Ketika Daulat Demokrasi Runtuh

0

Oleh: Muhammad Uhaib As’ad

MITOS kedaulatan rakyat, dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat masih sebatas ilusi seperti tercantum dalam konstitusi negara. Konstitusi negara secara tegas menempatkan kedaulatan tertinggi ada ditangan negara.

SALAH satu tujuan negara dihadirkan adalah membangun kedaulatan dalam semua aspek kehidupan. Antara lain adalah kedaluat dalam bidang sosial ekonomi dan politik serta penegakan nila-nilai demokrasi bermartabat bagi seleuruh rakyat.

Indonesia memilih jalan demokrasi sebagai jalan  sistem pemerintahan, yaitu sistem yang  menempatkan kedaulatan tertinggi ada ditangan rakyat. Oleh karena itu desain kebijakan negara harus merefleksikan kepentingan dan membela kepentingan rakyat bukan menguntungkan sekelompok orang atau orang-orang yang berada dalam lingkaran kekuasan saja.

Seiring perkembangan demokrasi saat, daulat rakyat telah tereduksi menjadi daulat sekelompok orang atau kelompok kepentingan. Kekuatan sekelompok orang itulah yang menjadi sumber persoalan dimana negara telah menjadi sandera oleh kepentingan para oligarki itu.

BACA : Kebutuhan Pokok Dinaikkan, Uhaib: Pemerintah Tak Lagi Menjadi Pelayan Publik

Saya ingin menyebut sekolompok orang sebagai kelompok oligarki-predatoris yang memilik kekuasaan ekonomi. Para oligarki-predatoris ini bukan saja berusaha menguasai ekonomi negara tetapi juga mendikte dan menguasai  kekuasaan politik.

Institusi negara telah tersandera oleh kuasa oligarki-predator. Desain kebijakan dan regulasi negara dalam bayang-bayang pusaran kepentingan para oligarki-predator itu. Negara semakin tidak berdaya melawan kekuatan modal.

Mengapa? Desain kekuasaan politik pemerintahan  Orde Baru telah dikuasai oleh para oligarki-predatoris yang berdampak pada political landscape (Vedi R Hadiz, 2004, dan 2011).

BACA JUGA : Siapkan Mosi Tidak Percaya, FRI Kalsel Tuntut Sikap DPR-DPD RI soal RUU Cipta Kerja

Political landscape semakin jelas, yaitu menguntungkan kaum modal secara ekonomi dan politik. Desain ekonomi dan politik yang dijalankan negara di tengah isu demokratisasi, kebebasan, dan keterbukaan telah merobohkan rumah demokrasi itu sendiri. Yaitu demokrasi dimana kedaulatan tertinggi ada ditangan rakyat.

Pemaknaan kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat seperti yang diimaginasikan oleh Abraham Lincoln (salah satu Presiden Amerika), bagi negeri hanya batas ilusi dan mimpi. Pemaknaan kedaultan tertinggi ditangan rakyat seperti diucapkan para pemikir Romawi Kuno 600 tahun lalu sebelum Masehi itu, sebatas ilusi bagi negeri ini.

Kata-kata indah: dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat hanya barlaku bagi negara polis 600 tahun sebelum kelahiran Yesus Kristus di negara Athena.

BACA JUGA : Demokrasi dan Oligarki Lokal: Refleksi Kritis Menyongsong Pilkada di Kalsel

Perkembangan demokrasi modern seperti halnya di Indonesia, kedaulatan rakyat atau daulat takyat telah digantikan oleh daulat oligarki-predator, yaitu dari koorporasi, oleh koorporasi, dan untuk koorporasi. Ya, di negeri ini rumah demokrasi telah runtuh menjadi demokrasi oligarki-predator, demokrasi predator, demokrasi para perampok ekonomi negara.

Soal rampok merampok ini buku Professor Jeffery Winters secara secara detail dan gamblang dideskripsikan dalam Democracy and Oligarchy in Indonesi, 2004 dan Oligarkcy, 2011.

Perkembangan situasi mutakhir di negeri ini muculnya kekerasan politik dan politik sesungguhnya sebagai dampak dari kondisi ekonomi dan politik negara yang semakin memprihatinkan terpuruk.

Ketika rakyat berjuang bertahan untuk hidup, negara dangan instrumen kekuaasaan justru tampaul sebagai monster dan memangsa anak kandung sendiri (Muhammad Uhaib As’ad, Demokrasi dan Predator Nagara, 2020) sekadar membela kepentingan para kapitalis.

BACA JUGA : Denny Indrayana Akui Politik Kalsel Masih Dikuasai Oligarki Lokal

Negara tampil sebagai pemangsa bagi rakyatnya sendiri dan tampil dengan wajah sangar ala Orde Baru. Wajah sangar itu bisa kita lihat soal kebijakan revisi Undang-Undanga Mineral dan Batubara (Minerba) dan Undang-Undang Cipta Karya yang hanya mengutungakan para kapiltalis dan investor asing.

