92 Tahun Sumpah Pemuda (Minggu, 28 Oktober 1928-Rabu, 28 Oktober 2020) (1)

0

 Oleh : Prof M.P. Lambut, Ems

DI KALA pandemi Covid-19 masih menghantui kehidupan, di kala hiruk pikuk pro-kontra Undang-Undang Omnibus Cipta Kerja, di kala kesibukan menjelang Pilkada, mungkin inilah satu-satunya tulisan mengenang genap 92 tahun Sumpah Pemuda.

SUMPAH yang diikrarkan oleh poetera-poeteri Nusantara pada malam hari Minggu 28 Oktober 1928 di Gedung Keramat 106 Batavia-Centrum. Nama Batavia-Centrum menyiratkan bahwa disitulah pusat pemerintahan Hindia Belanda, sebutan untuk Indonesia di masa itu.

Republik Indonesia masih 17 tahun lagi baru diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Perang Dunia Il belum meletus dan pendudukan Jepang pada bekas tanah jajahan Hìndia Belanda juga belum terjadi.

Pada tahun 1928 ini kekuasaan pemerintah Hindia Belanda baru saja menghadapi pemberontakan Komunis di Sumatera Barat. Ini berarti bahwa para pemuda-pemudi yang menghadiri Kongres II Pemuda-Pemudi berhadapan denga pengawasan pemerintah Hindia Belanda yang semakin ketat, waspada kemunculan pergerakan yang merongrong kekuasaan pemerintah Belanda di tanah jajahan.

Mr. Muhammad Jamin yang hadir pada peristiwa monumental itu, yang kemudian menulis buku Sumpah Indonesia Raja (Raya), tanpa tanda tahun dan penerbit, memberi catatan :setiap pemuda-pemudi yang hadir, hadir dengan semangat yang berkobar- kobar, semangat Satu Bangsa, Satu Tanah Tumpah Darah, Satu Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia.

BACA : Dihiasi Seni Pertunjukan, Kindai Gelar Lima Malam Menuju Hari Sumpah Pemuda

Pada tahun 2010, Panitia HUT NKRI ke-65 Kalsel memberi kesempatan kepada penulis untuk menyajikan sebuah makalah dengan judul: “Seandainya Jiwa dan Semangat Sumpah Pemuda Dapat Lahir Kembali,”

Dalam paparan saya, di kala pasukan Sekutu, pemenang Perang Dunia II dengan mesin perang serba canggih, berhadapan dengan barisan PETA yang hanya bersenjatakan rongsokan senjata Jepang dan mengandalkan bambu-runcing, setiap pejoeang berikrar Merdeka atau Mati. Sedikitpun mereka tidak gentar meskipun ribuan nyawa mejayang. Dengan semangat maju terus pantang mundur, barisan pembela bangsa yakin, tidak ada satupun yang bisa merampas kemenangan perjuangan melawan penjajahan.

Sumpah yang Tiga dan Tiga Piranti Kebangsaan

Yang berkongres pada tahun 1928 itu, menyatakan dirinya sebagai Jong Java, bukan Jong Javanen, Jong Sumatera, bukan Jong Sumateranen, Jong Islam, bukan pula Jong Islamiten, Jong Borneo, atau bukan Jong Bornean, Jong Celebes, bukan JongCelebesian, Jong Ambon, bukan Jong Ambonesen, dan seterusnya. Sungguh menarik untuk direnungkan.

BACA JUGA : Kontroversi Keterlibatan Jong Borneo di Sumpah Pemuda Tahun 1928

Pada tahun 1908, melalui Pergerakan Boedi Oetomo, kesadaran kebangsaan baru tumbuh. Lalu melalui pendidikan, paham kebangsaan itu pun dibangun. Mungkin itulah latar belakang mengapa pemuda-pemudi yang berkongres di Batavia Centrum itu mengindentifikasi dirinya bukan sebagai pemuda-pemudi kesukuan, melainkan pemuda-pemudi tanah tumpah darah.

Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia

Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertanah air jang satoe, toempah darah Indonesia

Kami poetra dan poetri Indonesia menjoenjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia

Wah, wah, wah! Sebagai seorang Guru Besar Emeritus Pendidikan Sastra, saya kagum Membaca apa yang pemuda-pemudi ini ikrarkan dengan mulut dan hati mereka. Tiga kali mereka mengikrarkan diri sebagai putera dan puteri Indonesia.

Setiap orang yang berani secara terbuka menyebut dirinya putera dan puteri Indonesia, secara sadar menempatkan dirinya dalam bahaya. Pemerintah Tanah Jajahan Belanda tidak segan-segan menangkap, memenjarakan, bahkan sampaimembuangnya ke Boven Digul.

Dua kali mereka munggunakan kata MENGAKOE, ungkapan yang menyiratkan tekad secara perorangan dan secara bersama-sama memikul tanggung jawab dan kewajiban, dengan segala akibatnya. Siap dan sanggup menghadapi apapun juga.

BACA JUGA : Kisah G Obos, Jong Borneo dan Rasa Keindonesiaan

Pada ikrar terakhir mereka menggunakan kata MENJOENJOENG yang menyiratkan tidak hanya memikul tanggung jawab dan kewajiban, tetapi jugamenghormati dan menghargai sebuah BAHASA PERSATUAN, BAHASA YANG MEMERSATUKAN, BAHASA INDONESIA.

Pada tahun 1928 yang ada ialah bahasa Melayu dengan aneka ragamnya. Ada bahasa Melayu Betawi, ada bahasa Melayo Ambon, ada bahasa Melayu Semenanjung Malaka, adahasa Melayu Minang, di Kalimantan ada bahasa Melayu Banjar Di sekolah

diajarkan bahasa Melayu baku, sedangkan di Pecinan ada bahasa Melayu Pecinan. Pemuda-pemudi yang berkongres sudah memimpikan bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia.

Pada Kongres ini sebuah bendera, Dwi-warna, MERAH-PUTIH dimimpikan sebagai bendera kebangsaan Indonesia. Dwi-warna Merah-Putih ini bukan bendera Kerajaan Belanda, MERAH-PUTIH-BIRU yang dibuang BIRUNYA. Dwi-warna ini adalah bendera MERAH PUTIH 6000 TAHUN DI NUSANTARA RAYA. Pataka Merah- Putih ini dibeberkan Mr.Moehammad Jamin dalam bukunya 6000 TAHUN SANG MERAH PUTIH.

Pada Kongres ll ini sudah pasti Dwiwarna ini tidak mungkin dikibarkan. Namun demikian, dla sudah berkibar dengan megah di hati-sanubari pesertaa Kongres.

Semuanya yakin sekali ,bahwa suatu hari kelak, bendera kebangsaan Indonesia akan berkibar dengan megah. Pada malam penutup Kongres, seorang pemuda tampil ke depan dengan biolanya. Pemuda itu adalah Rudolf Wage Soepratman. Dia telah menggubah sebuah lagu yang diderinya judul INDONESIA RAYA. Lagu itu selengkapnya terdiri dari 3 bait. Lalu, pemuda itu memperdengarkan lagu ciptaannya melalui gesekan biola yang sangat piawai dimainkannya.(jejakrekam/bersambung)

Penulis adalah Guru Besar Emeritius Pendidikan Sastra ULM Banjarmasin

(Isi dari artikel ini sepenuhnya tanggungjawab penulis bukan tanggung jawab media)

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.