Alarm Alam dan Pelajaran dari Covid-19

0

Oleh : IBG Dharma Putra

SUDAH banyak pengetahuan yang bisa dibaca menyangkut Covid-19 atau lebih dikenal dengan virus Corona. Tentu, kecerdasan manusia akan memilahnya menjadi dua bagian penting, yaitu ilmu yang bermanfaat dan atau pengetahuan yang tidak lebih dari sekedar bacaan yang belum diyakini kebenarannya.

AKAN tersimpulkan pula bahwa ilmu pengetahuan memang tidak selalu berasal dari sumber terpercaya. Ilmu pengetahuan terkadang didapat dari sumber yang tidak terduga.

Tetapi akan tersimpulkan juga bahwa ilmu pengetahuan akan jauh lebih mudah untuk didapat melalui sumber resmi dan atau dari orang atau kelompok orang dengan kompetensi keilmuan tersebut.

Dengan kecerdasan serta ilmu yang telah dimiliki, maka manusia yang secara hakiki mempunyai rasa takut, akan dapat mengubah rasa takutnya tersebut menjadi kewaspadaan. Kewaspadaan pada hakekatnya adalah ketakutan yang sangat cerdas. Jika diikuti lebih lanjut sampai ke posisinya yang tertinggi, maka akan didapatkan bahwa puncak dari kewaspadaan  tersebut adalah keberanian.

BACA : Ini Saran Pakar Ilmu Kesehatan Masyarakat ULM-UPR untuk Rencana PSBB Banjarmasin

Karena tanpa kewaspadaan, yang akan ditemukan di akhirnya adalah kenekatan yang sembrono. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa puncak dari ketakutan adalah keberanian dan tanpa adanya ketakutan, maka manusia bisa tersesat jalan menuju kenekatan sembrono dan kehancurannya.

Di lain sisi, manusia harus tersadarkan bahwa takut harus dikelola dengan ilmu karena pada prinsipnya tak boleh ada takut selain pada Tuhan, sang pencipta segala ilmu.

Pilahan ilmu pengetahuan tentang Covid-19 ini, telah memberi penyadaran bagi setiap makhluk, khususnya manusia bahwa bencana akan selalu datang dengan didahului oleh alarm kemanusiaan. Bencana datang selalu dengan peringatan dini. Alam selalu memberi peringatan sebelum mulai bereaksi keras kepada kehidupan.

BACA JUGA : Triangle Epidemiologi Dalam Memutus Rantai Penularan Covid-19

Sebuah peringatan dari serangan monyet monyet ke beberapa desa di Pulau Kalimantan,  serangan ular kobra ke perumahan di kota- kota di Pulau Jawa, fenomena gajah dan harimau yang mengamuk di pemukiman di Pulau Sumatera, buaya dan ular sawa yang memangsa manusia di berbagai daerah, adalah alarm kemanusiaan tersebut.

Sebuah alarm, tentang kerakusan sehingga berakibat kehancuran habitat makhluk lain dan makhluk lain terpaksa ke luar habitatnya untuk bertahan hidup, bersinggungan dengan pemukiman manusia dan terasa sebagai pengganggu dalam lingkungan pemukiman manusia tersebut.

Walaupun sudah mendapatkan alarm, ternyata kerakusan manusia terus berlanjut tanpa henti. Manusia tidak sadar diri dan tidak saling mengingatkan diantara sesamanya , sehingga pada akhirnya kehancuran habitat begitu meluas dan virus pun ikut hancur habitatnya.

BACA JUGA : Pengajian Agama Di Wabah Corona

Dan kehancuran habitat virus tersebut, berakibat pencarian habitat baru yang tidak nyaman bagi virus, sangat menyiksanya dan memaksanya untuk beradaptasi menyesuaikan diri. Akhirnya virus bermutasi untuk menyesuaikan diri dengan habitat barunyaitu, sebuah habitat yang kebetulan bersinggungan dengan habitat manusia, bahkan akhirnya, menimbulkan masalah bagi kehidupan manusia.

Kerakusan bisa terjadi secara sadar untuk mengejar kenikmatan dan bisa terjadi secara tidak sadar karena bersifat instingtif pada kehidupan manusia itu sendiri. Kerakusan yang disadari tentunya akan mudah diperbaiki sehingga  segera dapat dihentikan dan kehidupan dunia dapat terselamatkan.

Namun kerakusan akan sulit dihentikan kalau besifat instingtif dan memang dimiliki manusia untuk melindungi kehidupan dirinya sendiri serta untuk melindungi keberlanjutan kehidupan bagi anak cucunya. Kerakusan nepotis yang bersembunyi pada jargon populis yang bernama kasih sayang.

Kasih sayang adalah nilai nilai luhur yang ada pada manusia. Nilai luhur yang berakibat pada keinginan untuk berbiak dan mempertahankan kehidupan, namun kasih sayang bukanlah nilai kehidupan sempurna sehingga sejak awal sudah diingatkan oleh sang maha pencipta untuk segera disempurnakan.

Kasih sayang yang dilaksanakan tanpa batas itu akan menabrak dan membahayakan bio diversitas, menghancurkan keanekaragaman hayati. Hal tersebut bisa terjadi karena kasih sayang itu, selalu berpihak pada diri sendiri, keluarga dan orang orang terdekat.

BACA JUGA : Mempersiapkan Tes Cepat Dalam Penemuan Kasus

Karenanyalah, maka kasih sayang seharusnya disempurnakan dengan keadilan. Sebuah kasih yang adil, yang tidak berpihak, yang berkriteria jelas dan tidak menabrak  kaidah toleransi dan keaneka ragaman hayati. Sebuah kasih yang memandang perbedaan sebagai sebuah rahmat dunia.

Kasih sayang tidak akan berujung pada kerakusan, egoisme, mementingkan diri sendiri, intoleransi, yang pada akhirnya berujung pada kehancuran kehidupan, jika disempurnakan dengan keadilan dan sebaliknya keadilan harus dilandasi dengan niat menebarkan kasih sayang. Kasih sayang dan keadilan tak bisa dipisahkan karena keduanya harus tampil utuh menyeluruh bersama sama, ibarat dua sisi mata uang yang saling melengkapi.

Harmonisasi keduanya merupakan ibu dari segala ayat ayat kitab suci yang dipesankan langsung oleh Tuhan. Harmonisasi dari kasih sayang dan keadilan itulah ajaran agama yang paling mendasar, paling fundamental. Dan Covid-19 menyampaikan pesan untuk beragama secara fundamental, sebuah cara beragama yang tekstual sekaligus kontekstual. Cara beragama yang bukan sekedar beragama tapi beragama sekaligus bertuhan.

Covid-19 memberi kesadaran bahwa agama tidak boleh kehilangan Tuhan dan pelaksanaan ibadah keagamaan adalah pelaksanaan ajaran ketuhanan dengan cara yang paling hakiki. Sebuah harmonisasi kasih sayang dan keadilan.

Covid-19 juga memberi pesan penting agar manusia, selalu ingat pada Tuhan pencipta segala ilmu, untuk mengubah rasa takut selain kepada-Nya, menjadi kewaspadaan dan memberi pesan untuk melaksanakan ajaran ketuhanan melalui penerapan ibadah keagamaan secara fundamental.

Covid 19 meminta agar  stay at home, dan menjadikan peristiwa pengendalian penyakitnya sebagai momentum untuk kembali kepada Tuhan dan melaksanakan ajaran agama secara fundamental. Mari berkontemplasi.(jejakrekam)

Penulis adalah Direktur RSJD Sambang Lihum

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.