Dampak Multidimensi Rakyat Jika Wabah Covid-19 Gagal Diatasi

0

Oleh : dr Abd.Halim, SpPD.SH.MH.MM.FINASIM

TERUS bertambah kasus positif dan tingginya angka kematian sebagai petanda bahwa usaha Gugus Tugas Percepatan Penanganan (GTPP) Covid-19 baik di pusat dan didaerah dianggap lamban, bahkan bisa dikatakan gagal memberi rasa aman.

SEPERTI diamanatkan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular menekankan soal rasa aman itu. Belum tumbuhnya kesadaran masyarakat yang tinggi bahwa penyebaran wabah ini sangat tergantung pada kepatuhan dan peran serta masyarakat dalam menjalankan dan menjadikan protokol kesehatan pencegahan Covid-19. Hal itu sebagai sebuah perilaku dan adaptasi baru dalam menjalankan PHBS.

Pada 20 Juli 2020, pemerintah mengeluarkan PP Nomor 82 Tahun 2020 tentang Komite Penanganan Corona Virus Disease (Covid-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Alasan Presiden Jokowi meluncurkan PP ini mengingat pandemi Covid-19 yang menyerang membabi buta, menimbulkan ketidakpastian dan memiliki dampak dahsyat kepada kehidupan sosial, ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Tak dipungkiri, mayoritas kehidupan masyarakat sudah berubah menjadi miskin dan rentan miskin. Presiden Jokowi berpendapat bahwa penanganan pandemi Covid-19 harus satu gerak dengan upaya pemulihan ekonomi nasional.

Pandemi Covid-19 telah meluluhlantakkan dan membuat penurunan aktivitas ekonomi dalam segala bidang dan tidak jauh dari itu, jurang resesi sudah menggangga dan ekonomi nasional sudah berada di ujung tanduk.

Efek dari pembatasan sosial, karantina wilayah yang muncul dari sifat virus Corona telah membuat ketakutan dan membatasi segala bentuk aktivitas.

Kilas balik penanganan wabah Covid-19 dengan ditetapkan pandemi covid sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (KKM) dengan Keppres Nomor 11 Tahun 2020 tanggal 31 Maret 2020 dan ditetapkan sebagai bencana nonalam dengan Kepprs Nomor 12 Tahun 2020 tanggal 13 April 2020. Dan PP Nomor 21 Tahun 2020 tertanggal 31 Maret 2020 tentang PSBB dalam rangka percepatan penanganan Covid-19

Dibentuknya Gugus Tugas Pencepatan Penanganan Covid-19 dengan Keppres Nomor 7 Tahun 2020 tertanggal 13 Maret 2020, kemudian direvisi dengan Keppres Nomor 9 Tahun 2020 tertanggal 20 Maret 2020 dan dicabut dan tidak berlalu lagi dengan dikeluarkan PP Nomor 82 Tahun 2020 tertanggal 20 Juli 2020.

Kewajiban pemerintah dalam penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 1984, Pasal 5 ayat (1) yang menyatakan pemerintah bertanggung jawab untuk melaksanakan upaya penanggulangan wabah dengan cara meliputi antara lain :

1. Penyelidikan epidemiologis;

2. Pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi penderita, termasuk tindakan karantina;

3. Pencegahan dan pengebalan;

4. Pemusnahan penyebab penyakit;

5. Penanganan jenazah akibat wabah;

6. Penyuluhan kepada masyarakat;

7. Upaya penanggulangan lainnya.

Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular menjelaskan apa itu tujuan penanggulangan wabah. Upaya penanggulangan wabah mempunyai dua tujuan pokok yaitu :

1. Berusaha memperkecil angka kematian akibat wabah dengan pengobatan.

2. Membatasi penularan dan penyebaran penyakit agar penderita tidak bertambah banyak, dan wabah tidak meluas ke daerah lain.

Pasal 10, mengamanatkan pemerintah bertanggung jawab untuk melaksanakan upaya penanggulangan wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1). Yang dimaksud “Pemerintah ” adalah organisasi yang memiliki kekuasaan untuk membuat dan menerapkan hukum serta undang-undang di wilayah tertentu.

Berdasarkan Hukum Tata Negara Republik Indonesia (UUD 1945), Pemerintah itu adalah Presiden, Wakil Presiden dengan Menteri-Menteri Negara. Pemerintahan atau goverment menurut C.F. Strong adalah organisasi dalam mana diletakkan hak untuk melaksanakan kekuasaan berdaulat atau tertinggi.

Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.

