Covid-19 dan Siasat Menciptakan Political Distancing

0

Oleh: Kadarisman

COVID-19benar-benar membetot perhatian publik. Kenyataan itu tak lepas dari kuatnya arus informasi yang masuk ke saku baju dan saku celana publik. Sayang, kecepatan informasi ini tak sebanding dengan ketanggapan pemerintah pusat.  Upaya antisipasi perluasan corona di daerah tersandung kewenangan.

PEMBATASAN Sosial Berskala Besar (PSBB) harus atas persetujuan Jakarta. Kepala daerah yang gigih melindungi kewilayahannya dapat menjadikan PSBB sebagai payung hukumnya. Tetapi kegigihan itu tak berarti apa-apa, jika pusat tak menyetujui.  Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah, Palangka Raya misalnya, contoh gagal meminta restu itu.

Kini wajah pemberitaan, pembicaraan dan wacana publik melulu soal corona. Policy-policy yang dikeluarkan oleh pemangku kebijakan ditubrukan dengan kearifan lokal. Tak hanya itu, juga dibenturkan ke ranah private spiritual dan sosial kultural masyarakat. Pro kontra terjadi. Masyarakat pun terbelah.

BACA : Omnibus Law RUU Cilaka Tak Layak, Untungkan Investor, Ancam Rusak Lingkungan

Mazhab-mazhab baru bermunculan saling membenarkan dan menyalahkan. Kehidupan sosial menjadi ricuh, sehingga publik dibuat abai, jika pemerintah sedang berkonspirasi atas sesuatu hal.

Tak dapat tidak dikatakan ada pihak yang menikmati kekisruhan publik itu. Buktinya pembahasan RUU Omnibuslaw Cilaka melenggang mulus dan tenang. Lembaga  eksekutif dan legislatif berkonspirasi menciptakan “Political Distancing” untuk memuluskan RUU yang isinya mereduksi amanah negara dalam melindungi warga negara.

Social distancing, phsycal distancing ditiupkan kuat hingga ke kolong hati para bijak bestari, agar diam tanpa perlu bereaksi apa-apa atas persekongkolan merampungkan RUU “pesanan” kapitalisme itu.

Konspirasi para elit begitu mulus menciptakan political distancing. Mereka meniadakan secara tidak langsung dinamika publik untuk terlibat dalam pembahasan RUU biang kerok citizen. 

Warga negara sebagai tuan dari sebuah negara semestinya tak boleh ditinggalkan dalam sistem bernegara. Pemerintah dan DPR sebagai manifestasi penggerak amanah dan tujuan cita-cita rakyatnya harus memberikan ruang bagi keterlibatan warga negara dalam sebuah perumusan yang menyangkut kemaslahatan bersama.

BACA JUGA : PSBB Palangka Raya Ditolak, Walikota Banjarmasin Tunggu Kajian Kemenkes

Inilah yang dimunculkan oleh Dimoch, Dahl dan Waldo dalam Theories of Democratic Citizenship, bahwa warga negara bukanlah sebagai entitas dan objek sistem hukum yang diatur dan dikendalikan oleh hak serta kewajiban legal. Dalam teori ini menempatkan warga negara sebagai aktor politik aktif yang turut serta dalam memengaruhi sistem politik. Tapi ditinggalkan.

Hubungan antara negara dan warga negara, pada kenyataanya haruslah didasarkan pada gagasan bahwa pemerintah ada dengan tujuan memastikan kepentingan rakyatnya.

Karena itu para elite tidak semestinya terjebak dalam kepentingan sempit kapitalisme, lalu mengabaika kepentingan kebanyakan warga negara. Apapun RUU nya haruslah merupakan hasil dialog bersama tentang nilai-nilai kebersamaan, bukan kepentingan pesanan konglomerasi dan kapitalis yang di sana juga berselip kepentingan pemangku kekuasaan.

Oleh karena itu, menciptakan political distancing di tengah deru frase serupa social distancing dan phsycal diatancing murni sebagai upaya mengelabui rakyat Indonesia yang saat ini tenggelam dalam hiruk pikuk kesengsaraan akibat dampak dari corona.

DPR sebagai pilar yang diharapkan dapat mengawasi  langkah khilap pemerintah pada periode ini kehilangan ruhnya. Mereka tidak terlihat sebagai menjalankan fungsinya dengan bijak dan adil, tapi menjelma sebagai cecunguk eksekutif.

Konspirasi ini sudah lama tercium. Pemisahan kekuasaan sebagai keseimbangan bernegara tak lagi berfungsi ditataran eksekusinya.  Apalagi di tengah koalisi besar dari kekuasaan. DPR hampir tak dapat diandalkan , selain menjadi tukang stempel semata.

BACA JUGA : Lawan Covid-19, Pakar Kesehatan ULM Saran Bangkitkan Optimisme Masyarakat

Tak sedikit ahli dan pakar bersuara. Memfokuskan pada penanganan Corona adalah pilihan mulia.  Setujui, misalnya permohonan Pemda Palangka Raya untuk mendapatkan status PSBB, selain melakukan realokasi anggaran. Dorong kemudian daerah-daerah lainnya untuk melakukan antisipasi sedini mungkin atas ancaman corona, tanpa harus menunggu berjatuhannya korban jiwa.

Berhenti mengelobari kekisruhan akibat Corona untuk kejar tayang atas RUU pesanan kapitalisme itu. Jangan jadikan kemurungan ini sebagai siasat kepentingan elit dan menapikan keterlibatan publik atau political distancing  dalam hal apapun yang menyangkut nasibnya rakyat. Berhentilah bersiasat ketika rakyat sedag sulit.(jejakrekam)

Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Administrasi Publik ULM

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.