Polemik Pernyataan ‘Hidup Damai dengan Corona’

0

Oleh : Masita Yulia

KEMBALI pemangku jabatan nomor satu negeri ini mengeluarkan statement yang menuai kontroversi. Seperti diketahui Presiden Jokowi mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan ditengah situasi penanganan penyebaran Covid-19.

MELALUI akun resmi media sosialnya pada Kamis (7/5/2020), Jokowi meminta masyarakat agar bisa hidup damai dengan Covid19 hingga vaksin virus ditemukan.

Dalam postingan tersebut, Jokowi menyadari perang melawan virus yang telah menjadi pandemi dunia tersebut harus diikuti dengan roda perekonomian yang berjalan.

Oleh sebab itu, dengan status Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) saat ini, masyarakat pun masih bisa beraktivitas meski ada penyekatan pada beberapa hal.

BACA : Berdamai dengan Covid-19 Lewat Skenario Herd Immunity?

Tentu saja pernyataan Jokowi tersebut mendapatkan berbagai tanggapan dan menjadi sorotan di media social, lantaran hal itu bertentangan dengan apa yang disampaikannya dalam pertemuan virtual KTT G20 pada Maret lalu.

Kala it,u Jokowi secara terbuka mendorong Negara dalam G20 menguatkan kerjasama dalam melawan Covid-19, terutama aktif dalam memimpin upaya penemuan anti virus dan juga obat Covid-19. Bahasa Jokowi kala itu “peperangan” melawan Covid-19.

BACA JUGA : Pengamat Kebijakan Publik ULM Saran Batola-Banjar-Banjarbaru Terapkan PSBB Lebih Bijak

Menyikapi dua diksi kontradiktif tersebut –damai dan perang—pengamat komunikasi politik, Kunto Adi Wibowo menilai pesan “damai” dari Jokowi itu bisa memicu potensi berbahaya terkait Covid19, apalagi menjelang Idul Fitri 1441 H.

Kunto berkaca pada penerapan PSBB saat ini saja, masih banyak masyarakat yang mencoba untk membandel dengan kebijakan pemerintah. Sehingga dia menilai diksi “damai” ditengah situasi saat ini pun menjadi tidak tepat. Masyarakat kini seolah merasa lebih leluasa kembali untuk beraktivitas.

Senada dengan  Kunto, Ketua Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) cabang Bekasi, Dokter Eko S. Nugroho kepada wartawan pada Senin (11/5/2020), “Kami was was terhadap pernyataan tersebut, takutnya diartikan ya sudah kita terima saja”. Pasalnya, lanjut Eko, pesan berdamai dengan Covid19 yang disampaikan Jokowi tetap harus diiringi dengan usaha. Eko menilai, berdamai dengan virus asal Wuhan tersebut dapat diterminologi sebagai dancing with Covid19.

“Kita tetap bermusuhan dengan Covid19, tetapi tetap melakukan aktivitas dengan aman, dan kesadaran masyarakat tetap menjaga jarak serta menggunakan masker untuk mengutamakan keamanan dan menjaga kebersihan,” jelasnya. (kedaipena.com, 11/5/2020).

Tidak ada komitmen yang kuat dari pemerintah untuk menyelesaikan wabah ini dari awal. Hal ini Nampak pada kebijakan-kebijakan yang berubah-ubah dan saling tumpah tindih kebijakan antara mentri yang satu dengan yang lain. Kebijakan mudik misalnya, pada awalnya (23/4/2020/) pemerintah melarang warga untuk mudik pada hari raya Idul Fitri,melalui peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2020, tapi beberapa waktu kemudian, pemerintah  membolehkan mudik dengan beberapa syarat (CNN Indonesia, 30/4/2020).

BACA JUGA : Rezim PSBB dan Herd Immunity

Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNBP) Agus Wibowo mengatakan masyarakat masih diizinkan untuk mudik di tengah pandemi Corona dengan syarat membawa surat  keterangan mengenai kondisinya.

Dampak dari kebijakan yang tidak tegas tersebut akhirnya beredarlah surat keterangan sehat bebas covid19 yang bisa dibeli secara online (pikiran rakyat bekasi.com, 15/52020), yang kemudian menyebabkan terjadi lonjakan penumpang di Bandara Soeta pada Kamis, 14 Mei 2020 yang diduga berencana mudik.

