Oleh : Mansyur ‘Sammy’
GELAR Haji dan Hajjah sangat akrab dan populer pada masyarakat Banjar dan penduduk Indonesia umumnya. Gelar ini resmi disandang jamaah usai melaksanakan rangkaian ibadah haji.
TERUTAMA wukuf di Padang Arafah. Gelar Haji ini adalah gelar unik. Hanya ada di wilayah Asia, terutama Melayu Asia Tenggara. Sementara di luar negeri, di Arab Saudi atau negara-negara berpenduduk masyoritas muslim lainnya jarang terdengar pemakaian gelar Haji.
Dalam esensi ajaran Islam, Haji adalah Rukun Islam kelima, hukumnya wajib. Karena itulah terdapat pandangan dalam masyarakat bahwa jika ada yang menunaikan ibadah haji, maka namanya pun harus ditambahkan Haji sebagai gelar. Tanda sudah menunaikannya. Akan tetapi kalaupun demikian, mengapa ibadah ibadah lain tidak memiliki gelar. Sebut saja bagi syahadat, shalat, zakat dan puasa?
BACA : Sekolah Arab Vs Sekolah Belanda; Diskriminasi dalam Arus Zaman
Mulai dari masa Nabi Muhammad SAW, Khulafaurrasyidin hingga periode khilafah, minim sekali tercatat pemakaian gelar ini dalam lintasan sejarah kebudayaan Islam di pelosok dunia. Apakah Rasulullah memakai gelar Haji. Apakah para sahabat Nabi SAW memakai gelar haji? Sebut saja Haji Umar bin Khattab; Haji Abu Bakar; Haji Usman bin Afan; Haji Ali bin Abitholib). Padahal tidak terhitung lagi berapa kali para sahabat menunaikan ibadah haji.
Pada masyarakat Banjar, gelar Haji dan Hajjah akan melekat otomatis bagi yang sudah menunaikannya ke Mekah. Dari beberapa abad yang lalu hingga kini, Gelar Haji juga menandakan seseorang memiliki kemampuan secara finansial.
Dengan kata lain berada di status sosial tinggi dari strata kekayaan. Setelah berhaji pun berdampak naiknya status sosial secara keagamaan. Aura kesalehan, ketaatan akan ajaran agama pun muncul. Secara tersirat, ada kebanggaan tersendiri ketika menyandang gelar Haji atau Hajjah.
BACA JUGA : Islam Banjar Perpaduan Kultur Demak dan Samudera Pasai
Lihat saja kondisi kekinian. Menjelang Pilkada/Pileg di Tanah Banjar. Mulai dari poster hingga iklan baik media cetak dan eletronik, deretan kontestan akan menampilkan huruf H di depan namanya.
Terlepas dari niat dan sebagainya, apapun itu gelar Haji menjadi alat mengesahkan atau mengabsahkan. Kontestan adalah muslim, saleh dan taat pada ajaran Islam, bila menyandang gelar H ini.
Bahkan dilansir Fatimatus Zahra (2019) dalam artikelnya “Asal Usul Gelar Haji dan Kebiasaan Penisbatannya” di mojok.co., ternyata para Haji dan Hajjah sendiri juga masih sering melegitimasi diri terhadap gelar barunya. Tidak sedikit dari mereka yang marah ketika gelar barunya itu tidak dicantumkan dalam forum-forum resmi, dan bahkan meminta disapa dengan sebutan “Pak Haji” dan “Bu Hajjah”.
BACA JUGA : Bubuhan Haji dalam Perang Banjar Abad Ke-19
Dari berpuluh tahun lalu, gelar Haji selalu dipandang kontroversi dalam lintasan Sejarah Banjar. Bagaimana sejarahnya? Urang Banjar yang menunaikan ibadah haji ke Mekah sudah berlangsung lama. Diperkirakan sekitar Abad ke -17 atau sekitar tahun 1600 an, Urang Banjar sudah berhaji.
Pada masanya Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)-Belanda, tidak pernah melihat fenomena urang Banjar berhaji sebagai komoditas politik. Alasannya VOC era itu kedatangannya untuk berdagang.
Bahkan ada yang berhaji dengan menumpang armada VOC. Disediakan kapalnya. Pemilik armada pun tidak pernah mempersoalkan karena secara ekonomis, membawa keuntungan.
BACA JUGA : Mandi Kekayaan Pedagang Bakumpai yang Merajai Tanah Dusun
Satu hal, pada era itu belum marak, bahkan bisa dikatakan belum gelar haji secara resmi. Asal usul gelar haji di Tanah Banjar, memang sangat sulit ditentukan kapan mulai ada. Secara temporal atau kurun waktunya.
Diduga pemakaian gelar haji adalah budaya masyarakat Melayu Banjar sebagai bagian penghargaan. Istilahnya menurut Fatimatus Zahra (2019), gelar Haji sebagai apresiasi dari tingkat kesulitan yang telah mereka lalui hingga menyelesaikan ibadah tersebut. Mulai dari pesiapan, mengumpulkan modal hingga rangkaian ibadah haji yang memerlukan ketahanan fisik.
Tetapi untuk dijadikan sebagai sesuatu yang prestisius, tentunya perlu tahu seperti apa sejarah penisbatan nama Haji yang menjadi budaya di Indonesia hingga saat ini.
