Oleh : Humaidy Ibnu Sami
BERMULA pada ‘Aamul Jamaah (Tahun Persatuan Kembali Ummat Islam), di mana Sayyidina Hasan RA dengan lapang dada dan sukarela menyerahkan tampuk kekhilafahan yang baru saja, beliau duduki sebagai Khalifah kelima kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan demi persatuan umat Islam.
HANYA SAJA, penyerahan ini tidak begitu saja diserahkan, melainkan dengan syarat setelah Mu’awiyah selesai memerintah, suksesi harus dikembalikan kepada kaum muslimin.
Namun rupanya, Mu’awiyah ingkar janji, mengkhianati syarat yang ia sudah sepakati, ia justru mengangkat puteranya sendiri Yazid sebagai pengganti dirinya, tak diserahkan kepada umat Islam.
Tentu saja, saat itu banyak umat Islam yang marah dan tak mau membai’at Yazid, termasuk Sayyidina Husein adiknya Sayyidina Hasan. Puncak ketidak puasan itu, pada pagi hari tanggal 10 Muharram 61 H., Sayyidina Husain (cucu Nabi Muhammad Saw dari garis pernikahan Siti Fatimah dan Sayyidina Ali) bersama belasan keluarganya dan puluhan sahabatnya yang diperkirakan jumlahnya 72 orang syahid di Karbala (Irak) dalam sebuah pembantaian. Beberapa saat kemudian, padang pasir Karbala memerah darah.
BACA : Semarak 10 Muharram, Bubur Asyura pun Menjadi Menu Tahunan yang Dinanti
Tubuh-tubuh yang suci terkapar bergelimpangan. Kuda-kuda musuh dengan garangnya menginjak-injak tubuh korban. Menjelang sore, pembantaian dramatis itu berakhir.
Pembantaian dilakukan pasukan Umar bin Sa’ad dan AlHajjaj bin Abihi yang jumlahnya diperkirakan –dalam catatan versi paling sedikit- empat ribu di bawah perintah Yazid bin Muawiyah yang kala itu menjadi khalifah berdasarkan limpahan dari Muawiyah yang mengkhianati kesepakatan dengan Sayyidina Hasan tentang suksesi kekhalifahan yang seharusnya dibentuk semacam dewan syura dari umat Islam.
Yazid memang dikenal sebagai penguasa yang zalim dan pribadi yang fasik, sebagaimana dicatat dalam Tarikh al-Khulafa’ karya Imam as-Suyuthi atau tarikh-nya Imam al-Thabari.
Kekejamannya pada Sayyidina Husein juga bukan satu-satunya yang mengerikan di mana cucu Nabi itu dipenggal dan keluarganya diarak keliling Arab serta ditawan selama 40 hari.
Sebuah peristiwa yang hingga Imam Abdullah bin Alwi Al Haddad dalam Tastbit al-Fuad menegaskan bahwa Hari Asyura adalah hari kesedihan.
BACA JUGA : Mengenal Syi’ah Ja’fariyah, Apa dan Bagaimana
Yang juga mengerikan adalah kekejaman Yazid pada sahabat Nabi Muhammad dan penduduk kota Madinah yang kemudian dikenal dengan Peristiwa Harrah, juga serangan pasukannya ke kota Makkah yang hingga mengancam Ka’bah dan Masjidil Haram untuk melumpuhkan Abdullah bin Zubair.
Ketika itu Abdullah dan pasukannya yang menguasai Mekkah berlindung di dua bangunan suci tersebut.
Tragedi Karbala merupakan salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah Islam. Tragedi internal umat Islam paling mengerikan yang menyiratkan pesan bahwa “Islam” bisa dibajak menjadi semacam label dunia semata untuk nafsu berkuasa.
Oleh karena itu, di antara nasihat Sayyidina Husein pada pengikut Yazid: “Kalian adalah orang-orang yang paling besar musibahnya karena kedudukan ulama telah direbut.”
Syekh Abdul Qadir Jailani dalam Al-Ghunya memasukkan Hari Asyura sebagai salah satu “Asyirul Karomah” (Hari Keramat) bersama Nuzulul Quran, Lailatul Qadr, Maulid Nabi, Isra-Mi’raj, Hari Arafah, Idul Fitri, dan Idul Adha.
BACA JUGA : Pemerintah Harus Dorong Aktivitas Ahlul Bait
Nabi SAW pun telah jauh-jauh hari mengingatkan akan Hari Asyura tersebut kepada Ummu Salamah, misalnya dicatat dalam Fadhail ash-Shahabah karya Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang ditahkik oleh Washiulllah bin Muhammad Abbas, Profesor Universitas Ummul Qura, Mekkah.
Tentu, Husein tak hendak berperang. Karbala bahkan bukan tujuannya. Ia membawa anak-anak dan wanita dari keluarganya dan keluarga sahabatnya untuk berhijrah ke Kufah menemui pengikut setia ayahnya untuk merencanakan sebuah gerakan menentang kezaliman kekhalifahan Yazid. Atau dalam bahasa lain, bukan mengajak perang, tapi hanya demo atas kezaliman yang berjalan.
Jumlah rombongan hijrah itu pun hanya puluhan. Ia sendiri juga menegaskan: “Aku keluar bukan untuk merusak, melainkan perbaikan bagi umat kakekku. Aku ingin beramar ma’ruf dan nahi munkar.”
