Antara KAMI dan KITA : Perebutan Ruang Publik

0

Oleh: Muhammad Uhaib As’ad

DEKLARASI Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), 18 Agustus 2020 di Kawasan Tugu Proklamsi oleh sejumlah tokoh nasional, Prof Din Syamsuddin, Prof Rachmat Wahab, Gatot Nurmantiyo, Ahmad Yani, Syahganda Nainggolan, TB Mass Djafar, dan sejumlah tokoh lainnya.

KEHADIRAN KAMI telah membuat hiruk-pilikuk pelataran perpolitikan nasional. Pelataran perpolitikan nasional semakin riuh, ruang publik pun diwarnai optimisme dan kenyinyiran, pro dan kontra. Inilah alam demokrasi dan kebebasan merakit optimisme dan kenyinyiran sebebasnya  pasca Orde Baru.

Di era demokratisasi saat, bangsa ini dengan political citizen menemukan habitat demokrasi  setelah 32 tahun berada dalam sangkar besi otoritarianisme dan oligarki kekuasaan. Otoritarianisme dan oligarki kekuasan selama  pemerintahan Orde Baru telah mendistorsi hak-hak politik rakyat (political citizen), kehidupan sosial, ekonomi dan politik berada dalam genggaman kekuasaan segelintar orang. Segelintir orang itu  adalah instalator, komparador, dan patronase ekonomi-politik penguasa Orde Baru.

Realitas ini telah berdampak pada sistem pengelolaan negara dan kebijakan negara pun tersandera oleh kekuatan di luar negara. Para aktor dan kelompok oligarki berusaha menguasa kekuatan politik, akonomi, dan panggung demokrasi. Panggung demokrasi dikuasai segelintir orang, memangsa sumber daya ekonomi dan politik negara.

BACA : Ketika Partai Politik dalam Pusaran Lingkaran Setan Korupsi

Segelintir orang itu menjadi oligarki, predaror, penumpang gelap di tengah kekacauan demokrasi, di tengah konsolidasi demokrasi yang semakin gagap ini.

Kegagapan  demokrasi yang melanda bangsa ini  dapat diamati, bagaimana realitas politik dan ekonomi belum memberikan optimisme dan harapan masa depan.

Berkaca dari ketidak jelasan kehidupan ekonomi dan carut marut nya realitas demokrasi saat ini  semakin meneguhkan ketidakpercayaan (distrust) pagi publik. Ketidakpercayaan (distrust) terhadap negara bukan tidak ada alasan rasional  bagi publik. Salah satu alasan rasional publik adalah; betapa susahnya lapangan pekerjaan dan itu betul-betul dirasakan oleh rakyat, khususnya bagi rakyat berpenghasilan rendah.

Di sisi lain, para aktor politik semakin memperlihatkan ketidakjelasan keberpihakan bagi rakyat, justru institusi  kekuasan atau lembaga-lembaga demokrasi menjadi instrumen persekongkolan, praktik korupsi, dan mafia demokrasi (Edward Aspinall, 2019, Mary Mac Coy, 2018, M. Uhaib As’ad, 2020).

BACA JUGA : Kontestasi Politik dan Perebutan Simpul Basis Patronase

Senja kala Demokrasi, kata yang menggambarkan realitas bangsa saat ini. Imaginary order publik dan kerinduan political citizen di era demokratisasi saat ini justru memupuskan harapan dan mimpi-mimpi anak bangsa. Antara harapan dan kenyataan dalam kehidupan ekonomi dan politik semakin semakin jauh.

Apa yang dirasakan rakyat saat ini adalah sebuah pengkhianatan imaginary order publik, stateless, dan keterasingan dari dalil- dalil ekonomi yang sering diucapkan para penguasa. Selama ini rakyat hanya sebatas mendengar, sebatas bermimpi, sebatas mendengar diksi kita yang keluar dari mulut penguasa bahwa ekonomi dan politik masih stabil, sementara logika rakyat berada di luar logika penguasa.

Di tengah ketidakjelasan pertumbuhan ekonomi dan praktek  demokrasi politik saat ini, rakyat semakin kehilangan pengharapan untuk hidup  layak dan bermartabat. Hak hidup layak dan bermartabat adalah hak yang paling substansi dari seluruh anak bangsa  di negeri.

Institusi negara, institusi demokrasi, secar terotik dihadirkan untuk mewujudkan kehidupan kejahteran dan marwah bagi seluruh anak bangsa. Itulah cita-cita negara ini dihadirkan. Negara ini hadir bukan membela kepetingan segelintir orang saja seperi yang terjadi saat ini.

BACA JUGA : Antara Demokrasi Prosedural dan Demokrasi Substantive

Negara bukan menjadi fasilitator dan instalator bagi para mafia politik, mafia demokrasi, menjadi menjadi instrumen kesempatan bagi kelompok oligarki untuk merampok sumber daya ekonomi negara. Yang paling menyedihkan, justru menjadi predaror bagi rakyatnya sendiri yang mengatasnamakan regulasi negara dan kepentingan keselamatan negara di tengah kebisuan dan ketidak berdayaan rakyat (Muhammad Uhaib As’ad, 2020).

