Membaca Kehadiran Korporasi dalam Spanduk Karhutla

2

Oleh : Nasrullah

TAK perlu meminta pendapat orang berpendidikan tinggi untuk menemukan kejanggalan spanduk yang bertuliskan:

KEPOLISIAN SEKTOR KURIPAN, RESORT BARITO KUALA

PT TASNIDA AGRO LESTARI

DILARANG!!!

MEMBAKAR LAHAN DAN HUTANSANGSI PIDANA 15 TAHUN DAN

DENDA 5 MILIYAR RUPIAH

SESUAI DENGAN PERATURAN

UU RI NO. 12 TH. 2009 TENTANG: LINGKUNGAN HIDUP

UU RI NO. TH. 1999 TENTANG: KEHUTANAN

UU RI NO.1 TH. 1946 TENTANG: KHUP

MARI KITA CIPTAKANWILAYAH BATOLA BEBAS ASAP

SEKEJAP tangkapan mata terdapat kejanggalan berupa salah ketik, tetapi bukan itu yang ingin dibahas. Bagi masyarakat awam sekalipun akan mempertanyakan kehadiran perusahaan dalam spanduk. Persoalannya, kejanggalan tersebut mesti disampaikan secara sistematis.

Peluang ini terbuka lebar dalam telaah ilmu sosial, sebab mengkaji teks apalagi secara eksplisit terdapat dalam spanduk merupakan hal biasa dilakukan. Sebagai buktinya terdapat beberapa artikel dalam jurnal ilmiah membahas tentang spanduk, misalnya berjudulThe Discourse of Eid 1429 AH/2011 AD Greetings on The Banners and Billboard in Padang City, menelaah pesan dalam spanduk ucapan lebaran di kota Padang (Nasrullah dan Mardhiah, 2013).  

BACA : Gerakan Laung Bahenda, Sebuah Perlawanan Simbolik dan Kearifan Dayak

Ada pula artikel berjudul “Peranan Perempuan dalam Poster” melihat interpretasi teks laki-laki dan perempuan yang diperlakukan secara adil (Elizabeth, 2017). Ada lagi artikel menarik berjudul ‘I Love Jesus Because Jesus Is Muslim’: Inter- andIntra-Faith Debates and Political Dynamics inIndonesia, melihat pandangan umat Islam terhadap Jesus dari sebuah spanduk di kota Cilacap Jawa Tengah (Hidayati dan Harder, 2020).

Dengan demikian, mengkaji teks spanduk bukanlah sesuatu yang langka karena telah dibuktikan dalam tiga contoh artikel di atas. Melalui artikel ini, saya akan membedah spanduk ini dari aspek sederhana saja yakni dari struktur teks berupa kehadiran penyampai pesan (messager) atau meminjam istilah linguistik dinamakan subyek, isi pesan (content) dan keberadaan audience atau obyek.

Wewenang Dua Subyek?

Terdapat dua institusi yang menaungi seluruh isi teks spanduk. Institusi pertama adalah pihak kepolisian dalam wilayah sektor dan resort. Fungsi Kepolisian sebagaimana amanah UU No 2 tahun 2002, pasal 5 ayat (1) adalah “Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.”

BACA JUGA : Tak Perlu Hunus Mandau, Perlawanan Masyarakat Dayak Bisa Melalui Buku

Jika dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 disebut sebagai alat negara, sedangkan dalam penyebutan polisi dengan pengertian badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum (menangkap orang yang melanggar UU dan sebagainya; atau anggota badan pemerintah (pegawai negara yang bertugas menjaga keamanan dan sebagainya) (KBBI, 2008:1091).

Institusi kedua adalah sebuah Perseroan Terbatas (PT) yang dalam UU Nomor 40 tahun 2007 pasal 1 ayat 1 Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebutperseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikanberdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yangseluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.”

BACA JUGA : Bencana Karhutla: Peladang Tradisional Selalu Jadi Kambing Hitam

Di masa sekarang PT sering disebut sebagai korporasi yakni badan usaha yang sah (KBBI, 2008:735). Berkaitan dengan spanduk, korporasi yang dimasud adalah bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit terutama wilayah kecamatan Kuripan.

Dua institusi itu dapat disebut sebagai messager (pemberi pesan) atau subyek. Kombinasi dua subyek ini mulai membuat pembaca spanduk berfikir reflektif dengan pertanyaan, kenapa kedua institusi itu berada dalam struktur yang sama atau posisi teratas secara berurutan.

Padahal subyek pertama berperan sebagai alat negara, sedangkan subyek kedua menjalani kegiatan usaha. Pertanyaan selanjutnya, layakkah kedua subyek itu berada dalam formasi atau struktur yang sama sebagai satu paket penyampai pesan? Pertanyaan ini hanya akan terjawab jika kita melihat pesan dalam teks selanjutnya.

