Pentas Badut Jalanan di Banjarmasin, Sebuah Potret Kemiskinan Kota

0

PAKAR komunikasi dan sosial kemasyarakatan FISIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Dr Fahrianoor menilai kehadiran para badut jalanan yang marak di Banjarmasin, merupakan sebuah narasi kehidupan.

“INI sebuah fakta sosial kekinian. Sebab, keberadaan di masa pandemi virus Corona (Covid-19), memaksa para pemeran badut jalan ini turun ke jalan,” kata Fahrianoor kepada jejakrekam.com, Selasa (13/10/2020).

Menurut dia, lazimnya para badut ini hadir di atas pentas untuk sebuah pertunjukan, pesta ulang tahun maupun even tertentu. Ya, tujuan untuk menghibur.

“Dalam hal ini, menghibur artinya memiliki nilai seni, dan sesuatu yang menyebabkan orang tertawa dan senang. Nah, kata lucu ini yang mungkin tepat hadir di pentas pertunjukan,” ucap doktor lulusan Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung ini.

BACA : Melanggar Perda, 20 Badut Jalanan Terjaring Satpol PP

Menurut Fahrianoor, berbeda dengan badut-badut jalanan yang memenuhi ruas jalan, terutama di kawasan jalan protokol seperti Jalan Achmad Yani, Jalan Brigjen H Hasan Basry, serta jalan lainnya justru menggeser realitas badut sebagai seni atau bernilai pertunjukan.

“Justru, kata lucu yang tergambar pada badut jalanan itu tidak ada. Malah, para badut jalanan ini justru bermakna kasihan, akibatnya nilai seni menjadi nihil,” papar Fahri.

Dosen muda FISIP ULM ini mengakui realitas pergeseran badut yang awalnya simbol kelucuan justru berubah ketika marak badut jalanan turun ke jalan. Terutama, dengan bermodal pengeras suara dialuni lagu-lagu berjoget di perempatan jalan maupun tempat-tempat keramaian di Banjarmasin.

BACA JUGA ; Kian Marak, Pandemi Menuntut Badut Panggilan Harus Turun ke Jalan

“Tak salah jika Derridda (1978), jika badut jalanan ini dilihat sebagai peristiwa sebagai bentuk dari deconstruction. Penafsiran badut bergeser sebagai pentas kemiskinan yang menanti belas kasihan,” ucapnya.

Menurut Fahri, pentas kemiskinan ini merupakan drama yang dipertontonkan sebagai teater yang dis itu ada nilai ekonomi. “Nah, bisa jadi badut jalanan tersebut diorganisir atau mengorganisir diri menjadi pentas korporasi pinggiran,” ucapnya.

BACA JUGA : Berkeliaran di Martapura, Ninja Naruto dan Sponge Bob diamankan Satpol PP Banjar

Masih menurut Fahri, badut jalanan yang ada justru menghilangkan makna dan arti badut yang selama ini hadir dalam pikiran kita sebagai pertunjukan yang lucu.

“Makanya, pemangku kebijakan di kota ini tidak boleh abai atas realitas badut jalanan yang semakin marak,” kata Fahri.(jejakrekam)

Penulis Ahmad Husaini
Editor Didi GS

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.