Antara KAMI dan KAMI

Demikian judul tulisan ini. Pada awal tulisan ini menjelaskan bahwa kehadiran KAMI di tangan carut-marut ekonomi dan perpolitikan nasional sebagai ekspesi  dari keprihatinan dari komponen anak bangsa. Hadir di tengah kepengapan dan mengakarnya struktur oligarki. Struktur oligaki semakin menyebar bagaikan amuba, bagaikan Covid-19 meluluh lantakan kehidupan umat manusia di planit bumi ini. Penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), perburuan rente ekonomi, perselingkuhan terstruktur antara politik dan pebisnis, antara legislatif dan eksekutif adalan fenomena yang mendera bangsa saat ini.

BACA JUGA : Kutukan Demokrasi dan Politisasi Kebencian

Saya berkeyakinan bahwa kehadiran KAMI sebagai panggilan moral, panggilan sejarah di saat pelataran sosial, ekonomi, dan politik dikusai dan panggung demokrasi dibajak oleh kuasa uang. Seperti ditulis Prof Jeffery Winters (2011),  Prof Vedi R Hadiz (2010),  sumber daya ekonomi telah dikuasai oleh kolompok oligarki.

Kelompok oligarki itulah mendesain panggung politik dan demokrasi yang memiliki jaringan kekuasaan.

Menurut pendapat saya, kontestasi elektoral itu tidak lebih adalah pesta poranya para pemilik modal, para elite politik, dan partai politik. Sementara pesta poranya rakyat ketika saat berada dalam bolik suara, bersedekah suara dalam beberapa menit. Itu partisipasi politik semua dan rakyat terlupakan dalam perdebatan-perdebatan politik dan ekonomi di lembaga legislatif dan eksekutif. Itulah demokrasi semu, demokrasi formalitas-prosedural, kata Brian Smith dan William Case (2006).

Praktik politik uang dan persekongkolan politik semakin menegaskan Pasar Gelap Demokrasi (Black Market of Democracy), (Muhammd Uhaib As’ad, 2019).

Ya, Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), hadir bukan sebagai panasea yang bisa mengamputasi semua borok ekonomi dan politik di negeri ini. KAMI hadir setidaknya menjadi penawar dahaga di bagi anak bangsa yang sedang melakukan musafir (perjalanan) di gurung  pasir demokrasi yang secara perlahan tapi mesti telah didera keletihan. Sungguh, 22 tahun perjalanan dan janji reformasi itu terasa jauh dan melelahkan.

BACA JUGA : Desak Pemerintah Jalankan Amanat UUD 1945, KAMI Kalsel Dideklarasikan

Persendian tulang-belulang anak bangsa ini semakin rapuh. Rapuh, hopeless, endless love, distrust, patamorgana. Ya, sang musafir tidak boleh berhenti. Langkah tegap dan maju terus. Petarungan di tengah kegersangan sembari sesekali berharap ada pohon kecil sekedar tempat bertedu, di tengah kegersangan dan kesendirian.

KAMI hadir di tengah keletihan, kegetiran, dan keputusasan para musafir. Ya Allah, Ya Malik Mulk, anak bangsa  yang sedang mengembara, anak bangsa  yang mencari  tanah luluhur  yang dijanjikan oleh para tuan-tuan reformasi, 22 tahun lalu. Sebagai anak bangsa petarung pantang mundur. We have move on forever.

KAMI VS KITA

Beberapa hari pasca deklaasi KAMI, muncul deklasi yang mengatasnamakan diri Kerapatan Indonesia Tanah Air (KITA) yang dikomandani oleh KH Maman Inul Haq dan sejumlah tokoh mantan tim sukses Pilpres, Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Tentu saja kehadiran KITA ini semakin menambah hiruk-pikuk perpolitikan nasional. Sebagai negara demokrasi tentu saja hal yang wajar dan tidak tidak pernah dibayangkan fenomena seperti terjadi di era Orde Baru.

KAMI dan KITA tentu saja masing-masing memiliki cara pandang atau perspektif dalam memahami realitas sosial, ekonomi, dan politik saat. Kehadiran KAMI dari orang-orang tim sukses Jokowi akan berbeda secara ideologis dalam merspon situasi saat ini. KITA tidak mungkin mumgkin mengambil sikap kritis terhadap rezim Jokowi.

KITA akan berada pada wilayah comfort Zone dan akan menjadi instalator penguasa. Kehadiran KAMI dari KITA yang sama-sama anak kandung negeri ini dalam perebutan wacana publik akan semakin menarik tinggal masing-masing mayakinkan publik. Akhirnya, pengadilan publik yang akan menilai di tengah situasi ekonomi dan politik semakin tidak menentuk, di tengah situasi Covid-19, entah kapan berakhir. Di sinilah adrenalin para penguasa akan diuji oleh publik, termasuk KAMI dan KITA.(jejakrekam)

Penulis adalah Peneliti pada Pusat Studi Politik dan Kebijakan Publik, Banjarmasin

(Isi dari artikel ini sepenuhnya tanggungjawab penulis bukan tanggung jawab media)

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.