Sebagai predikat atau pekerjaan yang dilakukan subyek adalah menyampaikan pesan menggunakan huruf kapital dengan tiga tanda petik ditulis cetak tebal DILARANG!!!. Kata larangan seperti itu bisa ada dimana-mana dan dilakukan oleh subyek atau pemberi pesan apapun, tetapi ketika melihat teks selanjutnya, maka kata “dilarang!!!” sesungguhnya tidak berada di ruang hampa makna.

BACA JUGA : Datangkan Ahli IPB, Terseret Kasus Karhutla Dua Korporasi Saling Tuding

Teks selanjutnya berisi ancaman sanksi fisik berupa kurungan dan sanksi ekonomi yakni denda yang berdasarkan ketentuan hukum “sesuai peraturan” yang tidak tanggung-tanggung dijerat tiga Undang-undang yakni Lingkungan Hidup, Kehutanan dan KUHP. Siapa saja akan takut melihat ancaman yang luar biasa dalam spanduk itu.

Atas dasar demikian, kepada siapakah negara menyerahkan wewenang penegakkan hukum, atau untuk menjalankan undang-undang sebagaimana teks dalam spanduk itu.

BACA JUGA : Tuding Gubernur Lakukan Pencitraan, Paman Birin : Kami Serius Tangani Karhutla

Jawabannya secara terang benderang adalah kepada alat negara yang bernama kepolisian, sehingga tidak mungkin subyek pertama dan subyek kedua menjadi satu paket penyampai pesan. 

Masalahnya adalah kenapa korporasi hadir sebagai subyek pada spanduk yang dipasang seberang jalan sebuah balai desa di wilayah Kabupaten Barito Kuala. Meski  jika mau memaklumi, wajar perusahaan atau korporasi apapun tampil dalam spanduk himbauan hukum atau bidang apa saja, tetapi bukan sebagai subyek melainkan sponsor.

Artinya andai terjadi kesalahan layout atau tata letak akan sangat wajar jika spanduk yang penulis lihat sendiri pada Ahad (12/7/2020) semestinya dicetak ulang dengan hanya menampilkan satu subyek yang memiliki wewenang penegakkan hukum yakniKepolisian.

Jika demikian adanya, pembahasan ini sebenarnya sudah selesai. Namun lain cerita kalau spanduk yang menampilkan korporasi kokoh sebagai subyek.

Mencari (Obyek) si Pembakar Lahan

Bagian dari struktur teks selanjutnya adalah siapa yang menjadi obyek atau audience. Jika dilihat teks dalam spanduk ternyata tidak mencantuman keberadaan obyek atau audiens secara eksplisit, kecuali jika dicermati akan ditemukan teks “membakar lahan dan hutan”.

BACA JUGA : Tokoh Dayak Protes Peladang Tradisional Jadi Kambing Hitam Karhutla

Jadi untuk menghadirkan obyek, kita perlu melakuan transformasi teks dari “membakar” menjadi “pembakar” khususnya yang melakukan pembakaran lahan dan hutan. Sampai di sini obyek sudah didapatkan tapi tetap tidak jelas siapa sebenarnya wujud konkret sang obyek. Kalau demikian, obyek sebagai “si pembakar” dapat siapa saja, masyarakat biasa atau pun kalangan tertentu.

Maka untuk menghadirkan obyek yang samar menjadi agak jelas, kita perlu mengundang hal-hal bersifat kontekstual. Artinya dengan menghubungkan situasi tepatnya pada aktivitas musim kemarau. Maka setidaknya ada dua kategori obyek yang bisa dilihat melalui bantuan teks berdasarkan informasi media.

BACA JUGA : Antropolog UIN Antasari : Salah Kaprah, Justru Masyarakat Dayak Itu Pelestari Hutan

Pertama, kalangan masyarakat biasa, sebagaimana berita berjudul “Dua Pembakar Lahan di Tangkap”bahwa pria berinisial HG (49) dan AB (41) diamankan jajaran Satreskrim Polres Bartim. Kedua warga dari Desa Sarapat Kelurahan Taimang Layang tersebut sengaja membakar lahan di satu lokasi dengan waktu terpisah (Kaltengpos.co, 28/09/2019).

Berita lain berjudul “Tiga Pembakar Lahan Ditangkap” yakni tiga warga Karang Bintang, Kalimantan Selatan, yang diduga kuat menjadi pelaku pembakaran lahan ditangkap kepolisian (Antaranews.com, 22/08/2019). Berita penangkapan seperti di atas dengan mudah kita temukan pada mesin pencari di internet.

Namun pertanyaan kemudian, apakah hanya masyarakat biasa saja yang ditangkap. Jawabannya ada di poin kedua dan ini yang sangat paradoks. Justru pihak korporasidalam berbagai pemberitaan berkaitan dengan peristiwa kebakaran hutan dan lahan, misalnya dalam judul berita “Karhutla, Gambaran Kegagalan Praktik Sawit Berkelanjutan” (CNN Indonesia, Kamis, 19/09/2019).

