Kerusakan Generasi Bukan Karena Pernikahan Dini

0

Oleh : Normaliana, S.Pd

KINI sekitar 35 persen penduduk Indonesia didominasi oleh para generasi milineal.  Dan Sebanyak 1,2 juta anak di Indonesia telah menikah dini, ini merupakan tantangan dalam menghadapi bonus demografi yang diprediksi pada tahun 2030 yang akan datang.

PERNIKAHAN dini dianggap menjadi salah satu masalah terjadinya ledakan penduduk dan bahkan juga dianggap penyebab rusaknya generasi.

Berdasarkan data UNICEF, Indonesia menempati urutan ketujuh di dunia dan kedua tertinggi di Asia Tenggara dalam kasus perkawinan anak. Itulah mengapa pemerintah merasa perlu untuk mengupayakan berbagai cara agar bisa mengeliminir kasus yang sudah menjadi isu internasional tersebut.

Di antaranya dengan terus melakukan propaganda massif melawan praktik pernikahan dini atau perkawinan anak ke tengah masyarakat, sebagaimana yang telah dilakukan BKKBN, Praktek pernikahan dini atau perkawinan anak yang disebut masih di bawah umur kini memang dianggap sebagai masalah.

BACA : Cegah Pernikahan Dini, BKKBN Dirikan Sekolah Siaga Kependudukan

Karena acapkali muncul berbagai perdebatan tentang pernikahan dini atau perkawinan anak, adalah alasan panjangnya usia produktif anak untuk melahirkan. Makin rendah usia pernikahan, maka makin besar pula peluang melahirkan. Dan ini tentu bertentangan dengan target pemerintah dan program-program internasional terkait masalah kependudukan.

Dalam hal ini, BKKBN mencoba untuk membentuk para mahasiswa yang merupakan bagian dari remaja agar siap dalam merencanakan kehidupan berkeluarga. Lewat rebranding dan sosialisasi langsung kepada para mahasiswa,  BKKBN optimis dapat menekan angka stunting dan pernikahan dini khususnya di KalSel. Melalui kuliah umum yang disampaikan Inspektur Utama BKKBN, Agus Sukisno, Menyasar mahasiswa sebagai remaja yang akan memasuki usia produktif untuk menikah, di antaranya dengan promosi Genre (Gerasi Berencana), Senin (16/3/20).

“Kita menyasar generasi milineal, Kita berikan pemahaman terkait kesehatan repruduksi, fungsi keluarga dan KB termasuk pernikahan dini agar tidak terjadi lagi,” ujar Inspektur Utama BKKBN, Agus Sukiswo”.

BACA JUGA : Bahas Stunting, Gubernur Himbau Hindari Pernikahan Dini

Sementara, Plt Kepala BKKBN Kalsel H Ramlan mengakui di Kalsel menikah di usia muda masih tinggi jadi penting untuk kesiapanya dalam menikah nanti. Para mahasiswa sebagai pemegang tongkat estafet untuk menggantikan generasi pendahulunya harus benar-benar menyiapkan diri sebelum memasuki pernikahan, “Kuliah dulu, kemudian baru memikirkan untuk berumah tangga, “ujarnya.

Dikatakan juga, usia yang ideal atau matang memasuki jenjang pernikahan adalah 21 tahun untuk wanita dan 25 tahun untuk pria. “Dengan usia yang matang memasuki pernikahan diharapkan akan menghasilkan generasi lebih berkualitas dimasa yang akan datang”.

Pernikahan Dini, Pengrusak Generasi?

Memang tak bisa dipungkiri, bahwa hak anak merupakan hal yang wajib dijaga, karena anak merupakan aset strategis penerus bangsa yang kelak akan menentukan masa depan umat secara keseluruhan. Bahkan kewajiban ini bukan hanya dibebankan kepada pihak pemerintah saja, tetapi menjadi kewajiban bagi semua pihak, baik keluarga (orangtua), lembaga pendidikan, maupun masyarakat secara umum.

Namun ironisnya, propaganda massif pencegahan pernikahan dini anak atas nama perlindungan anak yang selalu dikumandangkan terkadang tidak sesuai dengan pensikapan terhadap realitas maraknya kerusakan moral generasi. Padahal persoalan kasus ini jauh lebih banyak dan dampaknya justru lebih berbahaya dibandingkan dengan jumlah kasus dan dampak pernikahan dini.

Kasus seks bebas di kalangan remaja, bahkan anak-anak di Indonesia sudah sedemikian merebak hingga taraf mengenaskan karena ada yang sudah menjurus pada pemerkosaan oleh anak-anak, bahkan juga dengan dampak turunannya, seperti kehamilan di luar nikah yang berujung dengan pernikahan dini, serta kelahiran yang tak diinginkan yang harus diakhiri  dengan aborsi atau penelantaran anak, hingga prostitusi anak dan penyakit seksual menular yang kasusnya terus meningkat dari hari ke hari.

