Eks Pemred Banjarhits Dituntut Enam Bulan Penjara, Kuasa Hukum: Harusnya Bebas
JURNALIS sekaligus bekas Pemimpin Redaksi Banjarhits (Partner 1001 Media Kumparan), Diananta Putra Sumedi, dituntut enam bulan penjara atas dugaan kasus pelanggaran UU ITE lewat berita yang ia muat berjudul ‘Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel’.
BERITA ini diunggah Diananta di laman kumparan.com/banjarhits, pada 8 November 2019 silam. Oleh pelapor atas nama Sukirman dari Majelis Umat Kepercayaan Kaharingan (MUKK), berita itu dinilai bernuansa SARA.
Tuntutan enam bulan penjara tersebut disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), Rizki Purbo Nugroho dan jaksa lainnya, saat sidang di Pengadilan Negeri Kotabaru, Senin (20/7/2020).
Jaksa menilai Diananta sebagai terdakwa bersalah melakukan tindak pidana dengan cara sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang menimbulkan kebencian terhadap kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
BACA: Sidang Ke-3 Diananta, Sejumlah Jurnalis dan Mahasiswa di Banjarmasin Gelar Aksi Bisu
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Diananta Putra Sumedi dengan pidana penjara selama enam bulan, dipotong masa penahanan sementara agar terdakwa tetap ditahan,” ujar JPU.
JPU kemudian juga menyampaikan bahwa pihaknya memahami kebebasan pers sebagai bentuk tegaknya demokrasi. Namun, jaksa menilai harus ada batasan ketika seorang jurnalis yang memiliki fungsi kontrol sosial justru memberitakan hal yang dapat menimbulkan konflik kesukuan.
Sidang penuntutan ini dihadiri oleh salah satu kuasa hukum Diananta, Hafizh Halim yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Adat dan Kebebasan Pers. Melihat tuntutan jaksa, ia menyebut pihaknya jelas bakal menyampaikan pembelaan atau pledoi.
BACA JUGA: Sidang Perdana Diananta Digelar, Puluhan Jurnalis Datangi PN Kotabaru
“Kita tetap bertahan, bahwa Diananta tidak layak untuk diberi hukuman,” ujar Hafizh.
Mengacu pendapat saksi ahli pers saat persidangan, Hafizh juga menyebut ada perjanjian kerja sama antara Banjarhits dan Kumparan yang sudah disepakati antarpihak. Secara tegas, dia mengatakan, saksi ahli menyebut yang bertanggung jawab atas kasus ini adalah Kumparan.
Senada dengan Hafizh, Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Ade Wahyudin, juga menilai tuntutan dari JPU tidaklah pas.
BACA LAGI: Koalisi Masyarakat Adat dan Kebebasan Pers Terus Galang Donasi untuk Diananta
“Enam bulan kan, menurut kami itu tuntutan yang sangat tidak tepat. Harusnya tuntutan bebas. Bukan tuntutan pidana atau penjara,” kata dia.
Dari penafsiran LBH dan Koalisi untuk Masyarakat Adat dan Kebebasan Pers, Ade menilai fakta persidangan menunjukkan tidak terpenuhinya unsur, sesuai pasal yang didakwakan.
“Unsur yang tidak terpenuhi adalah, Diananta melakukan penyebaran berita karena dia adalah seorang jurnalis. Sehingga unsur tanpa hak tidak terpenuhi. Jika salah satu unsur saja tidak terpenuhi, sudah tidak layak dipidana,” ujsrnya.
Kata Ade, JPU pun juga tidak menghadirkan saksi yang mendukung terpenuhinya unsur pasal 28 Ayat 2.
“Dia (JPU) bilang, menyebarkan ujaran kebencian terhadap suku, agama, ras, dan antargolongan gitu ya. Nah, pasal ini delik materil, kalau delik materill dia harus ada dulu peristiwanya, baru kemudian dia bisa dipidana. Apakah peristiwa kebencian itu sudah ada? JPU tidak bisa membuktikan itu,” tambah Ade yang juga tergabung dalam tim koalisi.
Adapun sidang pledoi akan digelar pada 27 Juli 2020 nanti. Di sana baik tim kuasa hukum dan Diananta sendiri bakal menyampaikan pembelaannya atas tuntutan dari jaksa. (jejakrekam)