Ruang Batin

0

Oleh : Humaidy Ibnu Sami

ADA ruang publik (public space), ruang sosial (social space), ruang domestik (domestic space) dan ruang batin (inner space).

KETIGA ruang yang disebut pertama sudah banyak dibicarakan dan diperbincangkan bahkan sudah menjadi bidang dan disiplin ilmu tersendiri terutama terdapat pada ranah sosiologi dan ilmu sosial.

Sedangkan, yang disebut terakhir jarang sekali bahkan langka dibicarakan dan diperbincangkan ia sangat penting bagi kebaikan ruang yang lain yang sering mengalami fluktuasi (jatuh bangun).

Manakala ruang publik, ruang sosial, ruang domestik kita mengalami penyempitan seperti kasus virus Corona atau Covid-19 yang melanda negara kita ruang batin bisa menjadi pelarian sangat bermakna bahkan bisa menjadi senjata ampuh imunitas tubuh melawan makhluk Tuhan yang begitu sangat kecil.

BACA : Pengajian Agama Di Wabah Corona

Muncul pertanyaan apakah sebenarnya makna ruang batin itu? Ruang batin merupakan wilayah yang bersifat tersembunyi, gaib dan ruhani. Ia tidak tampak, tak terindra dan tak fisikal. Ia adalah bagian dalam, inti dan pusat dari sesuatu, bukan bagian luar, permukaan dan bentuk sesuatu.

Ia pastilah tidak bersifat kuantitif, tapi bersifat kualitatif; ia sesuatu bersifat tak material, melainkan bersifat metafisikal; dan ia sesuatu bersifat tak aksidental, tapi bersifat substansial.

Kalau diibaratkan buah anggur, misalnya, bukan bentuknya yang bulat, warnanya yang merah (hijau atau biru atau ungu dan lainnya), bukan sifatnya yang agak kenyal dan sebagainya,  melainkan merupakan rasa yang terkandung di dalamnya.

Kalau dimakan, sisi lahir anggur akan menghilang dan sirna, sementara sisi batinnya akan selalu mengendap dalam ingatan pemakannya. Demikian pula halnya dengan kopi, gula, air dan segala sesuatu yang ada di alam semesta.

Dalam khazanah tasawuf, ada dua sisi yakni lahir dan batin. Sisi lahir disejajarkan dengan dunia, kehidupan (duniawi), jasad, siang, syariat, baqa`, keragaman (katsrah), ketampakan (syahadah) dan sebagainya.

Pada pihak lain, sisi batin dihubungkan dengan “lawan-lawannya”, yakni akhirat, kematian (kehidupan ukhrawi), ruh, malam, tarikat, fana`, ketunggalan (wahdah), kegaiban (ghayb). Seperti dapat kita bayangkan, sisi lahir hanya berjumlah satu lapis, sedangkan sisi batin berlapis-lapis.

Jelasnya, tidak terdapat intensitas dan gradasi dan kedalaman pada sisi lahir, sementara sisi batin mempunyai sisi yang lebih batin secara tak terbatas. Ketakterbatasan ini disebabkan oleh sifat alam batin yang imaterial dan di luar lingkaran ruang dan waktu.

Alam batin tidak mengalami gerak jasmani yang membinasakan, melainkan mengalami gerak ruhani yang mengemuncak. Itulah mengapa, kendati aspek lahiriah sesuatu telah hilang lenyap ditelan bumi, aspek batinnya akan tetap abadi-kalau tidak malah terus tumbuh dan berkembang.

Ambillah contoh permohonan maaf yang kita lakukan setiap hari raya Idul Fitri. Sisi lahir tindakan tersebut ialah mengucapkan kata-kata apologetik sambil berpelukan, berjabat tangan atau lainnya-yang segera habis setelah dilakukan. Sebaliknya, sisi batin meminta maaf bisa berupa komitmen di dalam jiwa untuk tidak mengulang kesalahan kepada orang yang bersangkutan.

Atau, bila kita “merasa” tidak pernah berbuat salah, maka permohonan maaf kita ialah dengan meningkatkan kualitas hubungan. Lebih batinnya lagi boleh jadi ialah menyadari banyaknya kesalahan diri atau meneguhkan hakikat dan fitrah hamba yang penuh kelemahan dan demikian seterusnya-sesuai dengan kemampuan seseorang menyelami samudera makna batin yang terkandung dalam tindakan tersebut.

