Dampak Pandemi, Komunikasi Virtual Kini Jadi Budaya Baru di Tengah Masyarakat Melek Teknologi

0

SEJAK pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) melanda, pertemuan secara fisik menjadi terbatas. Terhitung sejak awal Maret 2020, budaya baru pun mencuat dengan memanfaatkan kemajuan teknologi.

BERBAGAI aplikasi dan menu digital untuk menyambung koneksi antar orang kini makin membumi. Sebut saja, aplikasi meeting Zoom dengan keunggulan percakapan video melibatkan banyak orang ini bisa diakses dengan berbagai perangkat baik ponsel pintar, desktop hingga telepon dan sistem ruang.

Ada lagi, aplikasi yang mungkin sudah familiar seperti Google Class Room, Whatapps dan lainnya pun menjadi pilihan untuk menghindari temu wicara langsung.

Model percakapan jarak jauh di era Revolusi Industri 4.0 menjadi sebuah keniscayaan. Terlebih lagi, protokol kesehatan Covid-19, mencegah banyak orang untuk kontak fisik. Hingga akhirnya model komunikasi jarak jauh ini menyentuh rapat resmi kenegaraan, kuliah, belajar mengajar dan persidangan perkara di pengadilan.

Pakar komunikasi FISIP Universitas Lambung Mangkurat, Dr Fahrianoor mengakui pesatnya perkembangan teknologi informasi juga mengubah sudut pandang dan budaya manusia modern sekarang.

“Diskusi atau dialog virtual dengan menggunakan beragam aplikasi. Namun, yang agak ramai dipakai adalah aplikasi meeting Zoom, merupakan salah satu cara agar komunikasi antar pihak bisa tersambung di tengah pandemi Covid-19,” ucap Fahrianoor kepada jejakrekam.com, Minggu (14/6/2020).

BACA : Jika Wabah Corona Mereda, UIN Antasari Siap Buka Perkuliahan Pada September Nanti

Ia mengakui konsekuensi dari penggunaan teknologi IT, tentu akhirnya kekuatannya berbasis pada sinyal atau koneksi internet yang disediakan provider. Walhasil, diskusi jarak jauh pun menjadi budaya yang mulai akrab di keseharian orang, terutama di kalangan melek teknologi. Tak lagi dipisahkan jarak dan waktu.

“Saya yakin diskusi via daring atau online ini akan menjadi budaya baru masyarakat Indonesia, meski nantinya pandemi ini telah berakhir. Karena, jauh efektif dibandingkan harus mengumpulkan banyak orang di satu tempat yang membutuhkan waktu cukup lama,” tutur magister lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini.

Namun, Fahrianoor mengingatkan pertemuan tatap muka atau diskusi langsung masih sangat dibutuhkan dalam mempererat silaturahmi secara psikiologis.

“Tidak bisa dihilang diskusi tatap muka, apalagi jika dikaitkan dengan kearifan lokal di masyarakat Banua. Memang, komunikasi secara online akan menjadi sebuah solusi apabila aktivitas masyarakat tidak bisa terpenuhi. Misalnya seperti guru atau dosen yang tidak bisa mengajar secara tatap muka,” ujar doktor komunikasi lulusan Universitas Padjadjaran Bandung ini.

BACA JUGA : Rektor ULM Sebut 90 Persen Mahasiswa Puas Sistem Kuliah Online

Menurut dia, keadaan tersebut nantinya mampu bersinergi dengan interaksi tatap muka seperti rapat atau seminar menjadi lebih mudah. Bahkan, Fahri-sapaan akrab dosen muda ini, seseorang tak bisa lagi beralibi tidak bisa hadir saat rapat atau seminar.

“Karena interaksi virtual ini bisa dilakukan kapan pun dan di mana pun. Jadi saya prediksi ini akan menjadi budaya baru di tengah masyarakat,” ujarnya.

Pakar Komunikasi FISIP ULM Dr Fahrianoor

Fahri berasumsi, kegiatan interaksi virtual tersebut tetap akan bertahan usai pandemi yang didukung dengan terbentuknya masyarakat informasi pasca-Covid-19. Hal itu lantaran, Fahri menyebut saat ini masyarakat sangat bergantung pada informasi, khususnya terkait pandemi.

BACA JUGA : Demi Kuliah Daring, Mahasiswi Uniska Rela ke Hutan dan Tempuh Jarak Puluhan Kilometer

Meski begitu, Fahri menilai masih banyak kelemahan dalam interaksi virtual tersebut. Misalnya saja, kata dia, interaksi daring sangat bergantung pada kuota dan jaringan internet yang kuat.

Menurut dia, masyarakat juga akan dibuat malas untuk berdiskusi secara langsung atau tatap muka. Menurutnya, diskusi virtual bisa menjadi sebuah pelarian bagi seseorang.

“Misalnya tidak ingin ke kampus, kemudian ia langsung mengasumsikan bahwa masih bisa melalui kuliah daring atau online,” terangnya.

Fahri menyarankan agar potensi budaya baru saat penerapan ‘new normal’ ini nantinya juga harus diperhatikan oleh pemerintah. Fahri menyebut, peran pemerintah dalam hal ini adalah menyusun sejumlah regulasi yang tepat, agar tidak melahirkan polemik baru di tengah masyarakat.(jejakrekam)

Penulis M Syaiful Riki
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.