Cerita Sopir Taksi, Pernah Ditolak Keluar Kota Karena Persyaratan Rapid Tes

0

BERDIRI di trotoar jalan, sembari melambaikan sebelah tangan dan berteriak kota tujuan untuk menarik perhatian penumpang. Hal itu yang setiap kali dilakukan oleh Didi dan teman-teman saat mangkal di jalanan.

TAK
bisa dipungkiri, pandemi virus Corona (Covid-19) berdampak hampir terhadap semua sektor, termasuk pegiat sopir taksi konvensional. Pria berusia 39 tahun ini mengaku sangat terkena dampak akibat wabah asal Wuhan.

Dari jumlah penumpang yang ramai ke hampir pas-pasan lantaran pegiat transportasi online kian menjamur. Didi mengungkapkan, bahwa pandemi ini justru membuat pendapatan para sopir taksi kian sepi.

BACA : Menengok Kondisi Taman Satwa Banjarmasin Di Tengah Pandemi Covid-19

“Sangat minim, tidak ada pemasukan sama sekali. Syukur-syukur cukup untuk kebutuhan sehari-hari,” katanya saat berbincang dengan jejakrekam.com, sembari masih menunggu penumpang.

Ia pun harus semangat demi menyambung hidup. Di samping itu, ada istri dan dua anak yang masih menempuh pendidikan di tingkat menengah atas.

Didi terbilang masih baru menjadi sopir taksi konvensional. Terhitung sejak tujuh bulan belakangan.

Berbeda dengan kebanyakan orang, nasibnya masih beruntung lantaran mobil yang digunakannya untuk mengais rejeki merupakan milik saudara. Tanpa harus pusing memikirkan cicilan bulanan.

“Jadi pendapatannya itu sistem persenan. Kalau tidak dapat juga dalam sehari itu bisa dimaklumi,” tuturnya.

BACA JUGA : Siring Tendean Ditutup, Pedagang : Kami Mati Bukan Karena Corona, Tapi Kelaparan

Untuk sekali rute, tarif yang ditetapkan tergantung jarak tempuh dan negosiasi antara penumpang dan sopir. Paling jauh, para sopir taksi yang mangkal di depan kawasan Masjid Hasanudin Majedi Kayutangi ini bisa sampai ke Kota Pontianak, Kalbar.

“Itu tarifnya bisa sampai sejutaan lebih, ya paling bisa satu juta kami bawa,” ujar Didi.

Lebih jauh, ayah dari dua anak ini menceritakan pengalaman yang paling membekas dialaminya selama pandemi.

Didi mengaku sempat ditolak masuk ke sebuah kota. Alasannya, daerah tersebut saat itu masih melaksanakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Yang mana, harus menunjukkan identitas diri.

Di samping itu, kata dia, saat itu adanya persyaratan untuk membawa surat hasil rapid test membuat dirinya kesusahan masuk ke daerah tersebut.

“Terpaksa penumpangnya turun disana dan naik ojek untuk melanjutkan perjalanan. Dan saya harus putar balik. Tapi beruntungnya sekarang sudah tidak lagi,” tutupnya.

Didi pun berharap agar virus berbahaya yang pertama kali diketahui di Wuhan, Tiongkok ini dapat segera di atasi. Sehingga dirinya dan para pegiat transportasi konvensional lainnya bisa kembali mudah mengais rejeki.

“Tapi semua ini kan atas kehendak tuhan, kita hanya bisa berikhtiar dan tawakal,” tandas pria asli Banjarmasin ini.(jejakrekam)
 

Penulis M Syaiful Riki
Editor Fahriza

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.