In Memoriam Sejarawan Banua, Bung Yusliani Noor

0

Oleh : Humaidy Ibnu Sami

BAGAI petir menggelegar di tengah hari mendengar Bung H. Yusliani Noor M.Pd. pada tanggal 3 Oktober 2020 meninggal dunia dalam usia yang masih muda belia sekitar 55 tahun.

DINDING hati ini serasa dipalu godam berkali-kali, sakit sekali ditinggalkan Bung Yusli menghadap Ilahi rabbi. Bagiku perkawanan dengan beliau sangat bermakna, sesuatu banget dan sangat istimewa.

Aku berjumpa pertamakali dengan beliau saat Aruh Gonol yang berlangsung tahun 2000-an, ketika Gubernur Kalimantan Selatan dijabat oleh H Sjachriel Darham yang terpilih melewati mekanisme pemilihan di DPRD tingkat Provinsi. Beliau waktu itu, kalau tidak salah adalah salah satu unsur panitia merangkap sebagai salah satu narasumber.

Aku sangat terpukau dengan presentasi makalah beliau yang berbicara tentang sejarah dan kebudayaan Banjar. Aku waktu itu, baru saja mukim 3 tahun di tanah Banjar setelah usai merantau 16 tahun di Yogyakarta. Rasa kebanjaranku sudah mulai bangkit lagi, tapi masih minim pengetahuanku tentang sejarah dan kebudayaan Banjar.

BACA : Sejarawan ULM Yusliani Noor Tutup Usia, Banua Kehilangan Kamus Sejarah Berjalan

Aku baru mulai belajar lagi kebanjaran dengan segenap seluk-beluk sejarah dan kebudayaannya saat itu juga, dengan latar belakang pendidikan sebagai sarjana Sejarah Kebudayaan Islam (SKI).

Dari situ aku dan beliau menjadi akrab meskipun jarang berinteraksi dan berkomunikasi serta saling berjumpa. Aku merasa seperti sudah lama mengenal beliau, entah di mana, apa mungkin di alam ruh, padahal secara fisik baru saja bertemu.

Sepanjang ingatanku, ada dua, tiga kali, aku pernah satu forum dengan beliau sama-sama sebagai Narasumber, tapi tidak ingat di forum mana saja. Ketika marak komunikasi lewat dunia maya, online (during) terutama via facebook, kami berdua saling me-like dan saling memberi dukungan satu sama lain, khususnya aku banyak minta masukan dan pendapat beliau.

BACA JUGA : Sejarawan ULM : Pasar Ujung Murung dan Sudimampir Harus Segera Direvitalisasi

Seperti saat sobat Setia Budhi (Budhi Borneo) menurunkan Syair Ratu Zaleha yang berseri sambung menyambung, kami ramai menanggapinya termasuk beliau di dalamnya. Syair Ratu Zaleha menjadi forum diskusi di layar Hape yang semarak, banyak eksponen yang terlibat menyampaikan aspirasi dan gagasannya, di antaranya Zulfaisal Putera (bahasa), Ibramsyah Barbary (diksi), Harry A. Fadhilah, Irien Agus Khairin (kelokalan), Gusti Surian (kebangsawanan), Hatmiati Masy’ud (sastra) Ibnu Sami atau Humaidy (sejarah), Ijuh Pribadi (budaya), Yusliani Noor dan lain-lain.

Demikian juga, saat beliau punya siaran pagelaran Syair di RRI dengan berbagai irama tradisionalnya sekitar tahun 2016 sampai 2017, aku sangat mensupport dan sekali waktu menghadiri ke studio tempat pagelaran acara berlangsung untuk menyemangati beliau.

Sekitar tahun 2015, pas hari-hari di ujung bulan Ramadlan, tiba-tiba beliau memintaku secara resmi untuk menjadi salah satu penguji Tesis S2 beliau bersama-sama Dr. H. Mujiburrahman MA., Dr. Porda dan Bambang Subiyakto M.Pd. Aku sangat terkejut sekaligus tersanjung dan tak mengira sama sekali kalau akan menguji S2 di Pasca Sarjana ULM, dan menguji Yusliani Noor lagi, yang saat itu sudah malang-melintang sebagai sejarawan Banjar kesohor dan sangat kondang.

BACA JUGA : Wajah Keislaman Timur dalam Esai Sejarawan IAIN Palangka Raya

Rasa halus hatiku menguji orang yang kualitasnya sudah melebihi pengujinya, apalagi jumlah halaman tesisnya hampir berjumlah ribuan halaman, tebal sekali ditambah lagi dengan halaman lampiran yang disendirikan sekitar 300 halaman lebih. Dalam hatiku berbisik, beliau menulis tesis ini, mungkin dalam keadaan mabuk, menulis seperti mengalir deras bak air bah yang berdatangan gelombang demi gelombang, hampir seluruh sumber sejarah yang beliau punya tertumpah di dalamnya.