BACA JUGA : Suara Kaum Penyandang Disabilitas di Tengah Wabah Corona

Contoh lain ialah menggunjing. Pada sisi lahirnya, menggunjing ialah berkata-kata buruk tentang seorang tanpa sepengetahuannya. Tetapi, sisi batinnya ialah memakan daging bangkai saudara sendiri.

Dalam sebuah hadits, sisi batin menggunjing disebutkan sebagai makanan anjing-anjing neraka. Shalat lahiriah ialah mengangkat tangan untuk takbir, membungkuk untuk ruku, meratakan muka dengan tanah untuk sujud dan sebagainya.

Tetapi, sisi batinnya ialah upaya menyembah, mengingat dan mendekat kepada Allah. Dalam hadis yang sangat masyhur, Rasul menggambarkan shalat sebagai mikraj orang beriman. Semua kegiatan ibadah yang ditetapkan syariat sesungguhnya memiliki sisi batin.

Ibn Arabi mengatakan, “Ketahuilah bahwa Allah berfirman kepada manusia dengan keseluruhannya, dan tidaklah Dia melebih-lebihkan sisi lahir ucapan-Nya atas sisi batinnya atau sebaliknya. Kebanyakan orang yang menyeru kepada agama hanya memperhatikan sisi la­hiriah pengetahuan hukum-hukum syariat, tapi lalai terhadap sisi batin hukum-hukum tersebut, kecuali segolongan kecil dari mereka yang berada di jalan Allah, yakni mereka yang menilik lahir-batin semua hukum. Tidak ada hukum lahiriah yang mereka tetapkan dalam syariat kecuali mereka temukan hubungannya dengan sisi batin manusia. Dengan demikian, mereka menangkap keseluruhan hukum agama yang disyariatkan. Mereka beribadah kepada Allah dengan melaksanakan apa yang telah disyariatkan Allah bagi mereka secara lahir dan batin, sehingga mereka berjaya dan beruntung di saat kebanyakan orang gagal dan merugi.”

Soalnya kemudian ialah bagaimana cara manusia yang hidup di alam lahir berhubungan dengan alam batin. Menurut Ibn Arabi, untuk masuk ke wilayah batin, seseorang harus “menyeberang dan melintas”.

Dalam bahasa Arab menyeberang disebut ‘a-b-r. Berbagai derivat kata itu berkali-kali digunakan Al-Quran untuk konteks yang beraneka ragam. Dalam surah Yusuf (12) ayat 43, Alquran menggunakannya dalam konteks kemampuan takwil mimpi. Dan mimpi adalah peristiwa yang berlangsung di alam batin.

Dalam surah Al-Hasyr (59) ayat 2, Alquran menggunakannya dalam konteks mengambil pelajaran dari kengerian yang menimpa orang-orang kafir. Seperti terungkap dalam ayat itu, mengambil pelajaran itu merupakan kegiatan batin yang hanya bisa dilakukan oleh ulî al-abshâr (orang-orang yang bermata-budi).

BACA JUGA : Kutukan Gipsi

Pada surah Yusuf (12) ayat 111, Alquran kembali menegaskan bahwa ulî al-abshâr sanggup mengambil pelajaran batin (yang dalam ayat ini diacu dengan kata ‘ibrah) dari kisah-kisah para rasul. Maksudnya, di samping memiliki aspek historis yang sudah lampau dan lenyap, kisah-kisah itu juga memiliki aspek batin yang abadi—aspek yang secara apik disebut oleh Henry Corbin sebagai “meta-historis”.

Demikian pula dalam surah An-Nur (24) ayat 44, Alquran menyatakan bahwa pembalikan siang dan malam bisa ditembus dan ditilik secara batin oleh mereka yang bermata-batin tajam.

Wilayah ruang batin di dalam dunia tasawuf dan tarekat dapat dikatakan berlapis-lapis dan tak terbatas oleh ruang dan waktu serta mempunyai nama bermacam-macam dan bertingkat-tingkat. Ada yang disebut kalb, fuad, lathifah, lathaif, sir, ruh dan sebagainya.

Begitulah ruang batin manusia yang di zaman materialistik ini, kurang mendapat perhatian termasuk banyak yang lalai memberikan asupan ruhani untuk menjaga kekuatannya. Wallahu A’lam bis Shawab.(jejakrekam)

Penulis adalah Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Antasari Banjarmasin

Peneliti Senior LK3 Banjarmasin

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.