Daya Tahan Kampung dari Covid-19

0

Oleh: Nasrullah

JIKA tidak cermat, kita bisa kehilangan momentum penting menguatkan bangsa melalaui ketahanan pangan di masa Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Salah satu memomentum penting yang terlewatkan begitu saja adalah ketika jawaban “Pulang kampung” dari Presiden Jokowi dalam wawancara dengan Najwa Shihab yang disiarkan salah satu stasiun televisi swasta, 23 April 2020.

KALAU saja “pulang kampung dimaknai bukan hanya sekedar mobilitas penduduk, niscaya akan bernilai strategis dan visioner. Dikatakan strategis karena istilah “pulang kampung” dapat berarti penguatan daya tahan pangan kampung dari wabah global Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Visioner karena penguatan kampung tidak hanya sebagai daya tahan dari Covid-19 saat ini, tapi sebagai antisipasi andai terjadi lagi krisis di masa akan datang.

Bagi orang Dayak dan orang Banjar memiliki kemampuan menyimpan
bahan baku makanan dalam jangka waktu lama. Cara-cara itu yang kita anggap telah menjadi tradisional atau mungkin kuno, tapi mampu menjadi alternatif untuk daya tahan kita di tengah bencana. Benteng daya tahan itu terletak di kampung, apalagi jauh ke pelosok yang letaknya sulit tercapai karena akses terbatas, padahal masyarakat mampu bertahan di tengah krisis dalam waktu lama.

Daya Tahan Masyarakat Adat

Daya tahan terletak pada masyarakat adat yang masih kuat memelihara
ikatan solidaritas mekanis dan organis, hal ini disebabkan mereka memiliki satu akses atau koneksi lokal bersama terutama lahan untuk mata pencaharian.

Orang Dayak Bakumpai mengenal istilah padang yakni lahan pasang surut sebagai mata pencaharian bersama yang di dalamnya ada lokasi-lokasi milik keluarga. Padang semacam deposit sumber daya alam karena di tempat itu mereka mencari bahan bakar, menangkap ikan, bahkan mendapatkan bahan baku untuk kerajinan tangan.

Selama suatu daerah seperti desa atau kampung memiliki lahan berupa padang tersebut, selama itu pula penduduk setempat mampu bertahan bahkan dalam kondisi krisis sekalipun. Namun ada kalanya untuk menjaga sumber daya itu, mereka me-lockdown atau menutup sendiri area padang agar tidak dieksploitasi habis-habisan. Membiarkan padang untuk tidak dijamah manusia jangka waktu tertentu bertujuan melakukan recovery secara alami.

BACA JUGA: Kewenangan Klinik dan Kompetensi Dokter Tangani Pasien Covid-19

Padang memberikan keuntungan finansial yang didapatkan dari cukai
sungei, atau pajak sungai yang diambil dari penghasilan warga menggunakan sungai untuk mengeluarkan tebangan pohon gelam (Melaleuca sp.). Hasil pajak inilah yang dikumpulkan dan digunakan untuk keperluan sosial di desa yang pengaturannya berada di luar otoritas pemerintah desa.

Memanfaatkan padang dengan berbagai aktivitas mata pencaharian ini
sebagaimana yang disebut oleh Scoot dalam buku terjemahan berjudul Moral Ekonomi Petani Pergolakan Subsistensi di Asia Tenggara (2019), sebagai perwujudan tingkah laku disebut enggan-risiko (risk-averse): ia meminimalisasikan kemungkinan subyektif dari kerugian maksimum.

Lebih lanjut Scoot juga menyebut prinsip “safety first” alias dahulukan selamat inilah yang melatar belakangi banyak sekali pengaturan teknis, sosial dan moral dalam satu tatanan agraris pra kapitalis.

Sayangnya, saat ini banyak areal padang telah beralih kepemilikan dan
dikonversi oleh perkebunan sawit, sehingga perkampungan penduduk yang telah kehilangan padang, cenderung rentan terhadap krisis ekonomi. Sebab kemandirian lokal mereka dengan kepemilikan lahan komunitas ini sudah tidak ada lagi, ketika itulah sebenarnya mereka telah mengalami krisis.


Daya Tahan Keluarga

Daya tahan keluarga dapat dilihat pada tiga hal. Pertama, kemampuan
penghuni rumah dalam mengelola konsumsi makanan yang bagi orang Bakumpai disebut dalam satuan kubali. Satu kubali tidak hanya memiliki kebiasaan eje kakenceng (satu dapur) juga memiliki otonomi dalam penyimpanan beras atau padi dalam lumbung yang disebut bandat (Bakumpai) dan Kindai (Banjar).