Masalah wabah dan penanggulangannya tidaklah berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari upaya kesehatan secara nasional yang mempunyai kaitan dengan sektor lainnya di luar kesehatan, serta tidak terlepas dari keterpaduan pembangunan nasional. Dalam pasal 6 bahwa upaya penanggulangan wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat secara aktif.

Dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 Pasal 4 disebutkan bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit dan/atau faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat melalui penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan. Sedangkan pada Pasal 5 ayat 1 Pemerintah Pusat bertanggung jawab menyelenggarakan Kekarantinaan Kesehatan di Pintu Masuk dan di wilayah secara terpadu.

Dalam menyelenggarakan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat dapat melibatkan Pemerintah Daerah. (ayat 2).

Pada Pasal 6 Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap ketersediaan sumber daya yang diperlukan dalam penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan.

Berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2018 ini maka kewajiban dan tanggung jawab dalam pelaksanaan penanggulan KKM dengan kekarantinaan kesehatan adalah pemerintah pusat dalam hal ini menteri kesehatan. Sesuai dengan PP Nomor 21 Tahun 2020 tentang PSBB, Menteri Kesehatan yang berwewenang menetapkan daerah mana yang dapat disetujui melaksanakan PSBB atas usulan dan permohonan dari daerah provinsi dan kabupaten/kota.

Permekes Nomor 9 Tahun 2020 Pasal 3 ayat (1) Menteri menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di suatu wilayah berdasar permohonan gubernur/bupati/walikota.

Dalam Pasal 12, mengatur hal Pembatasan Sosial Berskala Besar telah ditetapkan oleh Menteri, Pemerintah Daerah wajib melaksanakan dan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk secara konsisten mendorong dan mensosialisasikan 0 pola hidup bersih dan sehat kepada masyarakat.

Suatu daerah yang disetujui penerapan PSBB wajib segera melaksanannya dan mengevaluasi tiap 14 hari apakah PSBB terus dilanjutkan untuk periode berikutnya atau berhenti dengan menyampaikan laporan evaluasi ke Menkes untuk dicabut KMK PSBB daerah tersebut. Dari penelusuran kami, tidak semua provinsi dan kabupaten/kota yang melaksanakan PSBB. Sesuai Permenkes 9 tahun 2020, banyak kriteria dan persyaratan yang dipenuhi oleh daerah yang mengajukan usul untuk PSBB. Pasal 9 (1) Penetapan PSBB dilakukan

atas dasar:

1. Peningkatan jumlah kasus secara bermakna dalam kurun waktu tertentu;

2. Terjadi penyebaran kasus secara cepat di wilayah lain dalam kurun waktu tertentu; dan

3. Ada bukti terjadi transmisi lokal.

Dalam pelaksaanan PSBB yang sesuai PP 21 tahun 2020 dan Permenkes 9 Tahun 2020 dan KMK penetapan daerah yang PSBB , keberhasilan cukup signifikan mengurangi dan membendung penyebaran covid 19.

Namun pada akhir Mei 2020 (4 minggu setelah PSBB dilaksanakan) Presiden Joko Widodo mengintruksikan beberapa daerah untuk memulai tatanan normal baru dengan konsep berdamai dengan Covid-19 dengan membuka mall, pasar, tempat ibadah dan pusat ekonomi masyarakat dengan alasan ekonomi bergerak stagnan bahkan negatif akibat kegiatan PSBB.

Sejak Juni 2020, secara bertahap dilakukan relaksasi atau pelonggaran PSBB bahkan ada berhenti sama sekali PSBB seperti di kota Banjarbaru yang hanya satu periode PSBB. Sampai saat ini yang masih konsisten melakukan PSBB adalah DKI Jakarta dengan menerapkan PSBB menuju Adaptasi Kebiasan Baru sampai 31 Juli 2020 dan kemungkinan akan diperpanjang untuk kesekian kalinya.

Update sebaran kasus virus corona (Covid-19) Berdasarkan data yang masuk hingga Selasa tanggal 28 Juli 2020 silam, pukul 12.00 WIB, total ada 102.051 kasus Covid-19, terhitung sejak diumumkannya kasus pertama pada 2 Maret 2020. Jumlah itu akibat adanya penambahan 1.748 kasus baru Covid-19 dalam 24 jam terakhir.

Sebanyak 1.748 kasus baru itu didapatkan setelah dilakukan pemeriksaan terhadap 22.563 spesimen dari 15.222 orang yang diambil sampelnya. Total sudah dilakukan pemeriksaan 1.417.322 spesimen dari 823.168 orang yang diambil sampelnya. Dalam periode 27 – 28 Juli 2020, ada penambahan 63 pasien Covid-19 yang tutup usia. Sehingga, total pasien Covid-19 yang meninggal mencapai 4.901 orang. Saat ini, pemerintah menyatakan masih ada 36.611 pasien Covid-19 yang masih dalam perawatan. Selain itu, tercatat ada 46.648 orang yang berstatus suspek.(kompas.com 28/07/2020).

