Pengamat Kebijakan Publik ULM Saran Batola-Banjar-Banjarbaru Terapkan PSBB Lebih Bijak

0

KEBIJAKAN pembatasan sosial berskala besar (PSBB) menjadi pilihan pemerintah dalam menangani wabah virus Corona (Covid-19) yang dinilai paling tepat di Indonesia.

PENGAMAT kebijakan publik FISIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin Dr Taufik Arbain justru melihat faktor penentuan dipilihnya PSBB, karena kondisi keuangan negara yang minim hingga diikuti herd immunity dan melakukan distribusi jaringan pengaman sosial (JPS) serta kebijakan stimulus ekonomi lainnya.

“Kenyataan itu mau tak mau harus kita terima. Apalagi, kini menyusul Banjarmasin, tiga wilayah masuk Banjarbakula yakni Kabupaten Banjar, Kota Banjarbaru dan Kabupaten Barito Kuala (Batola) telah mengantongi izin status PSBB,” ucap Taufik Arbain kepada jejakrekam.com, Rabu (13/5/2020).

BACA : Ketua IDI Kalsel Puji Ketegasan Pemkot Banjarmasin Mulai Terlihat Di PSBB Jilid II

Persetujuan dari pemerintah pusat melalui Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, diakui Taufik Arbain berdasar pada jumlah warga yang terpapar Covid-19 seperti diatur dalam PP Nomor 21 Tahun 2000 dan Permenkes Nomor 9 Tahun 2000,  harus diimplementasikan dengan melihat berbagai aspek.

“Saya melihat ada tiga aspek yakni  pertama karakterisktik kewilayahan, aspek kedua karakteristik demografi serta aspek ketiga waktu berlangsungnya kebijakan,” ucap doktor jebolan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini.

Taufik merinci aspek karakteristik wilayah, bisa diukur dari perbedaan karakteristik wilayah perkotaan dan pedesaan. Menurut dia, Kabupaten Banjar dan Batola, sebagian besar lebih dominan karakteristik pedesaan yang memungkinkan sangat terbuka perilaku social dan physical distancing sehingga mudah dalam memberi imbauan.

Di samping itu, beber Taufik, gerak ekonomi desa tetap berjalan, mayoritas penduduk kedua kabupaten itu pergi ke sawah dan mencari ikan, termasuk pergerakan manusia relatif rendah.

“Harapannya, aktivitas penopang ekonomi pedesaan harus tetap jalan. Untuk kasus Batola, mungkin tinggi intensitas pergerakan orang terjadi di kawasan Handil Bakti. Sedangkan, di Kabupaten Banjar berada di koridor Km 7 (Kertak Hanyar), Km 14 (Gambut) dan Kota Martapura sendiri. Jadi, model PSBB yang bisa diterapkan, bukan karantina wilayah,” papar Taufik.

BACA JUGA : Susul Banjarmasin, Sah! Menkes Terawan Setujui PSBB Banjarbaru, Kabupaten Banjar dan Batola

Ia mengingatkan agar model pendekatan yang diterapkan dalam PSBB nanti, tidak menimbulkan kecemasan berlebih. Jika ada kerumunan di malam hari, tentu harus dicegah dengan patroli seperti kafe-kafe yang ada di kawasan penyangga kota itu.

“Belajar dari PSBB Banjarmasin yang tampaknya telah memilih dengan pendekatan keamanan dan karantina wilayah malu-malu. Khawatirnya justru diadopsi penuh oleh Kabupaten Banjar dan Batola, serta Kota Banjarbaru. Harus diingat PSBB itu filosofis akhirnya menjaga ekonomi rakyat agar tetap bertahan dan herd imunity serta imbauan social and physical distancing,” ucapnya.

Datuk Cendikia Kesultanan Banjar ini melihat justru pemerintah pusat dalam memilih kebijakan PSBB lebih menonjolkan aspek sosial dan politik.

