Setahun Polemik Karantina Flu Spanyol Picu Gubernur Jenderal Hindia Belanda Turun Tangan (2-Habis)

0

Oleh : Mansyur ‘Sammy’

PEMBATASAN sosial berskala besar yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Nomor 9 Tahun 2020, sebagai pedoman bagi daerah kini menuai perdebatan. Terlebih lagi ketika Kota Banjarmasin bakal meniru langkah DKI Jakarta.

WALAUPUN harus melalui jalan terjal, karena penerapan harus berdasar permohonan gubernur, bupati atau walikota serta ketua pelaksana gugus tugas Covid-19 ke Menteri Kesehatan harus menanti sebuah jawaban. Disetujui atau tidak.

Berkaca dari pantulan di cermin sejarah masa lalu, kebijakan tentang karantina wabah flu Spanyol di Banjarmasin maupun di Hindia Belanda umumnya, juga menuai kontroversi dan polemik yang sama. Ketika kebijakan karantina mulai dicetuskan Kepala Dinas Kesehatan Rakyat Hindia Belanda, Dr. de Vogel, justru tantangan bermunculan.

Di antaranya protes keras dari direksi Koninklijk Paketvaart Maatschappij (KPM). Perusahaan yang mendominasi jalur jalur perkapalan di Hindia Belanda sejak akhir abad ke-19 itu merasa keberatan terhadap usul dari yang dianggapnya membatasi kinerja dan usaha mereka.

BACA : Usulan Karantina Ketat, Kolonial Belanda Terapkan Surat Izin Influenza Dan Hukuman Pidana (1)

Apabila peraturan itu disahkan dan diterapkan, risikonya adalah munculnya kerugian besar pada perusahaan perkapalan ini.

Belum lagi muncul tanggapan bernada protes dari Direktur Kehakiman Hindia Belanda, D. Rutgers. Rutgers berpendapat akan dianggap berlebihan apabila hanya karena alasan penyakit influenza, hak berkumpul dan berserikat (recht van Vereeniging en vergadering) dibatasi atau bahkan dilarang tanpa alasan politik yang kuat.

Hal ini pasti akan menimbulkan keresahan masyarakat, termasuk juga di lingkungan pendidikan. Kondisi saat ini seolah-olah merupakan refleksi yang terjadi di masa lalu. Seratus tahun lampau.

BACA JUGA : Berawal dari Hong Kong, Kasus Flu Spanyol Seabad Lalu, 1.424 Warga Banjarmasin Menjadi Korban (1)

Philip Guedalla (1889-1944) sejarawan dan esais, pop kultur asal Inggris, mengatakan l’histoire se répète, yang berarti sejarah akan berulang. Sama dengan ungkapan sejarawan kelahiran Maida Vale, London “sejarah berulang dengan sendirinya. Sejarah saling mengulang satu sama lain.”

Hal ini menginspirasi Keny Arkana, seorang rapper Perancis keturunan Argentina menggubah lagu bertitel l’histoire se répète.

Priyanto Wibowo dkk (2009), dalam buku “Yang Terlupakan Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda”, menjelaskan bahwa menanggapi polemik tentang karantina, Kepala Dinas Kesehatan Rakyat Hindia Belanda, Dr. de Vogel, dalam suratnya kepada Pimpinan KPM tanggal 18 Juni 1919 menegaskan bahwa aturan kedisiplinan wajib diterapkan di atas kapal, sehingga nakhoda wajib menghukum pelanggar aturan yang ada.

Sementara itu, jika nakhoda tidak menghukumnya, berarti nakhoda sendiri yang melakukan pelanggaran terhadap aturan yang berlaku padanya dengan sebutan melalaikan tugasnya.

BACA JUGA : Tablet Campuran Aspirin, Hentikan Pandemi Flu Spanyol di Banjarmasin (2-Habis)

Tentu saja pandangan de Vogel ini segera memantik reaksi keras dari direksi KPM. Mereka keberatan apabila nakhoda dimintai bertanggungjawab dengan risiko tuntutan hukum apabila terdapat penumpang atau awak kapal yang turun dari kapal tanpa seizinnnya.

Direksi KPM berpendapat tidak mungkin nakhoda selalu mengawasi semua penumpang dan awaknya jika ingin turun dari kapal. Sebaliknya, pihak KPM justru mengusulkan bahwa tanggungjawab dalam peraturan karantina seharusnya diberikan oleh kepala pelabuhan, yang memiliki kekuasaan untuk mencegah penumpang dan awak kapal baik. Terutama untuk turun dari kapal ataupun keluar dari kompleks dermaga pelabuhan.

Persoalan karantina menjadi semakin rumit ketika sejumlah keberatan lain juga dilayangkan direksi KPM. Hal ini kemudian dijadikan sebagai juru bicara mewakili kalangan perkapalan. Keberatan kedua yang diajukan masih sekitar masalah larangan turun bagi kapal yang tidak dilengkapi surat izin bebas influenza.

BACA JUGA : Ketika Wabah Cacar Mengubah Sejarah Perang Barito-Banjar

Rencananya, peraturan itu juga berlaku bagi tenaga kuli kapal, yang bertugas melakukan bongkar­muat bagi angkutan kapal. Priyanto Wibowo dkk (2009), juga menuliskan bahwa ketika kapal itu merapat di dermaga, para kuli harus menurunkan muatan kapal dan mengangkut barang­barang yang ada di dermaga. Sementara itu, kuli pelabuhan menerima barang­barang yang diangkut oleh kapal.

