Sejarah Urang Banjar Naik Haji: Menumpang Kapal Tiga Sampai Enam Bulan (2)

0

Oleh : Mansyur ‘Sammy’

URANG Banjar menunaikan ibadah haji ke Mekkah sudah berlangsung lama. Diperkirakan sekitar abad ke-17 atau sekitar tahun 1600-an, Urang Banjar sudah berhaji.

PADA era itu, perkembangan agama Islam di Kesultanan Banjar mendapat pengaruh dari ajaran-ajaran yang berkembang di Aceh. Dengan runtuhnya Kerajaan Demak sebagai pusat dakwah Islam semasa Wali Songo, pengaruh Kerajaan Aceh pun berkembang.

Kedudukan Kerajaan Aceh juga menentukan, karena Aceh merupakan terminal bagi jamaah haji dari Banjarmasin khususnya yang akan berangkat ke Tanah Suci. Atau bagi mereka yang kembali ke tanah air. Sebelum munculnya kapal api, para jamaah haji atau para pelajar yang akan belajar ke Tanah Suci, berdiam di Aceh beberapa lama.

Menunggu angin baik untuk melanjutkan pelayaran, begitu pula bagi mereka yang akan pulang ke tanah air khususnya daerah bagian timur dari kepulauan Nusantara ini. Selama mereka berada di Aceh mereka mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan ataupun mengikuti pengajian-pengajian, karena itu maka perkembangan pemikiran yang berkembang di Aceh memengaruhi mereka.

BACA : Sejarah Urang Banjar Naik Haji : Kontroversi Gelar Dan Ujian Era Kolonial (1)

Wajar bila pemikiran dari Hamzah Fansuri yang mengembalikan pada ajaran tasawuf Sunni, sampai pengaruhnya ke dalam Kesultanan Banjar. Hal tidak mengherankan juga jika paham sufisme dari Hamzah Fansuri sudah memasuki praktik keagamaan di Kesultanan Banjar.

Ahmad Fauzan Baihaqi dalam jurnalnya “Pelayaran Angkutan Jamaah Haji di Hindia Belanda (Tahun 1911-1930), menuturkan pada tahun 1860 an sedikit sekali daerah-daerah di Nusantara yang tingkat kemakmurannya sangat tinggi dan merata seperti di Banjarmasin. Demikian halnya di seluruh Nusantara, jumlah orang yang naik haji ke Mekkah tidak ada yang sebanyak dari Banjarmasin.

BACA JUGA : Bubuhan Haji dalam Perang Banjar Abad Ke-19

Ibadah haji ke Mekkah pun makin marak ketika dibukanya Terusan Suez dan berkembangnya angkutan kapal api. Mempermudah orang-orang Banjar pergi naik haji. Pemurnian ajaran Islam semakin mudah. Sebagai akibat cepat dan mudahnya orang bepergian dan bermukim di Mekkah untuk studi agama, baik fiqih, hadist, tasawuf, dan sebagainya. Di samping itu jumlah orang yang naik haji bertambah.

Pada dekade ini bisa dikatakan bahwa hubungan ke luar lainnya yang dijalankan penduduk yang mampu (kaya) adalah naik haji ke Mekkah. Dalam hal ini jumlah haji dari Kalimantan Selatan cukup besar. Bahkan di pertengahan abad ke 19 dianggap yang terbesar di Indonesia.

Naik haji ini dijalankan dengan kapal-kapal KPM (Kapal Pemerintah Hindia Belanda), tetapi kadang-kadang juga dengan angkutan tradisional. Aktivitas perjalanan haji dari Nusantara sangat tergantung aktifitas pelayaran bagi jamaah haji untuk menumpang kapal-kapal menuju ke Pelabuhan Jeddah.

BACA JUGA : Jangan Bangga Gelar Haji Itu Warisan Kolonial Belanda

Sepanjang sejarah perjalanan kapal-kapal yang membawa jamaah haji sejak dahulu, selalu mengalami hambatan dan tantangan. Pada periode-periode abad 17-18, menurut Putuhena (2006) diketahui pelayaran haji dari Nusantara ke Tanah Hijaz pada umumnya ditempuh dengan menumpang kapal-kapal layar niaga baik milik domestik maupun milik orang-orang asing. Seperti kapal orang-orang Arab. Masa itu, kapal niaga Nusantara telah menunjang kapal-kapal pelayaran yang sering digunakan muslim untuk berlayar ke tanah Hijaz.

Memasuki abad ke-18, lalu lintas pelayaran antara Nusantara dan Samudera Hindia mulai didominasi kapal-kapal jenis Galleon dan Frigate milik perniagaan Eropa. Konsekuensinya, menurut Ahmad Fauzan Baihaqi  (2016) & Johan Eisenberger, dalam Indie en de Bedevaart naar Mekka (1928) ialah kepada calon jamaah haji kadang harus berlayar menaiki kapal-kapal milik VOC dari Batavia menuju Teluk Aden sebelum ke Jeddah.

BACA JUGA : Islam Banjar Perpaduan Kultur Demak dan Samudera Pasai

Dan kondisi ini, kemudian problematis karena adanya larangan bagi kapal-kapal Belanda mengangkut para jamaah haji sesuai Besluit van 4 Augustus 1716. Bagi pribumi, hal ini menyulitkan, oleh karena itu para jamaah berinisiatif untuk menumpang kapal-kapal niaga secara sembunyi-sembunyi. Dari pelabuhan satu ke pelabuhan lainnya. Atau mengoptimalkan kapal-kapal milik saudagar Arab yang sering memberikan tumpangan.

Pelayaran dari Nusantara menuju Semenanjung Arab pada masa kapal layar membutuhkan waktu 5-6 bulan itu pun sudah termasuk transitnya. Perjalanan laut ini pun harus memahami kondisi cuaca atau musim angin bertiup. Untuk kelancaran pelayaran kapal laut. Bahaya yang selalu menghantui dalam pelayaran kapal adalah badai dan ombak tinggi.

BACA JUGA : Khatib Dayan, Penghulu Kesultanan Banjar Pertama yang Diyakini Keturunan Sunan Gunung Jati

Sementara merujuk catatan perjalanan Abdullah Kadir Al-Munsyi, pada tahun 1854 untuk perjalanan kapal layar memakan waktu tiga bulan untuk ke Jeddah. Apabila berangkat dari Pelabuhan Singapura. Tetapi bila menumpang kapal dari Pelabuhan Batavia atau pelabuhan di sekitarnya memakan waktu lebih lama.

Tergantung waktu transit di tiap-tiap pelabuhan untuk berganti kapal. Pasalnya, kapal layar saudagar Arab yang menuju Pelabuhan Jeddah lebih banyak tersedia di Pelabuhan Singapura. (jejakrekam/bersambung)

Penulis adalah Penasihat Komunitas Historia Indonesia Chapter Kalsel

Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya (SKS2B) Kalimantan

Dosen Prodi Pendidikan Sejarah FKIP ULM Banjarmasin

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.