Taufik juga memaparkan dari aspek karakteristik demografi tentu wilayah perkotaan lebih dominan penduduk produktif sebagai nilai ekonomi. Di perkotaan dalam kisaran 60-70 persen penduduk bekerja di sektor informal, apakah sebagai pedagang, PKL, buruh harian dan swasta lainnya.

“Fakta ini bahwa ketergantungan hidup mereka pada pekerjaan jelas berbeda dengan kalangan ASN dan pekerja formal lainnya berdasar gaji bulanan dengan pola work from home (WFH),” katanya.

BACA JUGA : Kecuali Jual Sembako, Mulai Besok Seluruh Pasar di Banjarmasin Ditutup Selama PSBB Jilid II

Maka dari itu, beber Taufik, pemerintah kota harus mampu membuat inovasi kebijakan penanganan Covid-19, tanpa harus ada pembatasan  menutup usaha-usaha kecil masyarakat, tetapi justru diatur baik waktu buka-tutup, dan protokol pencegahan Covid-19 dengan menempatkan petugas yang lebih besar di kawasan pasar.

“Pemerintah jangan bekerja sendiri dengan instrument institusi, tetapi dana refocusing  APBD untuk Covid-19 bisa mengerahkan relawan-relawan dari kalangan damkar, LSM, ormas dan pemuda di titik yang ditentukan. Jadi, PSBB jalan, ekonomi jalan selama 14 hari dan masyarakat tidak merasa dalam kecemasan.” tegas Ketua Umum Koalisi Kependudukan Kalsel ini.

Saat ini, beber taufik, justru adalah musim pengharapan menjelang lebaran bagi penduduk perkotaan khususnya pedagang yang tentu berkelindan dengan pekerjaan para buruh angkut, dan lainnya dalam mendistribusikan rezeki.

Ketua Umum Indonesian Association Public Administration (IAPA) Kalsel menekankan kebijakan itu harus pula memperhatikan aspek waktu kapan kebijakan itu diimplementasikan.

“Jadi tidak sekadar memilih pada model rational comprehensive, tetapi pada model Mixed-Scanning. Tidak sekadar pertimbangan rasional kesehatan,  efisien, tetapi juga pertimbangan rasional ekonomi dan politis.  Kondisi saat ini di mana ekonomi lesu, pemerintah tidak sekadar menghadirkan kebijakan (policy), tetapi juga kebijaksanaan(wisdom) dan kebajikan (virutues),” papar Taufik.

“Pilihan kebijakan yang beranjak dari analisis komprehensif baik ekonomi, social budaya dan timing sangat diperlukan saat ini, agar rakyat patuh, terbangun trust  kepada pemerintah,” ucapnya.

Bagi Taufik, justru kearifan kebijakan ini mengurangi kecemasan publik yang berlebih sehingga justru tambah stress dan berimplikasi pada menurunnya imun rakyat dan tambah tinggi tingkat morbiditas penduduk.

BACA JUGA : Bandingkan Duta Mall, Pedagang Protes Kebijakan Penutupan Pasar Imbas PSBB Lanjutan

Untuk itu, papar dia, petugas di lapangan dibutuhkan kesabaran menghadapi kondisi stress yang dihadapi publik selama wabah ini.

 “Kita mengakui apa yang dihadapi pemerintah daerah dalam kondisi dilematis regulasi. Satu sisi perintah pusat menekankan PSBB tetapi tidak disertai pedoman teknis, kecuali inovasi daerah sehingga melahirkan multitafsir dalam penanganan,” katanya.

Sisi lainnya, sebut Taufik, justru berubahnya fatwa WHO soal kesehatan, apalagi akan ada  rencana boleh penduduk usia 45 tahun keluar bekerja. 

“Untuk itu memang kesadaran publik terus kita bangun, dengan menghadirkan kepercayaan dan kapabilitas pemerintah dalam membuat kebijakan yang tepat,” tandas peraih best paper IAPA Annual Conference 2018 ini.(jejakrekam)

Penulis Ipik Gandamana
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.