Menggantang Asap Demokrasi

0

Oleh: Muhammd Uhaib As’ad

SELEPAS kejatuhan pemerintahan Orde Buru 22 lalu, perjalanan demokrasi negeri ini semakin tidak jelas arahnya. Bagaikan biduk terobang-ambing di samudera luas tidak jelas arah mau dituju.

KONSOLIDASI demokrasi semakin porak poranda dan gerakan populisme radikal muncul dimana-dimana sebagai pertanda bahwa anak bangsa di negeri sedang berada dalam struktur sosial, ekonomi, dan politik yang sedang sakit.

Perjalanan panjang reformasi dan demokrasi seperti yang dijanjikan awal kejatuhan pemerintahan Orde Baru 1998 lalu ternyata tidak tidak seindah dalam imaginasi sosiologi atau imaginary orde yang menjadi kerinduan kolektif anak bangsa ini.

Anak bangsa ini telah gagap dan lunglai mendayung biduk demokrasi menuju cita-cita reformasi yang dijanjikan. Biduk demokrasi seperti telah tersandera oleh karang olgarki yang mengiringi perjalanan demokrasi.

BACA : Di Balik Pilkada: Aktor Politik dan Perebutan Hegemoni Sumber Daya Lokal

Demokrasi yang tersisa saat ini sekedar menyisahkan kebebasan berkata-berkata dan kata-kata itu sebatas tontonan kamuflase dalam bungkus kemunafikan. Kebebasan yang kita rasakan saat ini hanya kebebasan semu.

Sudah berapa banyak anak bangsa ini menjadi pesakitan alias masuk penjara karena mengekspresikan kebebasan berpendapat, kebabasan berimajinasi, dan mengkitisi kebijakan penguasa yang tidak populis serta penghamburan uang negara yang tidak jelas manfaatnya bagi rakyat.

Ya, inilah mitos demokrasi. Ilusi demokrasi. Adalah Professor Edward Aspinal, 2010, dalam bukunya The Problems of Democratisation in Indonesia, bahwa transisi demokrasi di Indoneaia sudah melahirkan sejumlah problem demokrasi.

BACA JUGA : Pilkada Melodrama dan Lingkaran Setan Politik Uang

Problem demokrasi itu bagaikan benang kusut yang sulit diurai. Transisi demokrasi itu telah memberikan struktur kesempatan bagi para aktor politik, para mafia politik, para kelompok kapitalis membajak demokrasi. Demokrasi telah dibajak oleh para mafia dan memanfaatkan penguasa atau negara sebagai tempat berlindung secara legal.

Selanjutnya, buku Edward Aspinall, 2011, Datar and Ilegality, secara jelas mengungkapkan mengenai kelompok mafia, olgarki, dan predatoris berlindug dibalik kekuasaan dan merampok sumdaya ekonomi negera dan mengendalikan kekuasaan.

Negara menjadi pesakitan para mafia politik, oligarki, dan predatoris itu. Sudah keringkah air mata reformasi itu. Reformasi telah terkubur yang tersisah hanya tulang-beluang yang berserakan dalam struktur imaginary order rakyat. Pengkhianatan reformasi. Kata yang pantas diucapkan secara massal bagi anak bangsa saat ini.

Reformasi politik dan ekonomi yang dihasilkan dari tetesan darah dari air mata 22 tahun itu hanya dinikmati dan menguntungkan sekelompok orang. Yaitu gerombolan mafia politik,  oligarki, dan predatoris yang merampok sumber daya ekonomi, sumber daya alam yang kaya, dan mendikte kekuasaan.

BACA JUGA : Pilkada di Tengah Pusaran Oligarki Lokal

Tidak salah bila Professor Jeffery Winters menyebut Indonesia sudah kuasai maling. Jeffery Winters dalam hal ini secara gamblang menulis dalam bukunya Democracy and Oligarchy in Indonesia, 2004, dan On Oliharcy, 2011.

Pikiran-pikiran ilmuan politik dari Amerika itu mengingatkan kita bahwa Indoneaia di era demokrasi telah menyimpang sejumlah problem demokrasi. Salah satu problem demokrasi yang paling serius adalah bangkitnya kekuatan oligarki-predatoris yang berlindungan di balik isu demokrasi.

Sumber daya alam yang kaya negeri ini sejatinya memberikan kesejahteraan ekonomi dan pembangunan yang merata dipelosok negeri ini justru memperlihatkan ketimpangan sosial ekonomi antara satu daerah dengan daerah lainnnya.

Para oligarki-predator itu telah menjarah dan mengusai tanah-tanah di negeri ini, terutama di Pulau Kalimantan yang kaya sumber daya tambang batubara.

