Hanya Ber-SK Tuhan, Penyelamatan Hutan Adat Kalimantan Masih di Awang-Awang

0

AKTIVIS lingkungan dan jurnalis senior, Budi ‘Dayak’ Kurniawan menilai kasus bernuansa konflik agrarian selalu yang menjadi korban adalah rakyat atau kalangan lemah.

“KASUS yang dialami jurnalis Diananta Putra Sumedi, kemudian kasus Effendi Buhing yang memperjuangkan hutan adat di Desa Kinipan, Kabupaten Lamandau atau terdekat di daerah kita, soal penyelamatan Pegunungan Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), ada contoh nyata,” papar Budi Kurniawan dari Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat-Borneo dalam diskusi zoom webinar bertajuk Masyarakat & Tanah Adat dalam Hukum Besi Korporasi; Siapa Untung & Buntung? Minggu (13/9/2020).

Selain, Budi Kurniawan. Ada pula yang memaparkan hal serupa yakni Dr Darius Dubut (akademisi Universitas Palangka Raya), Wakil Ketua Komnas HAM Hairansyah, Dr Setia Budhi (akademisi FISIP Universitas Lambung Mangkurat) dan Paharizal (akademisi Fisipol Universitas Widya Mataram Yogyakarta).

BACA : Dihukum karena Berita, Diananta Tak Kapok Pilih Jalan jadi Pewarta

Acara yang digagas Forum Komunitas Akademia Banua Banjar (KABB), Budi Kurniawan mengakui gerakan penyelamatan Meratus lebih terorganisir.

“Program kampanye pun lebih terarah, berbeda dengan apa yang dilakukan kawan-kawan di Kinipan. Sebab, di Kalteng, secara organisasi terkadang kurang rapi,” kata jurnalis senior ini.

Ia mengakui sisi kelemahan hutan adat karena secara legalitas formil, tidak ada surat keputusan (SK). “Ya, karena tanah adat itu hanya mengantongi SK Tuhan. Begitu ada hutan negara, hutan lindung dan segalanya, akhirnya kalah. Inilah yang memicu konflik,” cetus Budi.

Di mata Budi, bagi masyarakat Dayak adalah tanah itu kunci dan suci, bukan sekadar lahan tapi merupakan bagian dari kultur. Namun, celakanya, ketika berhadapan dengan negara atau korporasi, maka bicaranya adalah hukum positif atau aspek legalitas.

“Inilah mengapa konflik lahan dengan masyarakat adat ini tidak pernah selesai. Bahkan, terus bermunculan dengan berbagai modus. Namun, inti persoalannya sama. Berbeda jika RUU Masyarakat Adat yang tidak selesai-selesai dibahas DPR RI dan pemerintah lebih dari 8 tahun, jadi produk hukum,” tutur Budi.

Ia mengakui ketika masyarakat adat mengurusi perizinan atau keabsahan juga menghadapi begitu rumitnya jalur birokrasi, terkait persyaratannya. “Inilah mengapa saya katakan ketika konteks kapitalisme negara terjadi, maka segala persyaratan pun dibikin rumit,” cecarnya.

BACA JUGA : Diananta Divonis Penjara 3 Bulan 15 Hari, Pegiat Demokrasi : Hari Kelam Kebebasan Pers

Fakta yang ada, beber Budi, soal konsep hutan sosial, hutan adat, hutan kemasyarakatan, hutan desa dan apa pun namanya, maka aspek legalitasnya dicari.

“Ini mengapa penting ketika kepala daerah itu pro masyarakat adat, maka bisa dibikinkan peraturan daerah (perda). Namun, ironinya, justru elite lokal malah tak peduli. Bisa dibayangkan, misalkan, ketika DPRD tidak ada satu pun wakil rakyat yang pro masyarakat adat,” tutur Budi.

Ia membandingkan di Provinsi Kalbar justru lebih baik dibandingkan Kalsel atau Kalteng. Menurut Budi, di Kalbar, justru ada pengakuan soal hukum adat, dalam hal ini yang berlaku di tengah masyarakat adat Dayak.

“Di Kalteng, baru hanya satu yang diakui negara. Begitu pula di Kalsel, hanya satu ada di Kabupaten Kotabaru. Inilah mengapa, ketika ada putusan pengadilan tertinggi; Mahkamah Agung memenangkan rakyat, seperti kasus Meratus di HST, pihak korporasi justru bisa mengajukan peninjauan kembali (PK). Makanya, saya katakan masalah ini masih di awang-awang, ketika negara tidak mengakui adanya hutan adat atau sejenisnya,” papar Budi.(jejakrekam)

Penulis Asyikin
Editor DidI G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.