Hasil ujiannya memang cumlaude atau amat sangat memuaskan dan menjadi tesis terbaik yang mungkin belum terpecahkan sampai saat ini. Bagaimana tidak, halaman tesisnya saja sudah melampaui bahkan sudah bisa disetarakan dengan disertasi S3 Doctor. Wajar saja, bila kemudian tesis ini lalu terbit menjadi sebuah buku berjudul Islamisasi Banjarmasin oleh penerbit Ombak, Yogyakarta dan secara perlahan menjadi salah satu buku yang menjadi Bestseller.

BACA JUGA : Tiru Jejak Idwar Saleh, Menolak Lupa dari Goresan Sejarawan Muda Mansyur

Banyak orang memuji buku ini dan pengarangnya, salah satu di antaranya dari Prof. Dr. H. Norhaidi Hasan Ph.D (direktur Pasca Sarjana Sunan Kalijaga, Yogyakarta) yang menyatakan buku Islamisasi Banjarmasin sebagai buku yang menyajikan sebuah analisis konperehensif dan hidup, bukan saja tentang kronik Islamisasi Banjarmasin, tapi juga dinamika keagamaan, sosial, ekonomi, politik dan budaya masyarakat Banjar dari masa ke masa, dalam persentuhan mereka dengan berbagai arus baru yang datang dari berbagai arah kawasan Nusantara.

Meskipun dinyatakan sebagai karya sejarah, buku ini memiliki warna etnografis yang cukup kental tentang Islam dan masyarakat Banjar. Penulis (Yusliani Noor), tidak saja mempunyai data-data historis terkait Islamisasi Banjarmasin, tapi juga memahami data-data etnografis masyarakat Banjar dan kebudayaannya.

Perpaduan sejarah dan etnografi melahirkan karya yang tidak berlebihan, jika kita sebut sebagai sejarah sosial masyarakat Banjar. Setelah karya Alfani Daud yang berjudul Islam dan Budaya Banjar : Deskripsi dan Analisis Kebudayaan Banjar yang diterbitkan oleh Rajawali Press, Jakarta pada tahun 1997, tampaknya tidak ada buku yang bisa disejajarkan dengan karya tersebut, kecuali buku yang berjudul Islamisasi Banjarmasin karya Yusliani Noor yang diterbitkan oleh penerbit Ombak, Yogyakarta tahun 2016 ini. Ketekunan Yusliani Noor dalam merekonstruksi data sejarah dan mengontekstualisasikan dengan dinamika keseharian masyarakat Banjar patut diacungi jempol.

BACA JUGA : Dikarang Habib Ali Alhabsyi, Tradisi Pembacaan Kitab Simthud Durar Membumi di Masyarakat Banjar

Demikian sekilas gambaran sosok dan kepribadian Bung Yusliani Noor sejarawan yang memahami dan mendalami kebudayaan Banjar sampai ke lubuk inti kedalamannya sebagaimana sudah terbentang pada uraian di atas. Menurut beliau atau beliau sangat yakin bahwa salah satu inti kebudayaan Banjar adalah berlandaskan nilai-nilai keislaman. Siapa yang tidak memahami inti ajaran Islam, maka ia tidak akan mungkin paham dan mengerti kebudayaan Banjar dengan baik.

Terakhir, aku bertemu beliau pada tahun 2019, pada saat beliau bersama Prof. Dr. KH. A. Hafidz Anshary MA menjadi sebagai Narasumber/Pembedah dua buku yakni karya H. Zafry Zamzam tentang Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dan Drs. H. Laily Mansur Lc., tentang H. Zafri Zamzam di UIN Antasari dan aku kebetulan menjadi moderatornya.

BACA JUGA : Warning: Pasar Sudimampir Baru-Ujung Murung Perlu Sentuhan Komprehensif

Beliau mengakui pada mulanya merasa asing dengan tokoh H. Zafri Zamzam, baru merasa akrab setelah membaca buku karya Drs. H. Laily Mansur Lc., dari hasil laporan penelitian individual. Pada saat yang sama beliau memuji sepenuh hati karya tulis Drs. H. Laily Mansur Lc., yang meskipun berlatar belakang keahlian bidang Akidah-Filsafat, tapi mampu dan tak melenceng dalam melakukan penelitian sejarah terutama dalam pendekatan biografis.

Akhirnya, aku bersaksi bahwa beliau sungguh orang baik, orang baik dan orang baik. Allah Yarham. (jejakrekam)

Penulis adalah Staf Pengajar Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Antasari

Peneliti Senior LK3 Banjarmasin

(Isi dari artikel ini sepenuhnya tanggungjawab penulis bukan tanggung jawab media)

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.