Otokritik Puisi Gus Mus ‘Rasanya Baru Kemarin’ dalam Pekik Penyair Micky Hidayat
PUISI kemerdekaan yang ditulis KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus dibacakan penyair kawakan Banua, Micky Hidayat. Puisi berjudul Rasanya Baru Kemarin pun menggema memperingati Hari Kemerdekaan RI ke-75.
PEKIKAN yang khas, Micky Hidayat tampil apik membacakan puisi karya Gus Mus. Seorang kiai yang nyentrik asal Rembang, Jawa Tengah ini berisi bait demi bait yang beris otokritik terhadap kondisi bangsa.
Puisi berjudul Rasanya Baru Kemarin terbit pertama kali pada 11 Agustus 1995. Namun, terus direvisi Gus Mus, dengan mengubah syairnya ‘setengah abad’ menjadi 71 tahun. Namun, saat Micky Hidayat membacakan puisi yang cukup panjang, diubah lagi 75 tahun agar sesuai kondisi kekinian.
Ketika Micky Hidayat tampil, suasana Café Nangkene yang berada di halaman Penginapan Syariah Borneo, Jalan Jafri Zamzam milik aktivis anti korupsi, Anang Rosadi Adenansi, tampak hening sebentar. Padahal, café ini menyuguhkan musik akuistik dari grup band asal Banjarbaru, Selasa (18/6/2020) malam.
BACA : Amuk Meratus Micky Hidayat, Agus Suseno Suarakan Nelangsanya Loksado
Bagi Micky Hidayat, puisi karya Gus Mus sangat kental pesan-pesan moral yang diberikan, bahkan termasuk otokritik kepada elemen bangsa.
Sebut saja, Gus Mus menyentil dalam bait syair seperti “Mahasiswa-mahasiswa yang dulu suka berdemonstrasi. Sudah banyak yang jadi menteri dan didemonstrasi”. Atau sentilan bernas, “Petinggi-petinggi yang dulu suka korupsi. Sudah banyak yang meneriakkan reformasi. Tanpa merasa risi”.
Berikut bait demi bait lengkap dari puisi karya sang tokoh Nahdlatul Ulama (NU) ini :
Rasanya Baru Kemarin
Rasanya Baru kemarin
Bung Karno dan Bung Hatta
Atas nama kita menyiarkan dengan seksama
Kemerdekaan kita di hadapan dunia. Rasanya
Gaung pekik merdeka kita
Masih memantul-mantul tidak hanya
Dari para jurkam PDI saja.
Rasanya Baru kemarin
Padahal sudah 71 (75) tahun lamanya
Pelaku-pelaku sejarah yang nista dan mulia
Sudah banyak yang tiada. Penerus-penerusnya
Sudah banyak yang berkuasa atau berusaha
Tokoh-tokoh pujaan maupun cercaan bangsa
Sudah banyak yang turun tahta
Taruna-taruna sudah banyak yang jadi
Petinggi negeri
Mahasiswa-mahasiswa yang dulu suka berdemonstrasi
Sudah banyak yang jadi menteri dan didemonstrasi.
Rasanya Baru kemarin
Padahal sudah lebih setengah abad lamanya
Petinggi-petinggi yang dulu suka korupsi
Sudah banyak yang meneriakkan reformasi.
Tanpa merasa risi
Rasanya baru kemarin
Rakyat yang selama ini terdaulat
sudah semakin pintar mendaulat
Pejabat yang tak kunjung merakyat
pun terus dihujat dan dilaknat
Rasanya baru kemarin
Padahal sudah enam puluh tahun lamanya
Pembangunan jiwa masih tak kunjung tersentuh
Padahal pembangunan badan
yang kemarin dibangga-banggakan
sudah mulai runtuh
Kemajuan semu masih terus menyeret dan mengurai
pelukan kasih banyak ibu-bapa
dari anak-anak kandung mereka
Krisis sebagaimana kemakmuran duniawi
Masih terus menutup mata
banyak saudara terhadap saudaranya
Daging yang selama ini terus dimanjakan
kini sudah mulai kalap mengerikan
Ruh dan jiwa sudah semakin tak ada harganya
Masyarakat yang kemarin diam-diam menyaksikan
para penguasa berlaku sewenang-wenang
kini sudah pandai menirukan
Tanda-tanda gambar sudah semakin banyak jumlahnya
Semakin bertambah besar pengaruhnya
Mengalahkan bendera merah putih dan lambang garuda
Kepentingan sendiri dan golongan
sudah semakin melecehkan kebersamaan
Rasanya baru kemarin
Padahal sudah 71 (75) tahun kita merdeka.
Rasanya baru kemarin
Tokoh-tokoh angkatan empatlima
sudah banyak yang koma
Tokoh-tokoh angkatan enamenam sudah
banyak yang terbenam
Tokoh-tokoh angkatan selanjutnya
sudah banyak yang tak jelas maunya
Rasanya baru kemarin
Hari ini ingin rasanya
Aku bertanya kepada mereka semua
Bagaimana rasanya merdeka?
Ingin rasanya
bertanya kepada kalian semua
Sudahkah kalian
Benar-benar merdeka?
Saat membacakan puisi Gus Mus ini, Micky Hidayat pun mengajak para pengunjung café untuk berinteraksi. Hingga ada sahutan kompak, belum merdeka seperti yang kini dirasakan mayoritas rakyat Indonesia.
“Puisi Gus Mus ini memang sangat layak untuk dibacakan saat kita merayakan kemerdekaan RI yang sudah berumur 75 tahun. Ya, kondisi sekarang, benar apa yang digambarkan Gus Mus,” tutur Micky Hidayat kepada jejakrekam.com.
BACA JUGA: Setahun Kambuk Banjarmasin, Wadah Tongkrongan dan Literasi Berkebudayaan

Putra sastrawan legendaris Banua, Hijaz Yamani ini mengungkapkan dari bait demi bait puisi Gus Mus sudah sepatutnya jadi bahan renungan, ketika pudarnya makna dari sebuah kemerdekaan yang diperjuangkan pada pendahulu bangsa.
“Gus Mus memang sangat cemerlang dalam menangkap kegelisahan anak bangsa, bahkan apa yang ada dalam puisi Rasanya Baru Kemarin ini benar-benar menggambarkan kondisi yang terjadi di negeri ini,” ucap Micky Hidayat.
Anang Rosadi Adenansi, pemilik Café Nangkene menambahkan agenda pembacaan puisi akan selalu disuguhkan. Bahkan, mantan anggota DPRD Kalsel ini menegaskan panggung untuk para sastrawan dan penyair Banua harus diberikan.
“Puisi Rasanya Baru Kemarin ini harusnya menjadi otokritik kita bersama sebagai anak bangsa. Padahal, republik ini sudah berumur 75 tahun, tentu ukuran manusia sudah matang,” imbuh putra tokoh pers Kalsel, Anang Adenansi ini.(jejakrekam)