Diperkenalkan Imigran Yaman, Batapih Menjadi Simbol Islamisasi Masyarakat Banjar

0

BATAPIH atau mengenakan sarung dalam tradisi masyarakat Banjar, tak bisa dipisahkan kesehariannya. Sarung atau tapih dalam bahasa Banjar menjadi simbol merakyat dan membumi.

BUDAYAWAN Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin Humaidy Ibnu Sami mengungkapkan tradisi batapih tak lepas dari masuknya pengaruh Islam di Tanah Banjar, ketika itu dikuasai Kesultanan Banjar berpusat di Banjarmasin.

Menurut Humaidy, bentang wilayah kekuasaan Kesultanan Banjar hampir meliputi seluruh wilayah Kalimantan. Ini bisa digali dari sumber Hikayat Banjar ditulis sejarawan Belanda, JJ Ras menyebutkan Kesultanan Banjar meliputi Tabalong, Barito, Alai, Hamandit, Balangan, Kintap, Biaju Besar, Biaju Kecil, Sebangau, Mendawai, Katingan, Sampit dan Pambuang, dimana bertakluk pula Sukadana, Sanggau, Sambas, Batang Luwai, Karasikan, Kota Waringin, Pasir, Kutai dan Berau.

“Jadi, wilayahnya meliputi sebagian daerah Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara dengan pusat pemerintahan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan,” tutur Humaidy kepada jejakrekam.com, belum lama tadi.

BACA : 24 Ramadhan 1275 H dan Meletusnya Perang Banjar

Pegiat sejarah Islam UIN Antasari Banjarmasin ini mengungkapkan dari catatan sejarah suku atau etnis Banjar mulai bertumbuh dan bermukim terutama di pesisir pantai dan tepi sungai yang pada umumnya beragama Islam.

Ia pun mengutip pendapat antropolog IAIN Antasari, Prof Alfani Daud dalam buku Islam dan Budaya Banjar, menyebutkan suku Banjar terbentuk dari hasil perpaduan Melayu yang dominan, Dayak dan Jawa.

Secara geografis dan kultural suku Banjar terbagi menjadi tiga kelompok yakni, pertama, Banjar Hulu (percampuran Melayu, Dayak Meratus dan Jawa) tersebar di daerah Tabalong, Balangan, Amuntai, Barabai, Kandangan dan Tapin.

Kedua, Banjar Kuala (percampuran Melayu, Dayak Ngaju dan Jawa) tersebar di daerah Martapura, Banjarbaru, Banjarmasin, Pelaihari dan sekitarnya. Ketiga, Banjar Batangbanyu (percampuran Melayu, Dayak Maanyan dan Jawa) tersebar di daerah Nagara, Margasari, Marabahan dan sekitarnya.

BACA JUGA : Islam Banjar Perpaduan Kultur Demak dan Samudera Pasai

Sementara, beber dia, sejarawan Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Yusliani Noor dalam bukunya Islamisasi Banjarmasin, mengatakan suatu elemen penting bahkan menjadi pondasi dasar dari pembentuk konstruksi suku Banjar adalah agama Islam.

“Islam bisa dikatakan menjadi inti identitas dari karakter kebanjaran sehingga suku Banjar menjadi identik dengan Islam. Masuk Banjar, sama dengan masuk Islam sebagaimana masuk Melayu sama dengan masuk Islam. Hampir bisa dikatakan suku Banjar semuanya memeluk agama Islam tak terdengar kiranya ada yang memeluk agama lain,” papar Humaidy.

Lantas bagaimana dengan tradisi batapih atau bersarung dalam masyarakat Banjar, akibat dari proses islamisasi tersebut? Menurut Humaidy, proses Islamisasi awal sebelum berdiri Kesultanan Banjar tahun 1526, di sini peran para imigran dari Hadramaut, Yaman sangat kuat.

Menurut Humaidy, walau para imigran Hadramaut itu sudah ada sejak Kerajaan Nagara Daha berdiri dan menganut agama Bairawa (sinkretisme Hindu-Budha), justru masyarakat Yaman berdasar catatan sejarah memperkenalkan tradisi batapih.

“Tentu saja, suku Melayu yang menjadi bagian dominan pembentuk suku Banjar ini, diperkirakan telah pula memperkenalkan tradisi batapih dalam bentuk lain sebelum mereka membanjar,” tutur Humaidy.

BACA JUGA : Menggali Ilmu Taguh dalam Tradisi Masyarakat Banjar

Magister pendidikan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini menduga tradisi batapih ini populer di masyarakat Banjar diperkirakan ketika Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812) kembali dari Haramain (Makkah-Madinah).

Ulama besar yang meneguhkan keislaman Kesultanan Banjar dengan bermazhab ahlussunnah wal jamaah di pengujung abad ke 18. “Syekh Muhammad Arsyad juga membangun semacam pesantren yang dikenal sebagai Pondok Dalam Pagar,” katanya.

Nah, beber dia, kalangan ahlussunnah wal jamaah dikenal sebagai paham keislaman yang menjadi pegangan kaum tuha (tua) atau kelak kaum Nahdlatula Ulama (NU) yang akrab dengan tradisi lokal. Salah satunya, tampilan lokalitas dalam berpakaian adalah menggunakan tapih atau sarung.

“Sarung atau tapih ini dipakai baik dalam beribadah maupun kegiatan sosial dan kebudayaan. Jadi, tak mengherankan jika warga NU atau Nahdliyin dikenal sebagai kaum batapih atau kaum sarungan,” papar Humaidy.

BACA JUGA : Nilai Adiluhur dari Ornamen Rumah dan Masjid-Masjid Kuno di Ranah Banjar

Ia pun memperkirakan tapih di dalam Pondok Dalam Pagar sudah dipakai secara massal oleh para murid dan para tuan guru (ulama) dalam kegiatan belajar mengajar dan kegiatan sehari-hari lainnya.

“Apalagi ketika itu, suku Banjar bertemu pendatang suku Bugis dari Sulawesi Selatan yang kemudian bermukim dan berkawin di daerah ini, maka budaya batapih atau bersarung semakin bertumbuh dan memasyarakat saja,” kata Humaidy.

Sebab, kata dia, suku Bugis juga diketahui sangat terampil menenun tapih-tapih berkelas sehingga semakin mempromosikan pesona sarung dalam masyarakat Banjar, hingga menjadi semacam identitas kebanjaran.

Dari penelusuran Humaidy, termasuk saat terjadi Perang Banjar yang panjang berlangsung pada 1859-1905, versi dokumen Kesultanan Banjar menceritakan bahwa gerakan perjuangan mengusir penjajah, para pejuang saat itu pakaian perangnya kebanyakan tak terlepas dari sarung.

“Hingga, saat itu lahir kitab Parukunan Rasyid yang di dalamnya terdapat seruan haram hukumnya berpakaian seperti penjajah. Otomatis menganjurkan berpakaian beda yakni berpakaian yang tentunya menggunakan tapih,” kata Humaidy.

Apalagi, batapih sudah menjadi semacam identitas pakaian islami. Kemudian, tapih sudah menjadi salah satu identitas berpakaian suku Banjar ketika NU didirikan pada 1926 oleh Tuan Guru H  Abdul Qadir Hasan, usai tiga bulan organisasi masyarakat Islam ini didirikan KH Hasyim Asy’ari di Surabaya.(jejakrekam) 

Penulis Didi GS
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.