Membumikan nilai-nilai Pancasila atas kebijakan pemerintah dalam penanganan wabah covid 19

0

Oleh: Dr Abdul Halim DpPD SH MH MM FINASIM

TANGGAL 1 Juni di Indonesia kita peringati dan dijadikan sebagai hari libur Nasional sebagai Lahirnya Pancasila. Pancasila sebagai bintang penuntun sekaligus sebagai dasar politik hukum di negara Indonesia pada dasarnya mengamanatkan terwujudnya kehidupan yang layak, seimbang, dan berprikemanusiaan bagi seluruh golongan masyarakat guna terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh golongan rakyat Indonesia, hal tersebut jelas dapat terwujud dengan kehidupan yang sehat.

BERDASARKAN bunyi alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Di atas, terlihat jelas bahwa tujuan nasional dari negara Indonesia adalah: 1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; 2. Memajukan kesejahteraan umum; 3. Mencerdaskan kehidupan bangsa; dan 4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Amanat tersebut kemudian tersurat dengan jelas di dalam Pasal 28A UUD RI Tahun 1945 disebutkan “Semua orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”, kemudian ditegaskan kembali dalam Pasal 28H ayat 1 UUD RI Tahun 1945 bahwa “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.

Untuk mampu mewujudkan politik hukum kekarantinaan kesehatan yang berkeadilan maka perlu dilakukan reposisi nilai dasar politik hukum kekarantinaan kesehatan yang berlandaskan pada Pancasila.

Pancasila sebagai dasar politik hukum di Indonesia pada dasarnya menghendaki terwujudnya keseimbangan hidup. Hal tersebut sesuai dengan pandangan dari Yudi Latif yang menyatakan bahwa “Ketuhanan dalam kerangka Pancasila mencerminkan komitmen etis bangsa Indonesia untuk menyelenggarakan kehidupan publik-politik yang berlandaskan nilai-nilai moralitas dan budi pekerti yang luhur.”

Kehidupan publik-politik yang berlandaskan nilai Ketuhanan sebagaimana yang dimaksudkan dalam sila pertama Pancasila, pada dasarnya bukan hendak menciptakan negara agama yang hanya berlandaskan pada satu golongan agama saja, namun lebih dari itu sila pertama Pancasila justru mengamanatkan kepada kehidupan publik-politik di Indonesia untuk juga mengakomodasi segala bentuk agama dan kepercayaan untuk menciptakan tujuan dan cita-cita masyarakat bangsa Indonesia secara bersama.

Ketuhanan dalam kerangka Pancasila merupakan usaha pencarian titik temu dalam semangat gotong-royong untuk menyediakan landasan moral yang kuat bagi kehidupan politik berdasarkan moralitas Ketuhanan.

Kedudukan Pancasila sebagai Philosofische Grondslag atau oleh Nawiasky disebut dengan Staatsfundamentalnorm sekaligus sebagai rechtsidee atau cita hukum, pada dasarnya menimbulkan konsekuensi bahwa pembuatan segala peraturan hukum hingga pelaksanaannya harus sesuai dengan segala nilai yang terkandung dalam setiap sila Pancasila sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Adapun tujuan negara yang berangkat dari cita-cita masyarakat bangsa telah tersimpulkan di dalam kelima sila Pancasila. Sehingga dengan kata lain penyelenggaraan politik hukum berlandaskan pada kelima sila Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Politik hukum yang berlandaskan pada nilai Ketuhanan Yang Maha Esa artinya politik hukum harus berlandaskan pada nilai moral Ketuhanan. Politik hukum yang berlandaskan nilai Kemanusian Yang Adil Dan Beradab artinya politik hukum yang ada harus mampu menjamin penghargaan dan perlindungan bagi hak-hak asasi manusia secara non-diskriminatif.

Politik hukum harus berlandaskan nilai Persatuan Indonesia artinya politik hukum harus mampu mempersatukan seluruh unsur bangsa dengan segala ikatan primordialnya masing-masing.

Politik hukum yang berlandaskan nilai Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan artinya politik hukum harus mampu menciptakan kekuasaan negara yang berada di bawah kekuasaan rakyat atau dengan kata lain politik hukum harus mampu menciptakan negara yang demokratis dimana kekusaan terbesar berada di tangan rakyat (demokrasi kerakyatan).

Kemudian yang terakhir bahwa politik hukum harus berlandaskan nilai Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia artinya politik hukum harus mampu menciptakan masyarakat yang berkeadilan sosial yang mampu menciptakan keadilan bagi kalangan masyarakat lemah baik di sektor sosial maupun pada sektor ekonomi, sehingga tidak terjadi penindasan antara kalangan masyarakat power full dengan masyarakat marjinal.

Barda Nawawi menyampaikan bahwa hukum haruslah menjurus pada dua sasaran, yaitu:
a) Perlindungan masyarakat;
b) Perlindungan dan pembinaan terhadap individu yang hidup dalam suatu system masyarakat.
Sehingga politik hukum kekarantinaan sudah seharusnya mampu melihat kepentingan masyarakat yang kemudian dimuat secara tegas dan jelas dalam peraturan hukum yang ada tanpa melihat agama ataupun kemampuan ekonomi masyarakat.

Sehingga baik Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 maupun PP PSBB perlu diatur kembali yang dimana secara jelas memuat perihal teknis penenganan wabah penyakit yang mampu secara berkeadilan baik secara ekonomi, sosial-budaya, maupun hukum.

Sehingga untuk itu perlu dilakukan rekonstruksi politik hukum pencegahan wabah penyakit yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat yang tidak hanya bertumpu pada logika hukum pemerintah yang sejatinya tidak memahami secara utuh persoalan yang lahir sebagai dampak COVID-19 di masyarakat.

Sehingga untuk mewujudkan hal tersebut maka perlu adanya penanaman dan pelembagaan nilai-nilai baru yang ada dimasyarakat, agar tindakan yang diharapkan tidak bertentangan dengan tindakan yang dilakukan di masyarakat dalam hal pembuatan sistem hukum.

Adapun kelemahan yang terdapat dalam pelaksanaan politik hukum penaganan wabah penyakit di Indonesia saat ini yaitu tidak diaturnya secara luas perihal pelaksaan penanganan wabah pnyakit yang ditunjukan dengan hanya diaturnya ketentuan terkait COVID-19 dan hanya dengan metode PSBB, kemudian adanya penyempitan tersebut mengakibatkan disharmonisasi antara PP PSBB dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018. Selain itu kurangnya kesadaran masyarakat serta desakan ekonomi masyarakat mengakibatkan pelaksanaan politik hukum penanagan wabah penyakit tidak berjalan efektif.

Sehingga perlu dilakukan reorientasi nilai dasar kembali politik hukum penanganan wabah penyakit yang berlandaskan pada kebutuhan dan kepentingan masyarakat luas agar mampu terwujud keadilan sosial dan keseimbangan hukum sebagaimana yang dimaksudkan oleh Pancasila.

Apakah PSBB dan dilanjutkan dengan Relaksasi PSBB / Memasyarakatkan dan memaksakan New Normal dalam kehidupan saat ini sudah sesuai dengan nilai keadailan Pancasila? (jejakrekam)

Isi artikel menjadi tanggungjawab penulis

Penulis adalah Dokter Utama pada RSDI Banjarbaru dan Candidat Doktor Ilmu Hukum PDIH UNISSULA

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.