Namun, pasukan Umar bin Sa’ad dan AlHajjaj bin Abihi menggiringnya ke Karbala dan membantainya. Husein mencoba melawan, namun apa daya. Keadaannya dipersulit karena ia dan pasukannya diblokade dari air Sungai Eufrat.
Sebuah episode sejarah yang menampilkan romantika perjuangan, pengorbanan, kesetiaan, kesabaran, yang berhadapan dengan ketertindasan, kekejaman, kebengisan, dan seterusnya dalam sebuah upaya menegakkan nilai-nilai luhur dan mulia.
BACA JUGA : Milad Kesultanan Banjar Gaungkan Bubur Asyura
Sebagaimana memang dicita-citakan oleh Sayyidina Husein sendiri bahwa ia syahid untuk memenangkan sejarah tentang masa lalu: kemenangan nilai-nilai, mendobrak semua sekat yang ada: keagamaan dan kebangsaan, lalu menginspirasi semua pribadi dan komunitas antar agama dan bangsa.
Seorang pendeta dan gerejanya di Syam, ketika rombongan tawanan keluarga dan sahabat Sayyidina Husein melewati daerahnya, membayar pasukan Umar bin Sa’ad dan AlHajjaj bin Abihi untuk “meminjam” dalam waktu semalam kepala Sayyidina Husein karena tahu akan keagungan kepalanya.
Malam itu ia mencuci kepala yang dipenuhi darah itu di sebuah batu, batu itu kini terletak di Aleppo (Suriah) dan dibangunkan sebuah masjid bernama “Al-Nuqtah” untuk menghormatinya. Sejarah masjid itu dicatat oleh Sheikh Ibrahim Nasralla dalam The Traces of Ale Mohammad in Aleppo.
Hingga kini, setiap Hari Asyura, para pendeta juga ikut hadir memperingatinya di makam Sayyidina Husain di Irak. Antoine Bara, cendekiawan Kristen, menulis buku berjudul Imam Hussein in Christian Ideology. Dia menegaskan bahwa Husain dan tragedinya bukan hanya “milik” muslim saja, tetapi milik seluruh manusia, karena ia adalah “hati nurani agama-agama” dan “prinsip kemanusiaan”.
Mahatma Gandhi belajar dari Sayyidina Husain tentang bagaimana tertindas namun bangkit menjadi pemenang. Karena itu, Asyura menjadi salah satu inspirasi utama bahwa perang dalam Islam bukan soal agama (dorongan fanatisme), melainkan kemanusiaan, keadilan, dan semangat egalitarian. Termasuk jika ia ada dalam tubuh Islam itu sendiri, seperti tentang Sayyidina Husain dan Yazid.
Di Indonesia, “Tragedi Karbala” menjadi hikayat dan peringatan yang ada dalam berbagai tradisi lokal. Bermula dari Hikayat Soydina Usin yang ditulis sekitar abad ke-17 di Aceh, ada tradisi “Bubur Suro” di Jawa dan Kalimantan ada tradisi ‘Bubur Asyura’ di mana dalam versi hikayat hingga diakulturasikan dengan menyamakan Yazid dan Kurawa, dalam dalam bentuk festival bernama Tabot di Bengkulu.
Adapun di tanah Sunda dan Madura, hikayat tentang Asyura digubah dengan menekankan pada kekejaman Yazid dengan versi Sunda berjudul Wawacan Yazid dan versi Madura: Caretana Yazid Calaka (Kisah Yazid Celaka).
BACA JUGA : Jadi Menu Buka Puasa, Bubur 41 Bahan Ludes Terbagi di Hari Asyura
Dalam catatan Ricklefs di A History of Modern Indonesia, abad ke-17-19 M adalah masa-masa maraknya perang anti-kolonial yang dimulai dengan Perang Ternate pada awal abad ke-17 M sampai Perang Aceh yang berlangsung begitu lama pada akhir abad ke-19 M.
Dikisahkan bahwa para pemimpin peperangan itu yang sebagian besar adalah tokoh Islam, seperti Pangeran Trunojoyo pada abad ke-17 dan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa di abad ke-19, kerap menjadikan epos Islam masyhur seperti Asyura sebagai kisah yang diceritakan pada komandan perang dan pembantu dekatnya untuk membangkitkan semangat perang.
Akhirnya, di antara episode dalam Perang Karbala, salah satu komandan pasukan Yazid bernama Hur ar-Riyahi yang berkontribusi dalam menggiring Husain hingga ke Karbala, justru berbalik membela Husain di tengah perang di Karbala.
Ia terdorong oleh kata-kata Sayyidina Husein kepadanya bahwa ia dilahirkan sebagai seorang yang merdeka, maka jangan mau diperbudak oleh siapa pun untuk sesuatu yang bertentangan dengan nuraninya. Dan Hur menjadi syahid paling beruntung, husnul khotimah.
Sebuah pelajaran sejarah agar kita tak pernah memvonis siapa pun atas keadaannya saat ini: kafir, fasik, dan lain-lain. Maupun berbangga atas apa yang menjadi keadaan kita saat ini: muslim, saleh, dan lain-lain. Karena kita tak tahu episode-episode apa yang akan terjadi dalam sejarah mereka dan kita di hari-hari esok dan bagaimana ujung dari kehidupan mereka dan kita: husnul khotimah atau su’ul khotimah. Allah Yarham.(jejakrekam)
Penulis adalah Dosen UIN Antasari Banjarmasin
Peneliti Senior LK3 Banjarmasin
(Isi dari artikel ini sepenuhnya tanggungjawab penulis bukan tanggung jawab media)