Mulai Ditinggalkan Banyak Pengrajin, Cerita Kopiah Jangang yang Tersisa di Margasari

0

KOPIAH jangang, begitu peci rajutan tangan terampil khas warga Margasari Hulu, Kecamatan Candi Laras Selatan, Kabupaten Tapin, dikenal publik, khususnya di masyarakat Banjar sebagai penutup kepala yang memiliki identitas tersendiri.

SAYANG, kini, kerajian untuk membuat tutup kepala yang bikin sejuk itu karena ada lubang anginnya, mulai ditinggalkan masyarakat sekitar. Hal ini diungkap Jubaidah, perempuan sepuh yang memiliki dua anak ini masih telaten mengerjakan anyaman kopiah jangang hingga sekarang.

Proses pembuatan kopiah jangang ini terdiri dari bahan akar tanaman jangang yang diambil dari pohonnya. Menggunakan karter dan tangan, perlahan dikupas pada lapisan akhir yang biasanya disebut hati jangang.

Akar yang telah dikupas, lalu dibantu dengan jarum yang berukuran 5,2 centimeter dan jangatan, sebuah alat raut dari kaleng yang ditusuk paku dengan ukuran besar hingga paling kecil.

BACA : Artis Serba Bisa Benyamin S Pernah Order, Songkok Pasar Lama Ikonik Kopiah Banjar

Saat ditemui di kediamannya,  rumah kayu yang berdiri di bantaran Sungai Rutas tampak sederhana, sang pengrajin pun mengaku sudah menggeluti kerajinan menganyam kopiah jangang sejak duduk di bangku sekolah dasar (SD).

“Sejak mulai SD, aku sudah diajarkan oleh kedua orang tua untuk menganyam kopiah jangang ini. Hitung saja dari tahun 1970 aku dilahirkan, tepat di kelas tiga saat itu,” ucap Jubaidah kepada jejakrekam.com, Selasa (3/11/2020).

Sejak turun temurun yang diwariskan oleh nenek moyangnya itu, Jubaidah bercerita hasil jualannya hanya untuk mencukupi hidup sehari-hari. Dirinya pun menganggap sebagai pekerja sampingan, “Warga sini mengerjakan anyaman kopiah jangang hanya sambilan (sampingan) setelah dari bahuma (bertani) di sawah dan kami biasanya kumpul di pos kampling saat sore hari,” ujarnya.

BACA JUGA : Demi Bertahan Hidup, Pengusaha Peci Sulap Kain Sasirangan Jadi Masker

Peci tradisional khas Kalimantan Selatan ini masih dilestarikan oleh sebagian besar ibu-ibu di Desa Candi Laras. Jubaidah menyebut para perajin kopiah jangang yang tersisa kini hanya 100 orang lebih saja.

“Tersebar di kampung sebelah, ya masih banyak mungkin seratusan orang. Biasanya di desa ini, ada salah satu warga sebagai pemborong untuk membawanya ke Martapura dan Banjarmasin, bahkan ke pulau Jawa sana,” ucap warga dari muasal Kerajaan Dipa ini.

Bersama para perajin kopiah jangang, Jubaidah menyetor sepuluh kopiah per minggunya kepada pemborong.

“Kayak kemarin Senin (2/11/2020), ada pemborong yang membawa ke luar kota. Di sini, ada dua atau tiga pemborong. Mereka membawa satu Kubi. Sekubinya, dua puluh kopiah,” bebernya.

BACA JUGA : Anyaman Margasari dan Puak Kerajaan Negara Dipa

Mengenai kerumitan kopiah jangang, Jubaidah menganyam sesuai permintaan pelanggan yang mengorder. Ada yang rapat, bertulis nama hingga kehalusan akar jangang. Beragam jenis variasi dari bentuk corak seperti hiris gagatas, bunga teratai dan hati.

“Harga kopiah jangang dilihat dari proses anyamannya, semakin rapat dan bahannya tebal, maka semakin mahal pula harganya. Setiap rajutannya, memiliki kesulitan anyaman tergantung dari permintaan pelanggan yang order,” ucap Jubaidah.

Kisaran harga kopiah jangang dibandrol sebesar Rp 250-500 ribu per pecinya. Selain itu, Jubaidah juga membuat kerajinan kopiah yang terdiri dari bahan rotan. Menurutnya, lebih murah dan mudah dipasarkan ketimbang kopiah jangang. Adapun, kopiah berbahan rotan ini dibandrol seharga 10 ribu.

Selain itu, Jubaidah juga menerima jasa perbaikan kopiah jangang yang rusak. “Seperti di Pengaron, ada warga yang minta perbaiki kopiah jangang ini. Kalau harganya tergantung jenis rusaknya lagi, sekitar Rp 20 sampai 25 ribu saja. Bagi yang minta tambali (perbaiki) biasanya menjadi bagus lagi seperti semula,” katanya.

BACA JUGA :Tikar Purun Jangan Sampai Mengulang Kisah Lampit Amuntai

Jika ingin meninjau ke pusat kerajinan kopiah Jangang ini yang berlokasi di perkampungan Margasari, Kabupaten Tapin (250 kilometer dari Banjarmasin). Dari arah jalur kota memakan waktu 4 hingga 5 jam. Seedangkan dari arah dalam kota, jalur daerah Marabahan hanya memakan durasi hanya 2-3 jam perjalanan.

Di tengah pandemi Covid-19, Jubaidah berharap pemerintah memperhatikan pelestarian dari kerajinan kopiah jangang yang berada di Margasari.

“Setelah pandemi Covid-19, moga saja perekonomian kembali membaik dan masyarakat dapat beraktivitas lagi dengan semula. Selain dukungan, pemerintah harus memperhatikan ini agar pemasaran kembali normal,” tandasnya.(jejakrekam)

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2020/11/04/mulai-ditinggalkan-banyak-pengrajin-cerita-kopiah-jangang-yang-tersisa-di-margasari/,Kopiah jangang Margasari
Penulis Rahim
Editor Didi GS

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.