Sahbirin Noor Versus Deny Indrayana: The Beattle Ground of Elections

0

Oleh: Muhammad Uhaib As’ad

PAGELARAN pesta demokrasi sebentar lagi. Pesta demokrasi atau populer disebut pesta rakyat tinggal menghitung hari. Penantian panjang menjelang pesta demokrasi telenovelis itu terasa mengharu-biru dan melodrama.

PESTA rakyat berbiaya mahal itu  sebagai proses demokrasi untuk mencari calon pemimpin. Masing-masing calon pemimpin telah mengarahkan sumber daya secara maksimal untuk memenangkan perebutan kekuasaan politik.

Para kandidat kepala daerah masing-masing menyampaikan visi dan misi di depan publik selama proses kampanya. Janji dan harapan telah disampaikan di hadapan publik dan publik pun merekam dalam hati dan pikiran setiap narasi yang ucapkan para kandidat kepala daerah. Wajah letih-kusut, tergambar pada masing-masing kandidat. Janji-janji politik dan kesejahteraan bagi publik menjadi narasi seksi pada setiap perhelatan pesta demokrasi.

Para kandidat bagaikan malaikat yang turun langit mewartakan kebaikan dan kebenaran bagi umat. Bagaikan para Nabi yang melakukan perjalanan siang dan malam untuk mewartakan Risalah Ilahi  tentang kebenaran dan keadilan. Para Nabi dan Rasul tidak mengenal mengapa dan berkomunikasi dengan umat yang masih berada dalam struktur jahiliyah dan penyembah berhala. Para Nabi dan Rasul tidak mengenal lelah dengan dimotivasi oleh semangat profetik (kenabian).

BACA : Pemilih Sementara Pilgub Kalsel Capai 2,7 Juta Lebih, Ini Rinciannya!

Nilai profetik inilah yang menderive semangat dan adrenalin para Nabi dan Rasul itu melawan struktur jahiliyah dan oligarki kekuasaan serta asabiyah (politik identitas) feodal. Struktur asabiyah dan feodalisme itu menjadi bagian perilaku politik dan ekonomi kumunitas Arab Jahiliah yang dikendalikan para oligarki. Eksploitasi ekonomi dan kekuasaan politik yang dikendalikan para oligarki secara serakah dan tidak adil yang berdampak pada ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan. Fakta sosial seperti ini yang dilawan oleh para Nabi dan Rasul di zaman itu.

Sejarah sosial adalah sejarah pertarungan perebutan kekuasaan ekonomi dan politik seperti ditulis oleh Prof Sartono Kartodirjo dan buku Pemberontak Banteng.

Perebutan sumber daya ekonomi dan politik sebagai wilayah perebutan yang tidak saja bermakna sebagai kalkulasi berburu ekonomi dan kekuasaan politik. Akan tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah perburuan gengsi kekuasaan dengan segala modus dan strategi. Tidak jarang atau bahkan sudah jamak di negeri ini dalam perebutan kekuasaan dilakukan dengan cara-cara kriminal dan mafia (Mary MC Coy, 2019) dan menggunakan kekuatan modal, politik uang atau jual beli-suara (Burhanuddin Muhtadi, 2020, Puadi, Puadi, 2020, M. Uhaib As’ad, 2020).

BACA JUGA : Tilik Kekayaan Petarung Pilgub Kalsel : Sahbirin-Muhidin Vs Denny-Difriadi, Siapa Paling Tajir?

Di era demokrasi yang diiringi kebebasan dan ruang publik semakin terbuka untuk melakukan ekspesi. Namun demikian, ruang kebebasan ini juga menjadi kesempatan bagi para elite politik melakukan praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan

Praktik oligarki yang terstruktur di era demokrasi sebagai produk dari suatu sistem politik yang tidak mencerminkan nilai-nilai demokrasi dan keadilan serta tata kelolah partai politik yang feodal dan menumbuhkan struktur politik famili dan sekedar Arwan  persekongkolan  para elit yang oligarkis.

Antara Paman Birin dan Deny Indrayana

Menjelang kontestasi elektoral 9 Desember datang tubulensi politik semakin memanas. Para kandidat dan tim sukses dan ornamen pendukung serta kekuatan jaringan semakin akselaratif. Pertarungan head to head ini akan menjadi tontonan menarik dan mendebarkan. Ini adalah pertarungan perebutan penguasa lokal yang bergensi. Paman Birin sebagai incumbent tentu saja sudah leading dengan kekuatan sumber daya (resources) yang dimiliki. Sumber daya politik, kekuatan finansial, dan jaringan patronase politik.

Secara teoritik, seorang incumbet telah melakukan political strategy  sebagai bagian dari political marketing, baik dilakuan secara terang-terangan maupun secara terselubung. Sebagai incumbent, selama dalam jabatan kekuasaan memiliki otoritas dan legalitas membuat kebijakan yang mengatasnamakan demi kepentingan rakyat. Posisi dan jabatan bagi seorang incumbent memberikan added values (nilai tambah) bagi modal sosial dan politik dalam kontestasi elektoral berikutnya.

BACA JUGA : Laporan Denny Indrayana Dijabani Bawaslu RI, Kubu Petahana Diminta Ajukan Kontra Memori

Paman Birin tidak saja posisi sebagai incumbent, tetapi juga sebagai Ketua DPD Partai Golkar dan didukung sejumlah partai besar. Hal ini menjelaskan bahwa secara kalkulasi politik Paman Birin lebih diuntungkan secara geo-politik. Patronase politik dan jaringan birokrasi yang terjalin selama dalam posisi gubernur menjadi kekuatan basis patronase dan memberikan advantage bagi incambent.

