PSBB Vs Lockdown dalam Pemenuhan Hak Rakyat dan Asas Kepastian Hukum

0

Oleh : dr. Abd.Halim,SpPD.SH.MH.MM.FINASIM

MASYARAKAT semestinya harus diberi edukasi, dan mengerti tentang pemaknaan dan konsekuensi hak-kewajiban dari dua pilihan pemerintah dalam merespon kedaruratan kesehatan masyarakat.

PEMBATASAN sosial berskala besar (PSBB) dan karantina wilayah (lockdown) yang diatur oleh UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekaratinaan Kesehatan.  Hanya saja, dua pilihan kebijakan ini memiliki perbedaan mendasar dalam pelaksanaan dan konsekuensinya.

Karantina wilayah dalam bahasa UU Nomor 6 Tahun 2018 dilaksanakan kepada seluruh anggota masyarakat di suatu wilayah apabila dari hasil konfirmasi laboratorium sudah terjadi penyebaran penyakit antar anggota masyarakat di wilayah tersebut. Karantina wilayah ini sebenarnya yang dalam istilah di masyarakat dikenal dengan “lockdown”. 

Dalam penerapannya, jika suatu wilayah menerapkan karantina wilayah, maka akan terus menerus dijaga oleh pejabat karantina wilayah dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

BACA : Komnas HAM Dukung Penerapan PSBB Banjarmasin dan Daerah Penyangga

Ini karena anggota masyarakat tidak diperbolehkan keluar dan masuk wilayah yang dikarantina. Artinya, tidak ada akses apapun untuk orang masuk atau orang keluar ke wilayah yang dikarantina, termasuk juga akses melalui udara, laut dan darat.

Warga dalam wilayah yang dikarantina benar-benar hanya berdiam di rumah saja, atau istilahnya “Work From Home”. dan dengan rezim karantina ada kepastian hukum dalam memaksa rakyat dan masyarakat untuk tinggal di rumah dan dilarang mudik ataupun pulang kampung.

Namun, di sisi lain, UU memberikan kewajiban dan memerintahkan kepada pemerintah pusat untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina.

Tanggungjawab pemerintah pusat dalam penyelenggaraan karantina wilayah tersebut dilakukan dengan melibatkan pemerintah daerah dan pihak yang terkait.

Dengan diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Keadaaan Darurat Kesehatan Masyarakat dalam kasus wabah atau bencana non alam ini dan dengan dikeluarkannya PP Nomor 21 Tahun 2020 tentang PSBB.

BACA JUGA : Pantau PSBB, Ombudsman Buka Posko Pengaduan Masyarakat

Maka pilihan karantina atau lockdown tertutup secara hukum dan apabila suatu daerah atau wilayah melakukan karantina sendiri maka terindaksi melawan hukum dan pemerintah pusat karena secara UU yang berwewenang menetapkan ini adalah Presiden.

PSBB dalam pelaksanaannya paling sedikit meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum. Di samping itu juga adanya pembatasan pergerakan orang dalam satu wilayah.

PSBB bertujuan untuk mencegah meluasnya penyebaran penyakit Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang sedang terjadi antar orang di suatu wilayah tertentu.

Jika melihat pilihan penerapan PSBB yang diatur dalam UU, sebenarnya hampir semua daerah telah melaksanakan kebijakan tersebut, meski belum ada penetapan dan peraturan pemerintahnya.

Di sini, bukti kelambanan tindakan pemerintah pusat dan kelancangan pemerintah daerah dengan memakai asas prinsip salus populi suprema lex esto (keselamatan rakyat hukum tertinggi), pemerintah wajib mengutamakan perintah konstitusi “melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia”.

Di berbagai deerah atas inisiatif kepala daerah setempat maka sekolah, kampus, tempat belajar telah lama diliburkan. Kegiatan keagamaan seperti pengajian, yasinan, bahkan shalat Jumat berjamaah di masjid pun juga sudah ditiadakan. Begitupula dengan pusat-pusat perbelanjaan seperti mall dan tempat rekreasi juga sudah tidak beroperasi.

BACA JUGA : Banjarbaru-Tanah Bumbu-Banjar dan Batola Bakal Susul Banjarmasin Terapkan PSBB

Sementara yang awalnya hanya imbauan dengan surat edaran dari masing-masing daerah atau instansi. Tapi dengan dikeluarkan PP ini, maka sudah mempunyai hukum yang kuat dan mengikat diterapkan di seluruh NKRI. Meski penerapan sanksi pidana bagi yang menghalangi ini dapat dilakukan sesuai UU Nomor 6 Tahun 2018 masih dalam perdebatan ahli hukum karena dalam PP tidak mengatur sanksi pidana dan juga bukan opsi karantina yang dipilih yang jelas ada sanksi pidananya.

Memang, jika memilih opsi karantina wilayah, maka pemerintah akan dibebani dengan tanggung jawab menyediakan bahan dan kebutuhan pokok sehari-hari warga negara yang wilayahnya dikarantina. Sebab, warga tersebut tidak bekerja untuk mencari nafkah memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun, jika memilih opsi PSBB, maka pemerintah tidak dibebani dengan kewajiban tersebut.

Hanya dikatakan bahwa pada pembatasan kegiatan difasilitas umum pemerintah wajib memperhatikan kesedian bahan pokok. Sudah jadi rahasia umum karena berlarut-larut penanganan bencana Covid-19 ini, daya tahan ekomoni masyarakat pun sudah jebol terutama para pekerja informal dan harian. Menjadikan mereka menjadi fakir bahkan miskin secara definisi fiqih maupun menurut UU Nomor 13 Tahun 2011 tentang Fakir Miskin.

BACA JUGA : Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Rasa Karantina Wilayah?

Adapun hak kaum fakir miskin yang harus diberikan oleh negara antara lain seperti dalam UU Nomor 13 Tahun 2011 yakni memperoleh kecukupan pangan, sandang, dan perumahan, mendapat pelayanan kesehatan, mendapat pelayanan sosial melalui jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan rehabilitasi sosial dalam membangun, mengembangkan, serta memberdayakan diri dan keluarganya.

Jadi, walaupun rezim PSBB tidak mewajibkan negara dalam hal ini pemerintah pusat menanggung kebutuhan dasar hidup warganya. Tetapi untuk masyarakat yang masuk kategori fakir miskin dan anak terlantar wajib diberi jaminan untuk kehidupan yang layak dan kebutuhan makan setiap harinya baik pada situasi wabah dan situasi normal. Ini sebuah pilihan yang cerdas dari rezim ini, meski dana untuk itu dikabarkan tak ada. Waallahualam bishawab.(jejakrekam)

Penulis adalah Kandidat Doktor Ilmu Hukum Tata Negara dan Hukum Kesehaatan Unnisula Semarang

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.