Terlihat bahwa penyebaran Covid-19 tidak terkendali karena terbentuk kluster-kluster baru akibat berhentinya PSBB atau New Normal yang awalnya diistilahkan rezim ini, tapi akhirnya direvisi dengan istilah Adaptasi Kehidupan Baru yang sebenar sama saja bahwa rakyat berjuang masing masing mencari selamat dan tetap sehat dan survive di pandemi Covid-19 ini (Herd Imunnity Alamiah).

Adapun nasib GTPP setelah dikeluarkan PP 82 tahun 2020 tertuang dalam Pasal 20 :

1. Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19); dan

2. Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Daerah yang dibentuk oleh Gubernur dan Bupati/Walikota, tetap melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenangnya sampai dengan keanggotaan Satuan Tugas Penanganan Covid-19 dan Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Daerah dibentuk dan ditetapkan sesuai dengan ketentuan Peraturan Presiden ini.

Dan dalam Pasal 12 :

1. Gubernur dan Bupati/Walikota membentuk Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Daerah berdasarkan pertimbangan dan rekomendasi Ketua Satuan Tugas Penanganan COVID-19.

2. Penanganan COVID-19 di daerah dilakukan dengan memperhatikan arahan Ketua Satuan Tugas Penanganan COVID-19.

Pada Pasal 6 Satuan Tugas Penanganan COVID-19 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b mempunyai tugas:

1. Melaksanakan dan mengendalikan implementasi kebijakan strategis yang berkaitan dengan penanganan COVID-19;

2. Menyelesaikan permasalahan pelaksanaan kebijakan strategis yang berkaitan dengan penanganan COVID-19 secara cepat dan tepat;

3. Melakukan pengawasan pelaksanaan kebijakan strategis yang berkaitan dengan penanganan COVID-19; dan

4. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan serta langkah-langkah lain yang diperlukan dalam rangka percepatan penanganan COVID-19.

Pasal 7 Satuan Tugas Penanganan COVID-19 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b diketuai oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

Pasal 11

1. Satuan Tugas Penanganan COVID-19 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dan Satuan Tugas Pemulihan dan Transformasi Ekonomi Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c beranggotakan unsur pemerintah dan unsur lainnya yang diperlukan.

2. Susunan keanggotaan dan struktur organisasi Satuan Tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Ketua Komite Kebijakan.

Pertimbangan Keppres 9 tahun 2020 tentang Perubahan Atas Keppres 7 tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) adalah:

1. Bahwa penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah meluas dan berdampak pada aspek sosial, ekonomi, kesehatan, serta kesejahteraan masyarakat di Indonesia;

2. Bahwa telah terjadi keadaan tertentu darurat bencana wabah penyakit akibat Virus Corona di Indonesia yang perlu diantisipasi dampaknya;

3. Bahwa untuk memperkuat pelaksanaan tugas Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), perlu dilakukan penambahan kementerian/lembaga dalam susunan keanggotaan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

Dalam Keppres nomor 7 tahun 2020 Pasal 2 Gugus Tugas Percepatan Penanganan  COVID-19 berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Pasal 3 Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 bertujuan:

1. Meningkatkan ketahanan nasional di bidang kesehatan;

2. Mempercepat penanganan  COVID-19 melalui sinergi antar kementerian/lembaga dan pemerintah daerah;

3. Meningkatkan antisipasi perkembangan eskalasi penyebaran COVID-19;

4. Meningkatkan sinergi pengambilan kebijakan operasional; dan

5. Meningkatkan kesiapan dan kemampuan dalam mencegah, mendeteksi, dan merespons terhadap COVID-19.

Pasal 6

Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b memiliki tugas:

1. Menetapkan dan melaksanakan rencana operasional percepatan penanganan COVID-19;

2. Mengoordinasikan dan mengendalikan pelaksanaan kegiatan percepatan penanganan COVID-I9;

3. Melakukan pengawasan pelaksanaan percepatan penanganan COVID-19;

4. Mengerahkan sumber daya untuk pelaksanaan kegiatan percepatan penanganan COVID-19; dan

5. Melaporkan pelaksanaan percepatan penanganan COVID-19 kepada Presiden dan Pengarah.

Pasal 11

1. Gubernur dan Bupati/Walikota membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Daerah berdasarkan pertimbangan dan rekomendasi Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19.