Adalah Prof Deny Indrayana sebagai penantang incumbent dapat dipastikan bukan petarung ayam kampung atau petarung kaleng-kaleng yang muncul dari ruang hampa pergulatan politik. Deny Indrayana dalam kapasitas sebagai akademisi, bukan dari partai politik apalagi berlatar belakang sebagai pengusaha. Dalam kontestasi demokrasi level gubernur bisa saja publik memberikan interpretasi beragam. Menurut pandangan akademik saya, Prof Denny Indrayana sesungguhnya adalah seorang the fighter atau the warrior yang berani melawan seorang incumbent dan yang berpasangan dengan H Muhidin, mantan Walikota Banjarmasin. Bila dilihat dalam perspektif dunia tinju, pertarungan ini sepertinya tidak berimbang.

Namun yang penting dicatat, Deny Indrayana memiliki talenta bertarung berpasangan H Difriadi, mantan Wakil Bupati Tanah Bumbu. Pasar judi politik bisa saja mengunggulkan pasangan Paman Birin-Muhidin (BirinMu).

BACA JUGA : Pilgub Kalsel Dalam Cengkeraman Oligarki

Pilkada Gubernur Kalimantan Selatan mirip  arena tinju, pertarungan penuh sensasi, hiruk-pikuk, dan spektakuler. Para manajer, pelatih, sponsor iklan dan pendukung fanatik masing-masing kandidat dalam psikologi panas-dingin. Menurut saya, ini lagi tinju politik paling spektakuler sepanjang sejarah politik lokal di Kalimantan Selatan.

Ketika ketua-ketua partai politik di Kalimantan Selatan tidak memilki nyali untuk naik ring tinju Pilkada 9 Desember, seorang Deny Indrayana anak kelahiran desa Stagen Kotabaru memiliki nyali melawan incumbent sekelas BirinMu. Ini bukan pertarungan ayam kampung tapi the real fighter, the beattle ground yang sudah pasti akan diwarnai tangis dan air mata. Sebuah perebutan kekuasaan yang mengharu-biru dan telonelvelis.

Kalau sedikit saya bercerita dunia tinju suatu arena mengandalkan kekerasan fisik, taktik-stratik, dan mengerahkan seluruh sumber daya yang terlibat dalam dunia tinju. Hal ini ada kemiripan dengan dunia pertarungan perebutan kekuasaan. Kalimantan Selatan yang memiliki potensi ekonomi batubara, para pemilik sasana tinju kekuasaan itu adalah para bos-bos tambang yang melakukan peretarungan kekuasaan atau berinvestasi dalam kekuasaan politik.

Saya ingin mengatakan bahwa antara Paman Birin-Muhidin dan Deny-Defri sejauh pengamatan politik saya,  pasar politik lebih mengunggulkan pasangan BirinMu. Di tengah pasar politik yang mengunggulkan pasangan BirinMu bisa saja menjadi bumerang akibat terlalu over confidence. Pertarungan antara Mike Tayson versus James Douglas  atau Mike Tayson versus Evander Holyfield pasar judi saat itu mengunggulkan Mike Tayson. Apa yang terjadi, Tayson dibuat KO oleh Douglas dan Holyfield. Ini pelajaran berharga dari dunia tinju dalam memahami ring tinju Pilkada.

BACA JUGA : Di Pilgub Kalsel 2020, Denny Indrayana Calon Boneka dari Petahana?

Politik tidak bisa dikalkulasi secara eksak matematika karena kekuatan sejati adalah hati nurani rakyat. Saya ingin mengatakan bahwa  publik tidak selamanya bisa diperlakukan sebagai pesakitan politik yang dibombardir oleh kekuatan uang. Rakyat secara perlan-pelan literasi politik  mulai mengalami kesadaran walaupun belum signifikan.

Beberapa catatan penting mengenai Pilkada gubernur di Kalimantan Selatan. Pertama, incumbent saat ini akan berhadapan seorang penantang yang memilik tingkat intelegensi atau akademik yang tidak dapat diragukan. Dia memilik kekayaan intelektual dan pikiran original walaupun isi dompetnya tidak tebal dalam sebuah kontestasi gubernur, demikian potongan kata-kata Roxy Gerung dalam suatu acara webinar beberapa waktu lalu.

Kedua,  Deny Indrayana tampil sebagai pendatang baru dalam pertarungan politik lokal ketika para politisi di Kalimantan Selatan tidak memiliki nyali tarung melawan incumbent. Publik Kalsel sangat mafhum bahwa pasangan BirinMu memiliki kuasa kapital dibandingkan pasangan Deny-Defri. Dalam hal ini yang perlu kita sadari bahwa proses demokrasi jangan sampai dirusak permainan politik dan ambisi kekuasaan dan menafikan kearifan dan etika politik.

BACA JUGA : Maskot Buti Diperkenalkan, Pilgub Kalsel 2020 Resmi Digeber KPU

Ketiga, hari-hari seperti ini menjelang Pilkada tidak menutup kemungkinan modus operandi politik uang atau jual suara akan mewarnai proses demokrasi. Praktik seperti ini akan merusakkan demokrasi dan menjadi warisan demokrasi busuk bagi generasi datang. Keempat, yang tidak kalah pentingnya adalah masing kandidat dan tim sukses bisa menunjukan kedewasaan dalam berdemokrasi.

Kualitas demokrasi tidak ditentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Akan tetap jauh lebih penting adalah sejauh mana proses demokrasi mengedepan nilai-nilai demokrasi bermartabat, keadilan, bukan dilakukan dengan cara-cara kriminal dan mafia.(jejakrekam)

Penulis adalah Peneliti pada Pusat Studi Politik dan Kebijakan Publik, Banjarmasin

(Isi dari artikel ini sepenuhnya tanggungjawab penulis bukan tanggung jawab media)

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.