Bumi Perancis Dipijak, Tak Lagi di Situ Langit Dijunjung

0

Oleh: Kadarisman

Perancis sedang jadi pembicaraan hot. Bermula dari kebebasa berekpresi hingga pembunuhan. Berlanjut pada soal prinsip sekulerisme dan kebebasan yang eksklusif hingga boikot di negara-negara jauh. 

KEBEBASAN di wilayah otoritas negara Perancis, mendapat reaksi jauh di luar negara itu. Adagium “Dimana Bumi Dipihak, Di Situ Langit Dijunjung” mulai tak relevan lagi. Apa sebab? Karena bumi yang dipijak dan langit yang dijunjung tidak lagi dibatasi oleh persoalan geografis administratif sebuah negara. 

Transportasi teknologi informasi telah menjadikan bumi dan langit kita menjadi tanpa sekat dan pemisah otoritas kenegaraan. Dimana ada penodaan atas nilai-nilai universal maka menjadi hak masyarajat di ujung dunia sono juga ikut memberikan reaksi.

Ketika seorang guru di Perancis mengejawantahkan kebebasannya berekspresi karena nilai sekulerisme yang ada di negara itu, ia lupa itu menabrak nilai fundamental buat banyak manusia lainnya. 

Mengilustrasikan sosok Rasulullah SAW adalah penghinaan tiada terperikan yang bisa mengundang banyak mudhorat, bukan kemaslahatan. Apa guna kebebasan dipertahankan jika menjadi pemicu banyak kebencian dan ketidakharmonisan dalam kehidupan.

Perancis telah menuai dari sikapnya atas pembelaan pada kebebasan yang kebablasan. Negara itu pun tak dapat lagi menggunakan pepatah lama “Dimana Bumi Dipijak Di Situ Langit Dijunjung”  karena bagi manusia sekarang bumi dan langit adalah terhubung tak berbatas negara lagi. Bumi yang dipijak di Perancis dan  di bumi lainnya tidak terima. Itu kenyataannya sekarang.

Pun demikian, kekerasan apapun atas faham kebebasan tidak dapat dibenarkan. Pembunuhan dan penyerangan atas manusia dari rasa kecewa adalah merendahkan ajaran Tuhan, ajaran Rasulullah SAW. 

Aksi kekerasan sama sekali tidak dapat dikaitkan dengan faham agama apapun, apalagi agama  Islam. Karena ajaran Islam adalah penyemai cinta dan kasih Tuhan. Hamba Tuhan adalah penebar Rahmat buat sekalian alam. Seorang muslim sampai padai ajarannya manakala ia sudah menjadi manfaat buat manusia lainnya.
Tapi apapun Perancis dan Presidennya, Emmanuel Macron layak dikritik. Ingat filosofi kritik adalah nasehat cinta. Kritik tidak dimaknai destruktif tetapi konstruktif. Maka kritik kita kepada pemerintahan Perancis adalah, silakan menginjak bumi dan menjunjung langitnya sendiri, tapi ingat bumi dan langitnya adalah bagian dari bumi dan langit kita juga.

Jika banyak negara melakukan boikot kepada produk Perancis, itu respon repleks yang wajar.  Tetapi itu hanya sebuah pesan bahwa ada sesuatu yang terjadi di antara Perancis dan pihak lainnya. Memaknai setiap pesan secara positif maka akan mengantar semua perbedaan itu kepada kemaslahatan. 

Hal penting, apapun respon kita, jangan kemudian membuat kehilangan cinta dan rahmatan lil’alamin. Jika ada rasa kecewa atas penghinaan terhadap Rasulullah SAW, itu penanda keimanan dan kecintaan. Maka ketika kaum muslim  kecewa kepada pelaku penghinaan, itu sekadar penegas bahwa mereka adalah manusia biasa, yang di mana kita berpijak dan langit kita junjung di sini merasa telah tersakiti. 
Jika kita bersama memperbaiki nilai-nilai universal di dunia, maka kecewa tidak boleh tidak berkesudahan. Sudah saatnya kita bahagia di dinamika perbedaan yang saling menjaga dan memberikan penghormatan atas apa yang Tuhan ciptakan tanpa mengkultuskan kebebasan untuk memperkosa nilai-nilai lainnya. Nilai tertinggi  bertuhan adalah terletak bagaimana kita menghormati nilai-nilai atas apa yang Tuhan ciptakan pada manusia itu sendiri. (jejakrekam)


Penulis adalah : Praktisi Spiritual  Emotional Freedom Technique ( SEFT) Tabalong – Kalsel

(Isi dari artikel ini sepenuhnya tanggungjawab penulis bukan tanggung jawab media)

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.