Monumen Kincir Angin di Kawasan Jembatan Rumpiang Dinilai Jauh dari Identitas Batola

0

DOSEN Program Studi Pendidikan Sosiologi FKIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Nasrullah menyuarakan keprihatinan terhadap pembangunan monumental sebagai ciri khas kota Marabahan ibukota Barito Kuala (Batola) yang telah melenceng dari identitas daerah.

“DENGAN kondisi ini, lambat laun kita bisa kehilangan rasa memiliki (sense of belonging) terhadap daerah,” ucap Nasrullah kepada jejakrekam.com, Selasa (6/10/2020).

Ia mencontohkan sejak nama pasar di kota Marabahan yang berorientasi mata angin, kini di kawasan kota Marabahan lagi dibangun pula tugu dalam bentuk kincir angin. Letak kincir angin tersebut berada di ujung Jembatan Rumpiang dari arah kota Marabahan.

“Ini aneh bin ajaib, beda kalau Banjarbaru membangun kawasan kincir angin, karena ada sejarahnya. Nah, bagaimana di Marabahan dan dari mana asal kincir angin, ini sungguh disorientasi?” cecar magister lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

BACA : Usai Diserahkan Pusat, Wabup Batola : Nama Pasar Marabahan Timur Diganti

Menurut Nasrullah, lambang Batola itu tetap ada gambar padi dan purun. Dari lambang itu bisa diturunkan menjadi obyek yang cocok untuk daerah, terlebih lagi Batola sebagai lumbung pertanian atau penyangga ketahanan pangan,.

“Lantas kenapa tidak membangun monumen alat pemompa padi yang diputar dengan tangan?” cecarnya.

Atau, kata dia, bisa dipasang roda raksasa, seperti baling-baling mesin penumbuk purun. Dengan begitu, akan banyak pilihan yang tersedia sesungguhnya.

BACA JUGA : Nama Pasar Rakyat Marabahan Timur Abaikan Kearifan Lokal

“Saya tidak menafikan ada pengaruh global di suatu daerah, tetapi jika masih bisa memilih kenapa harus menampilkan sesuatu yang tercerabut dari akar budaya sendiri. Beda dengan jembatan Rumpiang yang dibangun mirip jembatan Sydney Harbour Australia. Itu bukan pilihan estetis tapi pertimbangan konstruksi,” paparnya.

Menurut Nasrullah, jika ingin ingin menjiplak sebaiknya jangan parsial atau alang-alang (dalam bahasa Banjar). Kata dia, pilihan global seperti itu mesti dibikin kawasan terpadu menunjukkan gambaran internasional.

BACA JUGA : Pasar Wangkang Marabahan Direvitalisasi

“Selain kincir angin, ada noni Belanda dengan pakaian tradisionalnya, bunga tulip khas Belanda meski aslinya dari Turki plus ada keju,” sindirnya. 

Boleh jadi, kata Nasrullah, alasannya akan banyak orang yang datang, karena tempat itu instagramable, layak jadi pajangan di media sosial. “Namun di situlah sebenarnya kita kehilangan kebanggaan terhadap daerah sendiri. Generasi muda Batola akan asing dengan dirinya sendiri,” kata warga Kuripan, Batola ini.(jejakrekam)

Penulis Asyikin
Editor DidI G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.