Wajar apabila rakyat menyimpulkan bahwa pemerintah secara tidak langsung mengambil solusi herd immunity untuk mengatasi wabah Covid-19 ini, karena kebijakan PSBB diperlonggar alasan ekonomi, mall-mall mulai diperbolehkan beroperasi kembali, sekolah akan masuk kembali per Juni mendatang, padahal kurva wabah tidak mengindikasikan landai bahkan kurvanya menunjukkan kenaikan. Dan hal ini berarti masyarakat dan para nakes dibiarkan bertarung dengan virus tanpa dibekali senjata.

PSBB sejatinya merupakan bukti abainya pemerintah akan kondisi wabah ini, kebijakan ini mengatur pembatasan interaksi masyarakat pada aktivitas –aktivitas tertentu, dan memberi kelonggaran pada kativitas yang lain. Aktivitas-aktivitas yg menggerakkan roda ekonomi diberi kelonggaran, misalnya pedagang makanan dan minuman diberi batasan waktu berjualan, Perusahaan-perusahaan yang memproduksi kebutuhan pokok rakyat diberi izin untuk beroperasi  dan sebagainya. Sedangkan aktivitas yang tidak memberi manfaat materi kepada negara ditutup total, misalnya shalat berjamaah di Masjid, kajian-kajian Islam secara offline, tarawih dan sebagainya.

Dan setelah berjalan hampir dua bulan, kebijakan PSBB tidak menunjukkan keberhasilan yang signifikan dalam menekan penyebaran Covid-19, yang ada semakin hari kasusnya semakin bertambah dan jumlah clusterpun bertambah. Dan bahkan  pertumbuhan ekonomi anjlok sejak kebijakan PSBB berjalan. Seperti yang dikatakan Menkeu Sri Mulyani bahwa kebijakan PSBB ditengah pandemi virus Corona memukul sistem keuangan dan pertahanan ekonomi negara. (CNN Indonesia, 11/5/2020).

BACA JUGA : Pelayanan Kesehatan Warga Negara Berbasis Keadilan Amanah Konstitusi

Inilah akibat apabila pemerintah mempunyai standar  ganda dalam mengambil langkah menyelesaikan masalah Covid-19 ini. Pemerintah bingung mendahulukan kepentingan ekonomi atau kesehatan.

Akhirnya pemerintah menginginkan roda ekonomi tetap berjalan dengan melakukan pembiaran-pembiaran yang tidak adil, pedagang-pedagang kecil diminta untuk menutup tokonya sedangkan pedagang yang besar dibiarkan tetap buka. Terjadi banyak ketidakadilan yang terjadi di masyarakat

Dan dengan Jokowi mengeluarkan statement “Hidup damai dengan Virus”, semakin menguatkan dugaan masyarakat bahwa pemerintah tidak serius dalam menangani masalah ini dan hal ini menunjukkan secara tidak langsung pemerintah mengambil langkah Herd immunity untuk mengatasi masalah ini. Yang artinya seleksi alam, yang punya kekebalan tubuh yang baik akan bertahan dan yang imunnya lemah akan punah.

Bagaimana Islam Menjawab Masalah Wabah

Berbeda dengan mabda yang lain, Islam punya solusi yang tepat dalam mengatasi wabah yang menyerang sebuah wilayah.

Pertama, karena kondisi wabah adalah kondisi yang prihatin, maka sudah seharusnya negara terutama pemimpinnya melakukan penghematan pengeluaran, memangkas biaya pengeluaran yang tidak terlalu penting. Hal ini telah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khatab. Beliau benar-benar rela makan seadanya ketika melihat warganya kesulitan makan. Bukan malah hidup berfoya-foya mengadakan konser di tengah penderitaan rakyatnya.

BACA JUGA : Mitigasi Pandemi, The Power of Tetangga

Kedua, melakukan karantina total, warga yang berada di dalam wilayah yang terkena wabah dilarang keluar, dan yang berada di luar wabah dilarang masuk sampai wabah menghilang. Dan tidak boleh ada interaksi apapun di antara warga yang berada di wilayah wabah. Baik itu interaksi social maupun bermuamalah jual beli.

Ketiga, karena warga yang berada di wilayah wabah kekurangan bahan makanan dikarenakan pembatasan interaksi, maka Negara menjamin kebutuhan warga. Khalifah Umar bin Khatab  meminta bantuan pangan kepada wilayah yang tidak tidak terkena wabah, sehingga warga yang berada diwilayah yang terkena wabah tidak akan kelaparan karena kebutuhannya dipenuhi oleh negara. Begitulah Islam memberi solusi ketika terjadi wabah di sebuah wilayah. Wallahu’alam bi asshowab.(jejakrekam)

Penulis adalah Aktivis Dakwah/Warga Surabaya

(Isi dari artikel ini sepenuhnya tanggungjawab penulis bukan tanggung jawab media)

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.