Sekelumit Riwayat Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS)

0

Oleh : Y.S. Agus Suseno

PERUBAHAN sistem politik, yang ditandai dengan Otonomi Daerah (Otda), ternyata tak membuat pembinaan dan pengembangan seni budaya (terutama sastra) menjadi lebih baik di Provinsi Kalimantan Selatan dan di kabupaten/kota.

SEJAK akhir tahun 1990-an, hingga awal tahun 2000-an, perkembangan sastra (Indonesia modern maupun sastra lisan Banjar tradisional) praktis stagnan, jalan di tempat. Sastra Indonesia modern di Provinsi Kalimantan Selatan, “Bagaikan kerakap tumbuh di batu: hidup segan, mati tak mau.”

Karya sastra terus dilahirkan, tetap tumbuh dan berkembang di Banua, tapi hal itu terutama berkat “keimanan” sastrawannya, bukan akibat dari dukungan pemerintah daerah.

Di tengah suasana seperti itulah, sejak tahun 2003, mendiang Burhanuddin Soebely (BS), yang bekerja dan bermukim di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), merancang kegiatan Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS), yang untuk pertama kalinya berlangsung di Kandangan (2004).

BACA : Rekam Profil Sastrawan Lokal Periode 1930-2020, Micky Hidayat Rilis Buku Leksikon Penyair Kalsel

Sepekan sekali, BS menemui istrinya (juga, putri tunggalnya) yang bermukim dan mengajar di salah satu SMA di Kota Banjarmasin. Karena tempat bermukim saya dan BS (di Kota Banjarmasin) berdekatan, dan dia tahu (sebelum kemudian bermukim di Kota Banjarmasin) saya tinggal di Desa Durian Rabung, Kecamatan Padang Batung, Kabupaten HSS; jika sedang berada di Kota Banjarmasin dia meminta saya (via telepon/SMS) untuk menemuinya; berbincang tentang sastra dan teater.

Bagaimana menyiasati minimnya kepedulian pemerintah provinsi/kabupaten/kota terhadap seni sastra? Mengapa hanya seni tari (melalui Festival Karya Tari Daerah) saja yang diberikan alokasi dana rutin di APBD, mengapa seni sastra tidak?

Bagaimana caranya agar seniman sastra dapat “merebut” alokasi dana APBD (yang sejatinya “hak” pekerja seni juga)? Itulah, antara lain, topik-topik pembicaraan ketika kami (saya dan BS) bertemu, baik di Kota Banjarmasin maupun ketika saya dimintanya datang ke Kandangan (dan menginap di rumahnya).

Mengapa menggunakan kata “aruh”? Kata itu digunakan BS sebagai cermin kedekatannya dengan ritual “aruh adat” Dayak Meratus di Loksado, yang telah banyak memberinya inspirasi dalam penciptaan/penulisan/penggarapan karya sastra dan teater (yang dipentaskan oleh Posko La-Bastari, Kandangan, komunitas seni yang dipimpinnya).

BACA JUGA : Ketika Sastrawan dan Budayawan Banjar Galau akan Langkanya Hayati Banua

“Aruh” berarti “kenduri; pesta; selamatan.” Begitulah awal mula penggunaan nama “aruh” di ASKS. “Kenduri; pesta; selamatan” itu kemudian dilaksanakan secara bergantian di kabupaten/kota lainnya di Provinsi Kalimantan Selatan.

Demikianlah, ASKS kemudian bergulir (dengan dana APBD masing-masing kabupaten/kota, dan akhir tahun ini (2020) dalam putaran kedua, akan berlangsung di Tanjung, Kabupaten Tabalong.

Di tengah kehati-hatian panitia penyelenggara ASKS 2020 di Bumi Saraba Kawa (akibat masih maraknya Covid-19/virus Corona), dunia sastra banua digemparkan oleh flyer acara yang dilaksanakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) secara daring, yang menyebut orang dengan nama (samaran) “Oka Miharzha S” (nama aslinya Abdul Karim) sebagai “penggagas ASKS.” 2

Atas dasar apa “Oka Miharzha S” (Abdul Karim) mengklaim dirinya sebagai “penggagas ASKS”? Bahwa Kabupaten Tanah Bumbu (tempat bekerja dan bermukim Oka Miharzha S/Abdul Karim, saat itu Karo Humas di Pemkab Tanah Bumbu) menjadi tuan rumah ASKS II, betul: tapi bukan “penggagas.”