BACA JUGA ; Pilkada Kalsel, Apakah Hujan atau Kemarau?

Negara seperti tidak hadir ditengah kerakusan  penguasaan lahan atau tanah para oligarki-predatoris. Ketidak-hadiran negara bisa saja menjadi bagian dari olgarki-predatoris itu. Bisa saja negara menjadi pemangsa (predatoris) bagi rakyatnya sendiri melalui kebijakan atau legalitas untuk mengeksploitasi rakyatnya sendiri secara ekonomi dan politik melalui sejumlah kebijakan dan atau regulasi.

Bisa saja berdalih atas nama kepentingan negara atau mengatas-namakan kepentingan negara (penguasa) berlindung dibalik kebijakan dan regulasi. Pada hal seperti yang bisa diamati dalam perkembangan mutakhir, sejumlah kebijakan atau regulasi lahir dari kepentingan para kapitalis.

Salah satu kasus yang paling menarik adalah revisi undang-undang Mineral dan Batubara (Minerba) yang hanya menguntungkan pengusaha tambang batu bara. Revis Menerba itu tetap disahkan di tengah resistensi publik dimana-mana.

Negara tampil sebagai komparasor bagi kepentingan korporasi katimbang membela kepentingan rakyat. Ini wajah negara yang tersandera kata Joel Migda dalam bukunya Weak State and Strong Society.

BACA JUGA : Menakar Urgensi Pilkada Serentak 2020, Antara Manfaat dan Mudharat

Sebetulnya apa yang dijanjikan gerakan reformasi politik dan ekonomi tahun 1998 lalu adalah upaya mereformasi institusi kekuasaan. Institusi kekuasaan model pemerintahan Orde Baru itu telah membawa negeri ke dalam sangkar besi otoritarianisme.

Model otoritarianisme Orde Baru itu sudah merusak nilai-nilai demokrasi seperti kebebasan dan mengembangkan kritisisme. Negara tampil dominan bagaikan monster dan memangsa kelompok-kelompok kritis. Depolitosasi terhadap kehidupan rakyat dan lembaga-lembaga pendidikan adalah salah satu cara pembungkaman serta penyeragaman  pola pikir rakyat.

Realitas politik saat ini di era demokrasi sesungguhnya foto kopi dari pola-pola rezim otoriter Orde Baru. Pola warisan Orde Baru (the lagacy of New Order) akhir-akhir semakin jelas-jelas. Undang-undang ITE adalah salah satu instrumen pengusa saat ini yang paling mematikan kebebesan berdemokrasi. Itu salah satu sisi gelap jebakan demokrasi saati.

Demokrasi telah menjadi kutukan bagi rakyat (the curse of democracy). Kekerasan politik dan menguatnya gerakan populisme semu yang mengatasnamakan nasionalis untuk melakukan pembenaran kekerasan.

Kriminalisasi terhadap sejumlah tokoh agama yang dilakukan oleh sekelompok orang semakin marak akhir-akhir. Kenapa semua itu terjadi di era demokratisasi dan dinamika politik yang semakin liberal.

Di tengah framnented society, pengusa negari seperti kehilangan akal sehat mederive kekuasaan politik dan bisa saja negeri salah desain diawal-awal reformasi. Tulisan Ross H MCLeod dan MacIntyre, 2007, Indonesia: Democracy and the Promise a Good Governance.

Karya MCLeod dan MacIntyre ini menarik ketika menjelaskan carut-marut perpolitikan pasca Orde Baru. Lagi-lagi buku ini menyoroti mengenai hadirnya sekelompok orang menguasai kekuatan ekonomi dan politik yang mendikte kekuasaan negara.  Janji  reformasi bagaikan mimipi di siang bolong, ilusi, dan mimpi berkepajang.

Kentestasi demokrasi atau pesta-poranya para penjudi politik (political gambling) tidak lebih sebagai orkestra melodrama yang membius rakyat ke dalam wilayah pragmatisme politik. pertanyaannya adalah demokrasi macam apa yang diperjuangkan? ini pestanya rakyat atau pestanya para pemilik modal atau pedagang politik dalam pasar Pilkada? Sebagai anak bangsa yang  masih menganut paham demokrasi, dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.

Ungkapan ini sudah klise dan hanya ada dalam teks demokrasi, pada hakikatnya sudah lama terkubur, menjadi bangkai, dan hiasan nisan demokrasi saat ini.(jejakrekam)

Penulis adalah Peneliti pada Pusat Studi Politik dan Kebijakan Publik, Banjarmasin

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2020/10/02/menggantang-asap-demokrasi/

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.