2. Penanganan COVID-19 di daerah diiakukan dengan memperhatikan arahan Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID- 19.

Akibat kegagalan pemerintah dan GTPP pusat dan daerah menjalankan amanah UU wabah bahwa upaya penanggulangan wabah mempunyai 2 (dua) tujuan pokok yaitu :

1. Berusaha memperkecil angka kematian akibat wabah dengan pengobatan.

2. Membatasi penularan dan penyebaran penyakit agar penderita tidak bertambah banyak, dan wabah tidak meluas ke daerah lain.

Dan juga tugas tugas GTPP covid19 seperti dijabarkan dalam Keppres 7 tahun 2020 pasal 6 dan tujuan dibentuk GTPP pada pasal 3.

Dampak terhadap ketahanan dan pertumbuhan ekomoni yang sangat terpukul akibat tidak terselesainya dan tidak terkendalikan. Selain efek dari PSBB itu sendiri dan dampak resisi global.

Presiden Joko Widodo menyampaikan kondisi perekonomian baik nasional maupun global saat ini semakin sulit. Untuk mengendalikan pandemi covid dan memperbaiki perekonomian nasional agar berjalan beriringan bukan hal yang mudah.

“Kita tahu semuanya keadaan sekarang adalah keadaan yang tidak mudah, keadaan yang sangat sulit bagaimana mengendalikan Covid dan ekonomi ini supaya berjalan beriringan, bukan hal yang mudah,” ujar Jokowi saat menghadiri acara penyaluran dana bergulir untuk koperasi dalam rangka pemulihan ekonomi nasional di Istana Negara, Jakarta, Kamis (23/7).

Jokowi pun menceritakan pertumbuhan ekonomi dunia yang juga semakin tertekan dan berubah-ubah menjadi semakin sulit. Pada tiga bulan yang lalu, ia mengaku sempat berkomunikasi dengan managing director IMF yang kemudian menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi global pada tahun ini akan menjadi minus 2,5 persen dari sebelumnya berada di angka 3 persen sampai 3,5 persen.

Kemudian pada sebulan berikutnya atau dua bulan yang lalu, Jokowi kembali berkomunikasi dengan Bank Dunia. Namun ia menerima informasi prediksi pertumbuhan ekonomi global yang akan semakin tertekan yakni minus 5 persen.

Dan pada dua pekan yang lalu, Presiden juga menghubungi Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang memprediksi pertumbuhan ekonomi dunia akan minus 6 persen sampai minus 7,6 persen. Jokowi pun memprediksi pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal II akan minus 4,3 persen hingga minus 5 persen. Angka ini merosot jauh dari capaian pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2020 yang sebesar 2,97 persen.

“Kita Indonesia di kuartal I masih plus, sebelumnya kita +5. Kuartal I 2020 +2,97%, tapi di kuartal II kita sudah akan jatuh minus. Kita harus ngomong apa adanya, bisa -4,3% sampai mungkin 5,” katanya.

Akibat penanganan awal kurang tepat ini, baik yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah yang masih setengah hati dan ambivalen dan kebijakan yang berubah-ubah sehingga membingungkan masyarakat.

Bahkan, terkesan kuat tidak adanya kepastian hukum maka hasil akhirnya adalah terjadinya dampak multidimensi terutama banyaknya korban Covid-19 dengan implikasi besarnya biaya yang dibutuhkan dalam penanganan pasien dan juga dampak ekomoni masyarakat yang terpuruk, bertambahnya rakyat yang jatuh miskin, timbulnya kerawanan sosial dan keamanan masyarakat.

Tindakan Presiden Joko Widodo mengeluarkan PP 82 Tahun 2020 untuk membubarkan GTPP dan mengambil kewenangan ketua GTPP dan Menteri Kesehatan dan Pemerintah Daerah dalam hal ini Kepala Daerah sebagai Ketua GTPP Covid19 didaerah dengan membentuk Komite Penanganan Corona Virus Disease (COVID-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang diketuai oleh Menko Perekonomian dan ketua pelaksana harian menteri BUMN.

Sesuai dengan arahan Presiden bahwa fokus sekarang adalah perbaikan penanganan ekonomi. Salus Populi Suprema Lex Esto, aspek keselamatan rakyat yang dimaksud adalah keselamatan ekonomi rakyat dan korporasi oligarki ekonomi.(jejakrekam)

Penulis adalah Dokter Ahli Utama, Internis RSDI dan KUHM

Kandidat Doktor Ilmu Hukum PDIH UNISSULA

(Isi dari artikel ini sepenuhnya tanggungjawab penulis bukan tanggung jawab media)

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.