Apabila larangan tersebut berlaku, kuli kapal tidak dapat melakukan tugasnya. Artinya, kinerja kapal terganggu dan akan berpengaruh kepada kegiatan ekspor­impor. Demikian tertulis dalam surat Direktur KPM Wesselink kepada Kepala Dinas Kesehatan Rakyat, tertanggal 3 Juli 1919.

Akan tetapi, dalam hal usulan peraturan karantina, de Vogel tetap bersikukuh mempertahankan pendapatnya. Bahkan de Vogel mengusulkan tindakan lanjutan. Selain menyoroti kapal­kapal yang datang, de Vogel juga mengusulkan dalam rancangan itu untuk melarang adanya berkumpulnya sejumlah orang, jika diketahui di antara mereka terdapat penderita influenza. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah penularan penyakit itu.

Usul de Vogel ini langsung memancing reaksi dari Direktur Kehakiman D. Rutgers. Sebaliknya, Rutgers berpendapat akan dianggap berlebihan apabila hanya karena alasan penyakit influenza, hak berkumpul dan berserikat (recht van Vereeniging en vergadering) dibatasi atau bahkan dilarang tanpa alasan politik yang kuat.

BACA JUGA : Riwayat Pelabuhan Martapura Lama Era Belanda dan Jepang

Hal ini pasti akan menimbulkan keresahan masyarakat, termasuk juga di lingkungan pendidikan. Reaksi­reaksi yang timbul membuktikan bahwa tindakan de Vogel dan tim khusus yang ditunjuk pemerintah pusat di Belanda tidak mengantongi dukungan dan tanggapan positif dari banyak kepala dinas dan para pejabat kolonial lainnya.

Persoalan tentang pengaturan kapal dan pelabuhan berikut awak dan personilnya terus terkatung­katung. Bahkan berlangsung selama lebih dari satu tahun tanpa penyelesaian di tahun 1919.

Situasi tersebut mendorong Panglima Angkatan Laut, Laksamana W.J.G. Umbgrove, yang sekaligus membawahi Departemen Kelautan untuk memberikan tanggapannya. Dalam menyikapi friksi antara de Vogel dan KPM serta kalangan perkapalan, Umbgrove mencoba mengambil jalan tengah. Setelah mempelajari sepenuhnya, panglima mengakui bahwa alasan dari kedua pihak cukup kuat.

Atas dasar itu, menurut Priyanto Wibowo dkk (2009), akhirnya Umbgrove mengusulkan agar bukan hanya nakhoda, tetapi juga kepala pelabuhan ikut diminta bertanggungjawab mencegah penyebaran penyakit influenza, khususnya di pelabuhan­pelabuhan yang menjadi jalan masuk ke wilayah pedalaman.

Bahkan Umbgrove mengatakan siap membantu menempatkan personilnya di sejumlah pelabuhan jika diperlukan. Rutgers juga mengusulkan diberlakukannya pernyataan kondisi terjangkit influenza bagi suatu pelabuhan.

BACA JUGA : Banjarmasin, Kota Sungai Dihantui Bayang Krisis Air Bersih ‘Abadi’

Kondisi itu akan membantu menghindarkan nahkoda dari tuntutan hukum, jika ternyata diketahui bahwa awaknya terjangkit influenza dan turun ke dermaga. Apabila hal itu terjadi, maka akan menjadi tanggungjawab individu awak itu sendiri.

Perseteruan mencapai klimaksnya. Hingga akhirnya langsung ditangani Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia. Semua usul tersebut kemudian diakomodir oleh Gubernur Jenderal Dirk Fock. Ia selanjutnya memutuskan untuk menyesuaikan dan merevisi rancangan peraturan influenza hasil rumusan tim de Vogel.

Ada benang merah yang bisa ditarik dan dipelajari dari peristiwa masa lalu untuk kondisi masa kini. Jangan sampai polemik aturan PSBB berlangsung lama dan berlarut larut, mengulang peristiwa masa Hindia Belanda, seabad yang lalu.

Kemudian, pilihan PSSB yang mungkin nanti akan bermuara ke lockdown untuk mengatasi pandemi Covid-19 bagi pemerintah saat ini, memang dilematis. Sebab, masyarakat memerlukan kemampuan hidup, terutama sektor ekonomi.

BACA JUGA : Cina Banjar dan Sepenggal Kisah dari Rumah Lanting

Dengan durasi waktu yang ditentukan, masyarakat golongan bawah akan tercekik. Ditambah lagi, lockdown pun akan terganjal kapasitas organisasi secara kedaerahan maupun nasional yang memang tak punya kemampuan mengunci wilayah.

Apalagi pemerintah daerah misalnya tak memiliki batas-batas fisik yang bisa diandalkan untuk PSBB maupun lockdown. Jangan sampai potensi chaos akibat lockdown yang minim, akan membesar terutama bila ada provokasi. Semoga pemerintah bisa memberikan pertimbangan yang memang berimbang dan membawa kemaslahatan bagi masyarakat. Penularan penyakit Covid-19 bisa dicegah. Di sisi lain, jangan sampai menambah beban bagi masyarakat.(jejakrekam)

Penulis adalah Penasihat Komunitas Historia Indonesia Chapter Kalsel

Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya (SKS2B) Kalimantan

Dosen Prodi Pendidikan Sejarah FKIP ULM Banjarmasin

Editor DidI G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.