Sebagai perbandingan, pada masa lalu, naik haji sangat sulit, butuh perjalanan berbulan bulan dengan kapal laut. Belum lagi, banyak yang meninggal di perjalanan. Suatu ibadah maha berat kala itu. Perlu modal dan perjuangan.
BACA JUGA : Khatib Dayan, Penghulu Kesultanan Banjar Pertama yang Diyakini Keturunan Sunan Gunung Jati
Tidak semua umat muslim di Tanah Banjar yang bisa berhaji pada era kolonial. Karena itu urang Banjar yang berhaji, layak mendapat penghargaan. Satu di antaranya dengan gelar Haji.
Haji sebagai bagian dari budaya, kemudian mengalami dinamika pada era kolonial. Demikian juga dengan Haji pada Urang Banjar. Tidak terlepas dari kebijakan haji secara global di Hindia Belanda. Tepatnya pasca tahun 1900 an. Ketika VOC dibubarkan, berganti republik Bataaf hingga pemerintahan Monarki Belanda yang memiliki koloni (jajahan) yakni Hindia Belanda.
BACA JUGA : Penyimbolan Sunan Giri dalam Islamisasi Negara Daha
Ivan Aulia Ahsan (2017) dalam artikelnya “Taktik Belanda Mengendalikan Islam Melalui Gelar Haji” di tirto.id menuliskan haji mulai menjadi perhatian hanya jika terjadi gejolak karena faktor agama.
Seperti F. de Haan (1912) berpendapat pemerintah tampaknya baru mau memikirkan Islam bila ada alasan untuk mencemaskan pengacauan ketertiban melalui peristiwa-peristiwa keagamaan mencolok. Makna politis ibadah haji baru dirasakan serius tatkala negara Hindia Belanda berdiri sebagai penerus VOC.
Kekhawatiran pemerintah kolonial tercermin dalam Ordonansi Haji tahun 1825, berisi pembatasan dan pengetatan jumlah haji yang berangkat. Merealisasikannya adalah menaikkan biaya haji. Latar belakang Ordonansi ini menarik. Pada 1824, terjadi lonjakan pengajuan paspor haji ke kantor imigrasi. Sebanyak 200 lebih penduduk pribumi mendaftar. Pemerintah tentu saja bingung jika kelak harus memadamkan 200 potensi pemberontakan sekaligus.
BACA JUGA : Jangan Bangga Gelar Haji Itu Warisan Kolonial Belanda
Wasangka menurut Ivan Aulia Ahsan (2017) berdasarkan pandangan bahwa 200 orang itu kelak membawa pikiran-pikiran baru yang, jika diedarkan di kalangan rakyat, bisa memicu perlawanan.
Perang Jawa (1825-1830) dan pemberontakan-pemberontakan petani sepanjang paruh kedua abad 19 dipelopori para pemuka agama dan haji. Ini membuat pemerintah bukan hanya menganggap haji urusan penting, melainkan penuh kewaspadaan.
Setidaknya, ada dua Gubernur Jenderal pada awal abad 19 yang mulai menyadari bahaya politik dari para haji. Herman Willem Daendels dan Thomas Stamford Raffles. Beberapa dekade kemudian, pada 1859, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan ordonansi baru menyangkut urusan haji. Meski lebih longgar dari aturan sebelumnya, di sana-sini masih ada berbagai pengetatan.
BACA JUGA : Intan Sultan Adam, Rampasan Perang Banjar yang Kini Dikoleksi Museum Belanda
Hal paling menonjol dari ordonansi baru ini adalah pemberlakuan semacam “ujian haji” bagi mereka yang baru pulang dari Tanah suci. Mereka harus membuktikan benar-benar telah mengunjungi Mekkah. Jika seseorang sudah dianggap lulus ujian ini, ia berhak menyandang gelar haji. Dari sinilah catatan sejarahnya bahwa seorang haji wajib mengenakan pakaian khusus haji berupa jubah, serban putih, atau kopiah putih.
Ahsan (2017) berpendapat dari sinilah sebenarnya dimulai penyematan gelar haji, juga atribut fisik yang melekat pada orang-orang yang sudah menunaikan rukun Islam kelima, kepada penduduk pribumi. Mengapa gelar haji wajib disematkan? Tujuan utamanya mempermudah kontrol dan pengawasan terhadap para haji.
Pemerintah kolonial tak mau repot-repot mengawasi satu per satu haji di daerah-daerah. Jika ada pemberontakan berdasarkan agama meletus, pemerintah tinggal mencomot haji-haji di daerah tersebut. Segampang itu.
BACA JUGA : Spirit Perlawanan Islam dalam Koran Kuno Belanda
Pengetatan dan kontrol haji memang terus berlangsung meski keterbukaan politik mulai diterapkan pemerintah kolonial pada awal abad 20. Haji-haji di desa tetap diawasi dan pemimpin pergerakan bergelar haji (misalnya H.O.S Tjokroaminoto dan Haji Misbach) mendapatkan pengawasan ganda.
Apalagi pemerintah mulai khawatir haji-haji ini mendapat pengaruh soal nasionalisme dan Pan-Islamisme ketika berada di Mekkah. Penyebaran Pan-Islamisme Rasyid Rida dan kawan-kawan di Mesir memang sedang menemukan gaungnya di Hindia Belanda. (jejakrekam.com/bersambung)
Penulis adalah Penasihat Komunitas Historia Indonesia Chapter Kalsel
Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya (SKS2B) Kalimantan
Dosen Prodi Pendidikan Sejarah FKIP ULM Banjarmasin