Kedua undang-undang, regulasi, dan kebijakan negara itu sebegai bentuk penelanjangan kedaulatan rakyat dan pengkhianatan institusi negara (eksekutif dan legislatif) terhadap rakyat demi kepentingan kapitalis. Lahirnya revisi Minerba dan undang-undang Cipta Karya itu bila dilihat perspektif studi ekonomi politik bukan dari ruang hampa kepentingan.

Bagi penguasa negara tentu saja memiliki pilihan rasional politik (rational choice). Yaitu suatu pilihan rasional sudah pasti atas nama kepentingan negara dan rakyat. Atas nama kepentingan negara dan rakyat itu menjadi instrumen justifikasi legal di tengah gemuruh resistenai rakyat, khusus kaum buruh pekerja.

Bagaimana penguasa mengatasnamakan kepentingan rakyat sementara rakyat melakukan penolkan dimana mana terhadap kebijakan negara yang predatoris itu.

Pada sisi lain, para kaum kapitalis alis pemilik modal, oligarki-predator, dan investor asing berpesta pora tengah gemuruh suara kaum buruh melakukan resistensi dimana-mana. Tetesan keringat, air mata manjadi saksi sejarah dari kekerasan politik dan kekerasan ekonomi dari modal kekuasaan yang berlabel demokrasi. Ini adalah politik kekuasaan politik belah bambu dimana.

Negara tampil sebagai jongos dan menjadi bagi kepentingan kesearakahan kooporasi atau kaum borjuis. Negara telah menjadi kacungan dalam sudah jauh terperangkap ke dalam kubangan para oligarki-predators.

BACA JUGA : Pilkada di Tengah Pusaran Oligarki Lokal

Negara tampil bagikan monster dan hantu bagi rakyatnya sendiri. Inilah risiko sebuah negara bila tersandera atau dibajak oleh kekuatan pasar. Para wakil rakyat yang ada di Senayan dan partai politik telah menjadi bagian dari pasar. Karena bagian dari pasar tentu saja membela kepentingan pasar dalam bungkus kepentingan rakyat dan negara.

Revisi Undang-Undang Menirba dan Undang-Undang Cipta Kerja sebagai modos pesekongkolan antara aktor politik dan ektor pasar yang paling telanjang dan memuakkan setelah kejatuhan pemerintahan Orde Baru.

Inilah ilus dan paradoks demokrasi yang paling serius dalam sejarah demokrasi setelah pemerintahan Orde Baru.  Fakta ini semakin menguatkan arumentasi Professor Tom Pipensky bahwa demokrasi Indonesia menjalan mundur (Backsliding of Democracy). Inilah wajah transisi demokrasi dan konsolidasi demokrasi yang belum menemukan format jelas bagai bagaimana membangun demomrasi substantif.

Alih-alih membangun demokrasi substantif justru semakin menguatnya demokrasi oligarki-predator dan demokrasi politik famili (political family). Bisa jadi, Pilkada Serentak pada Desember 2020 datang sekedar membabtis calon pemimpin berwatak oligarki-predatoris apalagi calon penguasa daerah didanai para mafia atau para cukong Pilkada.

BACA JUGA : Demokratisasi Pilkada dalam Cengkeraman Oligarki Lokal

Di saat rakyat bertarung bertahan hidup dalam situasi ekonomi yang parah akibat Covid-19 justru energi politik anak bangsa ini habis terkuras merspon soal-soal kebijakan negara yang tidak populer itu ketimbang menangi kasus Covid-19.

Rakyat semakin di dera keputusasaan. Putus asa secara ekonomi dan politik. Rakyat merasa terkhianati terutama bagi kalangan rakyat. Penguasa sibuk dengan dengan pidato-pidato, penyataan-pernyataan yang justru semakin menambah kenyinyiran rakyat. Semestinya pemerintah fokus menangan kasus Covid-19 bukan sibuk memaksakan dan mensahkan  undang-undang yang tidak popur di mata namun populer di mata koorporasi atau pasar.

Sekali lagi, kedaulatan sudah runtuh. Rumah demokrasi tinggal puing-puing berserakan. Demokrasi dan kebijakan negara telah dibajak oleh kekuatan pasar. Pasar telah negara dalam negara. Institusi demokrasi telah menjadi bagian dari pasar. Ya, pasar telah menjadi hegemoni dan mendominasi peradaban politik dan kebudayaan manusia.

Manusia telah dikendalikan oleh kekuatan pasar termasuk pasar politik. Ya, semua serba pasar. Pilkada pun menjadi kerumunan pasar yang diagungkan. Kedaulatan tertinggi ada ditangan rakyat sekedar nyanyian sunyi dan menghibur hati disaat kesepian di tengah gemuruh pasar politik, pasar Pilkada.

Pasar Agung saat ini adalah: dari koorporasi, oleh koorporasi, dan oleh koorporasi. Tidak lagi  lagu demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Nyanyian sudah terkubur dan sudah menjadi tulang belulang dalam terukir dalan nisan sejarah demokrasi negari ini.(jejakrekam)

Penulis adalah Peneliti pada Pusat Studi Politik dan Kebijakan Publik, Banjarmasin

(Isi dari artikel ini sepenuhnya tanggungjawab penulis bukan tanggung jawab media)

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.