Menyoal Etika dan Politisasi Bansos
Oleh : Muhammad Firhansyah
DALAM seminggu ini penulis setidaknya mengikuti tiga diskusi daring mengenai pembahasan politisasi bantuan sosial, baik yang di selenggarakan secara nasional maupun lokal (daerah). Termasuk oleh Ombudsman Kalsel dengan melibatkan sejumlah tokoh atau instansi seperti KPU, Bawaslu, akademisi, tokoh publik dan anggota DPR RI.
FAKTA di lapangan, memang penyaluran bantuan sosial masih terjadi kekusutan. Sejumlah masalah seperti ketidaktepatan sasaran penerima bantuan, data yang tidak akurat sebab tanpa pemutakhiran. Lain lagi soal SOP atau alur yang tidak jelas, serta lambannya tindaklanjut keluhan masyarakat yang semakin tinggi di lapangan.
Menjadi catatan penting persoalan bansos ini Namun dari semua potret tersebut yang miris adalah keluhan atas politisasi bansos.
Di tengah pandemi Covid-19 seperti ini, masih saja ada para pihak atau oknum pejabat, kepala daerah dan wakil rakyat memanfaatkan situasi dengan jalan “berkampanye” di tengah wabah virus Corona.
BACA : Guru Besar FISIP ULM Sebut Politisasi Bansos Bikin Publik Kehilangan Pendidikan Politik
Mereka menuliskan bantuan sosial yang digulirkan pemerintah pusat dan daerah dengan memakai gambar wajah, nama, dan jabatan sebagai kepala daerah atau wakil rakyat.
Sejumlah masyarakat pun menyampaikan konsultasi dan keluhannya ke Ombudsman Kalsel. Bagi mereka, situasi wabah kali ini dihadapkan dengan tontonan politik yang tidak mengenakkan, yakni menerima sejumlah bantuan sosial yang sarat akan kepentingan politik praktis dan tidak mendidik.
Publik yang kondisinya terhimpit seolah “dipaksa” mendukung untuk memilih lebih awal dari jadwal pemilu yang beberapa bulan lagi akan datang.
BACA JUGA : Mengadu ke Ombudsman, Dinsos Kewalahan Terima Laporan Soal Bansos Covid-19
Cara pandang seperti ini dinilai sebagai politik tak beretika sebab hanya menempatkan publik atau masyarakat sebagai target suara bukan sebagai sumber utama yang harus mendapat perhatian dan keadilan, apalagi manusia yang perlu diperjuangkan hak-haknya sebagai warga negara.
Dalam situasi wabah Corona ini tindakan politisasi Bansos adalah perbuatan oknum pejabat memanfaatkan situasi yang darurat, memasang wajah, nama dan “seruan” politik untuk memilih, baik melalui beras bantuan, sanitazer, disinfektan, masker, dan APD (alat perlindungan diri) dengan logo kepala daerah atau pimpinan lembaga negara.
Hal ini adalah perbuatan “main curang” dalam politik. Akibatnya pendidikan politik bagi masyarakat menjadi mundur ke belakang.
Problem etika dalam berpolitik memang menjadi pekerjaan rumah besar bagi bangsa ini, sejumlah aksi dan tontonan ketidakpatutan dalam berpolitik sudah di nilai “lumrah” terjadi, suap, kampanye gelap, jual beli suara, korupsi, fitnah, saling sikut dan tindakan amoral lainnya seolah dianggap “kebutuhan” untuk meraih kepentingan politik pribadi ataupun partai dan organisasi.
BACA JUGA : Jangan Politisasi Bansos di Tengah Pandemi dan Pilkada 2020
Padahal tujuan etika dalam berpolitik adalah mencegah perbuatan yang menyengsarakan publik dan mengarahkan cara berpikir, tindakan dan kebijakan “negara’ ke arah yang lebih baik.
Di sinilah penting kesadaran, kepekaan dan pengawasan ketat dari masyarakat atau publik. ditambah perangkat pengawas negara seperti Bawaslu, kepolisian, kejaksaan, KPK termasuk Ombudsman dan lainnya.
Sudah saatnya publik terus diedukasi pentingnya pendidikan politik yang bermoral dan humanis, tidak terjebak dalam politik praktis, apalagi hanya dengan keuntungan yang utopis, mengorbankan nasib bangsa hanya dengan selembar “money politik”, sembako, ataupun suap hadiah adalah manifestasi dari buruknya akhlak.
Untuk itu, partisipasi publik dalam hal melaporkan tindakan pejabat publik yang melanggar nilai-nilai susila, moral, dan etika politik sangat penting di era ini.
BACA LAGI : Masyarakat Miskin dan Rentan Miskin Akibat Pandemi Covid-19 di Kalsel Capai 314.559 KK
Setidaknya publik memiliki kekuatan melalui suaranya untuk tidak memilih calon wakil rakyat atau kepala daerah yang hanya bisa berjanji tanpa aksi dan bukti, apalagi hanya melakukan praktik kotor dengan membeli suara demi hasrat kekuasaan membabi buta.
Mungkin ada benarnya pernyataan filosof Immanuel Kant bahwa insan politik itu “mewarisi” watak binatang, bisa jadi ia menjadi merpati yang bermakna pribadi yang lembut, ideal, sarat perjuangan terhadap kaum lemah dan tertindas, tapi watak lainnya adalah ibarat ular yang tabiatnya licik dan jahat serta instingnya selalu memangsa dan melilit yang lemah. Sekian.(jejakrekam)
Penulis adalah Kepala Keasistenan Verifikasi dan Penerimaan Laporan Ombudsman Kalsel
(Isi dari artikel ini sepenuhnya tanggungjawab penulis bukan tanggung jawab media)