Kemudian, “20 Pembakar Lahan di Kalsel Jadi Tersangka, 2 di Antaranya Koorporasi” (Kompas.com, 25/09/2019), lalu “Datangkan Ahli IPB, Terseret Kasus Karhutla Dua Korporasi Saling Tuding” (Jejakrekam.com, 26 September 2019). Kemudian ini yang paling paradoks “Tim Ahli IPB Ambil Sample Lahan terbakar di PT TAL dan PT ABS” (Kalteng.antaranews.com, 4 Desember 2019).

Beyond the Text dan Jalan Tengah

Jika melihat bahwa keberadaan obyek yang samar dalam teks spanduk, dan sebagaimana berita bahwa obyek  tidak hanya masyarakat biasa dan juga dapat terjadi pada pihak korporasi. Lalu kenapa subyek kedua hadir dalam teks spanduk? Jawabannya akan dapat dilihat pada aspek di belakang layar, beyond the text atau sesuatu yang berada di luar jangkauan teks.

Jika mau menggunakna analisa wacana sebenarnya dapat menjangkaunya dengan memasuki tataran mezo dan makro untuk melihat ideologi di balik teks.

BACA JUGA : Moratorium Sawit, 12 Protokol Masyarakat Adat Dayak Perlu Diperjuangkan

Bagian terakhir tulisan ini, saya ingin mengajukan solusi sebagai jalan tengah terhadap kehadiran subyek kedua. Dari pada memproduksi teks yang sesungguhnya kurang humanis, walaupun kalimat persuasif paling bawah menyatakan ajakan agar “wilayah Batola bebas asap” untuk memperhalus deretan kalimat sebelumnya terhadap obyek yang disebutkan secara samar tetapi dengan jelas mencantumkan sanksi hukuman penjara dan denda.

Akan lebih baik kita memproduksi counter discourse atau wacana pembanding, artinya diksi “pembakar” kita ganti dengan “pencegah” atau “pemadam” sehingga akan terkesan lebih kooperatif dengan audiens atau obyek.

Maka jika pihak korporasi ingin terlibat dalam mencegah, melarang membakar lahan dan hutan, ada dua hal yang sebaiknya dilakukan.

Pertama, cukup larangan tersebut disampaikan dalam lingkungan korporasi itu sendiri. Dengan kata lain, silahkan pihakkorporasi  mengurus kawasan sendiri untuk mencegah dan memadamkan segenap potensi dan kejadian kebakaran lahan, sedangkan kawasan desa tentu menjadi wewenang pemerintah desa dan warganya mencegah kebakaran lahan dan hutan di wilayahnya sendiri.  Ini lebih baik dari pada pihak korporasi menjadikan dirinya sebagai subyek kedua di ranah publik.

BACA JUGA : Suku Bakumpai, Penyambung Kesultanan Banjar dengan Masyarakat Dayak

Kedua, alangkah bijaknya jika pihak korporasi mensupport warga desa untuk menjaga, mengawasi, memantau dan terlibat dalam mencegah atau memadahkan kebakaran lahan. Sepanjang penulis ketahui upaya ini telah dilakukan pihak korporasi lain dengan mengajak partisipasi warga,tetapi sekali lagi dengan menghargai warga desa yang tidak ingin lahannya dimiliki pihak perkebunan sawit.

Terakhir, melalui tulisan ini saya berharap jangan sampai spanduk itu memakan korban masyarakat biasa, sebagaimana nasib para peladang atau petani tradisional sebagai pewaris kearifan lokal. Mereka yangberpenghasilan pas-pasan, terkadang bernasib tragis dengan menghabiskan usia di balik jeruji besi atas dakwaan pelaku pembakar hutan atau lahan.

Kita sudah sepakat negara ini menjadikan hukum sebagai panglima, tetapi jangan lupa sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.(jejakrekam)

Penulis Dosen Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi ULM

Penulis Buku Gerakan Laung Bahenda Militansi Orang Dayak BakumpaiMempertahankan Lahan Gambut Dari Ekspansi Perkebunan Sawit di Kalimantan Selatan

(Isi dari artikel ini sepenuhnya tanggungjawab penulis bukan tanggung jawab media)

2 Komentar
  1. Verdy berkata

    Komentar saya cuma soal typo atau kesalahan ketik..
    Penulis sempat mengulas sedikit perihal kesalahan penulisan di dalam contoh spanduk/poster yang dipasang, namun sayang saya lihat lumayan banyak juga typo di dalam naskah tulisan si penulis.
    Terima kasih

  2. Ajay berkata

    Sayangnya anda tidak fokus sejak awal, cek kalimat “SEKEJAP tangkapan mata terdapat kejanggalan berupa salah ketik, tetapi bukan itu yang ingin dibahas.”

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.