Beda Kampanye Hitam dan Kampanye Negatif, Ini Paparan Ahli Pidana ULM

0

PENGGUNAAN media sosial (medsos) kini menjadi sebuah keniscayaan yang dilakoni kontestan pemilihan kepala daerah (pilkada). Namun, aspek hukum pidana atau sanksi hukum menjadi hal yang patut diwaspadai.

HAL ini diingatkan ahli hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Daddy Fahmanadie. Ia mengakui aspek tindak pidana dalam pilkada telah diatur berdasar peraturan perundang-undangan.

“Memang, istilah tindak pidana ini merupakan terjemahan dari Straf baar feit dalam bahasa Belanda. Mengacu dalam hukum pidana Belanda, dikenal istilah lain seperti peristiwa pidana atau pelanggaran pidana atau perbuatan yang dapat dihukum,” ucap Daddy Fahmanadie kepada jejakrekam.com, Selasa (29/9/2020).

BACA : Laporan Awal Dana Kampanye Pilwali Banjarmasin; Petahana Terbesar, Paslon Independen Paling Minim

Lebih lanjut, Daddy menjelaskan dalam buku II dan buku III KUHP memuat rumusan tindak pidana jenis kejahatan dan pelanggaran. “Jadi, jelas tingkah laku tertentu yang dilarang UU merupakan tindak pidana,” ucapnya.

Lantas bagaimana dengan hukum di pilkada? Daddy mengaku acuannya adalah UU Nomor 10 Tahun 2016, Peraturan KPU serta peraturan terkait lainnya, yang menyangkut asas lex specialis de rogat lex generalis atau ketentuan khusus mengenyampingkan ketentuan umum.

Nah, terkait pada masa kampanye ini, Daddy mengingatkan adanya larangan seperti diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, serta PKPU Nomor 4 Tahun 2017 dan teranyar PKPU Nomor 11 Tahun 2020.

“Dalam ini, kampanye harus berdasar prinsip jujur, terbuka dan dialogis. Kemudian, kampanye juga harus meningkatkan kesadaran hukum, memberi informasi yang benar, seimbang dan bertanggungjawab sebagai bagian dari pendidikan politik,” tutur Daddy.

BACA JUGA : Dilarang Bikin Kerumunan, KPU Kalsel Jelaskan Cara Kampanye di Tengah Pandemi

Magister hukum lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogkarta ini menambahkan dalam kampanye juga ditegaskan adanya komunikasi politik sehat antar pasangan calon. Hingga, menghormati perbedaan suku, agama, ras dan golongan dalam masyarakat.

“Makanya, dalam PKPU juga diatur aspek legalitas kampanye melalui media sosial. Makanya, untuk pengawasan, paslon, parpol dan tim kampanye harus membuat akun resmi yang didaftarkan ke KPU,” katanya.

BACA JUGA : Jangan Kampanye Hitam, Pengamat Politik Minta Pilwali Banjarmasin Harus Diwarnai Adu Gagasan

Diakui Daddy, di masa pandemi virus Corona (Covid-19), maka medsos atu kampanye daring menjadi pilihan untuk berkampanye di tengah keterbatasan dan regulasi yang ketat.

Dosen muda ini mengatakan dipilihnya kampanye di medsos, karena memang mudah diakses dan murah, cepat, bisa melahirkan interaksi dua arah serta kontennya dapat bertahan lama. “Bahkan, setiap orang pun bisa mengakses materi kampanye lewat medsos. Termasuk, di media daring. Tapi ingat, ada ketentuan yang berlaku,” katanya.

Terutama, ungkap Daddy, menyangkut soal kampanye hitam (black campign) yakni berisi isu atau lainnya untuk menjatuhkan lawan politik.

BACA JUGA : Dijatah APK dan Bahan Kampanye, KPU Larang Cantumkan Foto Presiden-Wapres

“Kampanye hitam ini biasanya berisi isu–isu  yang tidak berdasar, ya semacam rumor atau isu dari mulut ke mulut. Tentu berbeda dengan kampanye negatif (negative campaign) digunakan untuk menunjukkan kelemahan dan kesalahan pihak lawan politik. Seperti keputusan atau kebijakan yang dibuat lawan politik hingga kondisi lebih buruk,” paparnya.

Daddy juga menyebut biasanya kampanye hitam menggunakan akun palsu untuk menyerang lawan politik. Kemudian, berisi hinaan menyangkut SARA.

“Melakukan kampanye di medsos berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba partai politik, perseorangan dan/atau kelompok masyarakat. Kemudian, menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada perseorangan, kelompok masyarakat dan/atau partai politik,” tutur Daddy.

BACA JUGA : Banjarmasin Masih Zona Merah, Ajang Kampanye Pilwali Berpotensi Memicu Klaster Pilkada

Dalam aspek hukum, Daddy menegaskan kampanye hitam itu sah secara hukum dan tidak melawan hukum, berbeda dengan kampanye hitam yang bisa melanggar UU, khusus UU ITE. Termasuk, penghinaan khusus di luar KUHP.

“Dalam mengawasi kampanye pilkada di medsos, maka penyelenggara dan pengawas pilkada harus bisa meningkatkan sumber daya manusia (SDM), terutama kapasitas digital literacy. Saya kira, ketika Bawaslu telah membentuk satgas atau relawan pantau medsos,  maka ini perlu dipertajam fungsinya. Terutama, bisa membedakan antara kampanye negatif dan kampanye hitam,” pungkasnya.(jejakrekam)

Penulis Asyikin
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.