segelintir golongan, namun bagi keseluruhan umat Islam.

Kita paham bahwa MUI di dalamnya terdapat begitu banyak varian warna organisasi keagamaan Islam. Namun hal tersebut bukan alasan untuk kita tidak dapat duduk di satu meja. Dan di sinilah fungsi “Wasathiyyah Islam” itu berjalan. Wasathiyyah diambil dari bahasa Arab Wasath yang artinya tengah-tengah. Artinya, MUI menengahi semua, baik yang kiri progresif maupun yang kanan fundamentalis.

Oleh karena itu, untuk melerai semua potensi ketegangan yang berkemungkinan terjadi pada Munas MUI nanti, penting bagi kita para Musyawirin untuk merujuk pada PD/PRT dan PO, serta mengutamakan musyawarah mufakat, agar output yang dihasilkan bisa diterima oleh semua.

BACA : MUI HSS Serukan Umat Islam untuk Boikot Produk Perancis

Sebab, di tengah situasi kebangsaan yang masih sangat rentan mengarah kepada disintegrasi yang dipantik oleh sentimen agama, memberikan atensi khusus kepada MUI adalah sangat penting untuk memastikan bahwa para pemimpin ormas Islam bisa duduk bersama dalam semangat menjaga ukhuwah.

Sebagaimana amanat al Qur’an; “Wa’tashimuu bihablillaahi jamii’an walaa tafarraaquu”. Berpegang teguh lah kalian dengan tali Agama Allah secara berjamaah dan jangan bercerai-berai.

MUI harus menjadi lem perekat antar ulama dan umat Islam. Tidak boleh terkesan tendensius kepada kelompok Islam politik fundamentalis, begitu pula kepada kelompok progresif liberalis. MUI benar-benar harus menjalankan perannya sebagai tonggak penyebaran Wasathiyah Islam, sesuai dengan hadits Rasulullah SAW, “Khairal umuur awsaathuhaa”, sebaik-baik sesuatu adalah yang di tengah-tengah.

BACA JUGA : Riset Tiga Tahun, Humaidy Siap Luncurkan Biografi 150 Ulama Berpengaruh di Tanah Banjar

Dan selain tawasuth/moderat, sejumlah prinsip lain juga perlu diperhatikan. Yakni, tasamuh/toleran, tawazun/seimbang, dan juga i’tidal/adil. Inilah yang menjadi empat prinsip utama yang dianut oleh Ahlussunnah Wal Jama’ah sebagai pegangan dalam bergerak.

Sebab, tawasuth diperlukan agar tidak ekstrim, kemudian tasamuh agar bertenggang rasa pada sesama, berikutnya i’tidal untuk objektivitas berpikir dan bertindak, dan tawazun untuk keseimbangan semuanya.

Alhasil, jika prinsip prinsip di atas dipegang dan diamalkan, utamanya oleh para pimpinan dan pengurus Majelis Ulama Indonesia, hakkul yakin segala potensi ketegangan yang berasal dari ormas keagamaan Islam bisa ditekan dan dikendalikan dengan baik. Dan bermodal prinsip-prinsip di atas jua lah, MUI bisa benar-benar menjadi tonggak penyebaran Wasathiyah Islam.

BACA JUGA : Usai Insiden Syekh Ali Jaber, Banser Komitmen Jaga Pengajian Ulama NU di Kalsel

“Al ‘Ulamaa Waratsatul Anbiyaa”. Para ulama adalah pewaris para nabi. Panutan, dan juga pelita yang menuntun umat kapada benderang cahaya. Maka menyelamatkan organisasi yang menghimpun para ulama, adalah ikhtiar untuk menyelamatkan kehidupan. “Mautul ‘Aalim mautul ‘Aalam”. Namun jika para ulama mandeg, maka kehidupan pun akan jauh dari keteraturan.(jejakrekam)

Penulis adalah Sekretaris Umum MUI Provinsi Kalsel

(Isi dari artikel ini sepenuhnya tanggungjawab penulis bukan tanggung jawab media)

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.