Setelah musim panen, biasanya bandat akan terisi penuh oleh padi yang sedikit demi sedikit digunakan untuk dijual atau digiling menjadi beras. Penjualan padi itupun akan dilakukan untuk keperluan mendesak atau menjelang musim panen tahun akan datang jika dianggap surplus padi.

BACA JUGA: Covid-19 Permasalahan Kita Bersama : Tingginya Angka Kasus dan Kematian Pasien

Kedua, turunan dari konsep lumbung dalam bentuk lebih kecil untuk
menyimpan beras, disebut dengan istilah padaringan. Istilah ini tidak hanya mengacu pada nama tempat menyimpan beras, juga sebagai konsep ketahanan pangan paling dasar dari sebuah keluarga. Beras dalam padaringan hanya digunakan untuk keperluan memasak atau konsumsi keluarga, jika beras ini dikeluarkan untuk dijual maka berarti sebuah keluarga dalam satuan kubali tersebut telah mengalami krisis ekonomi yang sangat luar biasa.


Selain stok bahan makanan dalam bandat atau Kindai dan padaringan,
sudah menjadi kebiasaan warga untuk mengawetkan ikan air tawar dan disimpan dalam stoples disebut lauk wadi yang dapat bertahan lebih dari satu tahun. Lauk wadi adalah ikan mengalami proses penggaraman sehingga rasanya asin sekali, tentu jauh dari standar gizi, tapi lauk wadi mampu menjadi hidangan pendamping nasi yang membuat ketagihan.

Jika bagian pertama dan kedua adalah konsep penyimpanan (storage) bahan pokok terutama makanan, maka bagian ketiga ini adalah konsep work from home (WFH) yang sudah lama dilakukan penghuni rumah tangga. Terutama kaum ibu-ibu sanggup berhari-hari menganyam tikar yang disebut kampil berasal dari tanaman purun (Fimristylis sp.), meskipun harga jualnya rendah, tetapi tikar itu dapat terkumpul ratusan lembar dan sehingga akumulasi harga mampu menjaga ketahanan ekonomi rumah tangga.


“Habis Sahari” Problem Pangan

Paparan di atas merupakan kondisi ideal sebagai kearifan lokal terutama cadangan pangan yang semestinya terus kita wariskan hingga saat ini. Namun persoalannya, kita abai dengan konsep safety first versi Scoot tersebut dan hanya dilihat pada keselamatan pekerja bangunan.

Padahal inilah konsep kaum agraris agar ketahanan pangan dapat bersambung setidaknya pada musim panen akan datang. Justru yang terjadi adalah kindai –tak lagi- limpuar (penuh) bahkan kita tidak mengenal lagi konsep lumbung dalam versi lokal, sebaliknya yang terjadi adalah yang disebut “habis sahari” yakni daya tahan pangan menjadi kritis karena pendapatan hari ini dihabiskan pada hari yang sama.

BACA JUGA: Urgensi Peran Masyarakat Untuk Penanggulangan Wabah dalam Perspektif Hukum Pancasila

Budaya menyimpan bahan pangan yang bertahan hingga setahun akan
datang telah mencapai tahap kritis, sebab kalau tidak disebut tidak ada, adalah semakin langka ditemukan kindai atau bandat dalam rumah penduduk.

Saat ini kita memiliki fasilitas teknologi canggih untuk penyimpanan atau pengawetan sayur atau bahan makanan lain melalui pendingin bernama kulkas, tapi agaknya tidak difungsikan untuk menyimpan sayur setidaknya bisa bertahan 3-4 hari, kecuali untuk mendinginkan minuman dan membuat es belaka.

Ibarat manusia, maka daya tahan pangan kaum agraris telah meregang nyawa dalam pelukan janji neoliberal, padahal dalam buku Dinamika Kelas dalam Perubahan Agraria bahwa kekuasaan koorporat yang semakin besar atas wilayah hulu dan hilir pertanian (Bernstein, 2019).

Atas dasar itulah, kita perlu terus belajar pada kearifan lokal yang masih
bertahan di berbagai daerah terutama anak bangsa yang hidup sebagai kaum agraris dengan tradisi mereka yang turun temurun. Maka ketika wabah membawa maut ini terjadi, praktik itulah yang harus kita pelajari dan terapkan sesuai dengan kondisi sekarang. (jejakrekam)

Penulis adalah anggota Tim Pakar ULM untuk Penangan Covid-19 dan Dosen di FKIP ULM

(Isi dari artikel ini sepenuhnya tanggungjawab penulis bukan tanggung jawab media)

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.