BACA JUGA : Terinspirasi Kehidupan Banjar Hulu, Si Pilanggur pun Masuk Deretan Sastra Rancage

Dia lebih tepat disebut sebagai “pelanjut”: melanjutkan, meneruskan ASKS. Saya masih ingat suasana Sidang Pleno di Pendopo Bupati HSS (yang dihadiri wakil-wakil sastra/pegawai dinas terkait seluruh kabupaten/kota).

Saya ingat: yang “bersaing ketat” untuk menjadi tuan rumah/panitia penyelenggara ASKS II adalah Kabupaten Tanah Bumbu (diwakili Oka Miharzha S/Abdul Karim) dan Kabupaten Kotabaru (diwakili almarhum Eko Suryadi WS).

Setelah melalui perundingan lumayan alot, almarhum BS (pemimpin Sidang Pleno) dan forum akhirnya menyetujui Kabupaten Tanah Bumbu sebagai pelaksana ASKS II (2005), dan Kabupaten Kotabaru sebagai tuan rumah ASKS III (2006), dengan catatan: seluruh biaya pelaksanaan acara (akomodasi, konsumsi, transportasi lokal) ditanggung oleh tuan rumah.

BACA JUGA : Walau Tak Punya Aksara, Bahasa Banjar Kaya dengan Karya Sastra

Setelah Kabupaten Tanah Bumbu diberi mandat sebagai pelaksana ASKS II (2005), apa yang terjadi? Meskipun inisiator, tapi, sesuai kebijakan Pemkab Tanah Bumbu saat itu, ternyata Oka Miharzha S/Abdul Karim (Karo Humas) tak ditunjuk sebagai ketua panitia pelaksana kegiatan. Pelaksana kegiatan ASKS II diserahkan sepenuhnya kepada instansi terkait: (saat itu) Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga (Disdikbudparpora) Kabupaten Tanah Bumbu (yang kepala dinasnya, saat itu, Drs. H.M. Thaha, M.Pd.).

Saya tidak tahu, apa yang terjadi di belakang layar Bumi Bersujud. Yang jelas, jelang pelaksanaan ASKS II (pelaksanaannya dikaitkan dengan momen Hari Jadi Kabupaten Tanah Bumbu), saya dihubungi dan diminta Drs. H.M. Thaha, M.Pd. (yang telah saya kenal sebelumnya saat yang bersangkutan menjadi dosen di ULM) merancang seluruh kegiatan: membuat TOR/rancangan acara/jadwal kegiatan; membuat Rancangan Anggaran Biaya (RAB), sekaligus sebagai editor buku antologi puisi tunggal (“Langkah,” karya almarhum H. Andi Amrullah).

Dalam situasi seperti itu, dimana posisi Oka Miharzha S/Abdul Karim? Saya tidak tahu, hampir tak merasakan kehadiran dan kontribusinya sama sekali. Jelang dan pada saat pelaksanaan ASKS II (di Pagatan) tampaknya ada hubungan yang kurang harmonis antarpihak di Pemkab Bumi Bersujud.

Sebagai “tukang”, saya tak peduli “hubungan kurang harmonis antarpihak” itu, hanya mengerjakan apa yang “disuruh tuan rumah”: termasuk mencetak antologi puisi H. Andi Amrullah (di Yogyakarta, nginap dan numpang makan gratis sebulan lamanya di rumah Raudal Tanjung Banua, di Miri Sawit, Bantul); menulis nama-nama/daftar undangan bagi penyair/sastrawan se-Kalimantan Selatan (sekaligus mendistribusikannya kepada pihak-pihak yang bersangkutan di seluruh kabupaten/kota).

BACA JUGA : Di Tengah Keterbatasan, ASKS XVII Tabalong akan Tetap Digeber Secara Virtual

Demikianlah, sekelumit riwayat ASKS, yang berawal di Kandangan. “Kegemparan” yang terjadi di kalangan sastra Provinsi Kalimantan Selatan (akibat adanya klaim sebagai “penggagas ASKS” itu) tak membuat saya sakit hati, tapi geli.

Tiba-tiba, saya teringat almarhum Bahdar Djoehan (Wakil Bupati HSS saat itu, yang membangun “Panggung Taman D. Zauhiddie”), almarhum BS, almarhum Uda Jarani, almarhum Ruslan Faridi, almarhum Abdaluddin (Udin Salak), almarhum Syarmidin.(jejakrekam)

Penulis adalah Sastrawan dan Budayawan Kalsel

(Isi dari artikel ini sepenuhnya tanggungjawab penulis bukan tanggung jawab media)

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.