BACA JUGA : Pernikahan Dini Marak Picu Tingginya Angka Perceraian di Kalsel

Minimnya perhatian dan keseriusan pemerintah untuk mengatasi kerusakan moral generasi juga bisa dilihat dari kebijakan-kebijakan yang kurang berorientasi pada penyelamatan generasi. Longgarnya aturan pemerintah menyangkut informasi dan media massa. Media televisi dan internet kini justru menjadi jalan mulus bagi proses introduksi produk-produk pornografi dan pornoaksi yang mengganggu syahwat dan merusak alam pikir serta perilaku anak-anak.

Sementara di pihak lain sistem pendidikan dan pergaulan makin dijauhkan dari aturan-aturan agama, sehingga membuat mereka tumbuh sebagai generasi amburadul dengan orientasi seksual yang berkembang lebih cepat dibanding daya nalar dan kecerdasan spiritualnya.

Sistem hukum yang diterapkan pun sama sekali tak berorientasi pencegahan apalagi berdampak penjeraan bagi para pelaku kejahatan. Kondisi ini kemudian diperparah dengan penerapan kebijakan ekonomi yang terus merenggut hak pengasuhan dan pendidikan anak oleh ibu atau para orangtuanya.

Sistem ekonomi neoliberal kapitalistik yang diterapkan penguasa saat ini telah memproduksi kemiskinan dan gap sosial sehingga memaksa para ibu ikut bergelut dalam aktivitas ekonomi untuk membantu penafkahan keluarga. Kondisi ini tentu berakibat pada konsekuensi berkurangnya waktu interaksi dan pendampingan mereka terhadap tumbuh kembang anak dalam segala hal, termasuk aspek spiritualitas.

Itulah mengapa potret generasi bangsa hari ini nampak sangat menyedihkan. Hanya sedikit yang terselamatkan dari berbagai fitnah zaman, karena berbagai problem kerusakan moral generasi terus bermunculan hilang silih berganti.

Rezim penguasa sekuler kapitalis seakan tak peduli dengan wajah suram umat ke depan. Kalaupun ada sedikit perhatian, maka solusi yang ditawarkan masih bersifat pragmatis hanya makin mengukuhkan kerusakan dan tetap membuat beban berat kian tertumpu pada para orangtua yang sudah kewalahan dengan berbagai permasalahan hidup yang dihadapinya.

Inilah yang terjadi pada proyek mainstreaming kesehatan reproduksi remaja dan ide keadilan dan kesetaraan jender yang berparadigma sekuler, yang mengenyampingkan kemampuan agama sebagai aturan Allah yang lebih jitu untuk menyelesaikan seluruh masalah kehidupan tanpa harus memuncukan masalah baru. Karena dalam Islam, terdapat banyak sekali aturan yang jika diterapkan akan memberi pelindungan dan pemenuhan hak secara maksimal pada generasi. Mulai hak hidup, hak beroleh pengasuhan dan pendidikan terbaik, hak nafkah, hak keamanan dll.

Aturan-aturan tersebut tentu melekat erat pada aturan-aturan yang menyangkut keluarga sebagai pilar pertama dan utama penjagaan generasi, adanya  aturan muamalah di tengah masyarakat yang terwujud dalam sistem sosial/pergaulan, sistem ekonomi, sistem persanksian, serta sistem kontrol (amar ma’ruf nahi munkar), serta aturan-aturan yang melekat pada negara yang secara syar’i berkewajiban menegakkan semua aturan tersebut dengan kekuatan politis yang dimilikinya.

BACA JUGA : Heboh, Sejoli asal Desa Binjai Punggal Langsungkan Pernikahan Dini

Penguasa atau negaralah yang menjadi pilar ketiga penegakan hukum di tengah umat secara tegas dan konsisten. Dengan tegaknya 3 pilar itulah dipastikan akan menjadi jaminan bagi lahirnya generasi rabbani.

Hal ini bisa dibuktikan dalam sejarah peradaban Islam dimana sepanjang belasan abad, umat Islam telah menjadi umat terbaik, menjadi pionir peradaban dunia dengan lahirnya generasi cemerlang yang berkualitas unggul.

Islam dan Pernikahan Dini

Dalam Islam, tidak ada dalil yang menunjukkan tentang ketentuan atau batasan  usia pernikahan baik bagi laki-laki maupun perempuan. Saat menikahi Aisyah, Usia Rasulullah Saw genap lima puluh empat tahun , sementara Aisyah baru berusia sembilan tahun. Pernikahan Rasulullah Saw dengan Aisyah ini atas perintah Allah, di mana Allah memperlihatkan wajah Aisyah kepada Rasulullah Saw dalam mimpinya. Aisyahlah satu-satunya isteri beliau yang perawan. Begitu juga dengan Ummu Kultsum, putri Ali. Dia masih sangat kecil, sedangkan Umar telah menginjak usianya yang ke-enampuluh.

Segala perbuatan Rasulullah Saw termasuk perkataan dan diamnya beliau adalah hukum syariat bagi kaum Muslimin. Sehubungan dengan perihal usia pernikahan ini, apa yang dilakukan Rasulullah Saw juga para sahabat Nabi tentu memberikan banyak pelajaran untuk kita bahwa hal itu bukan untuk mengeksploitasi anak-anak.

BACA JUGA : Tumbuhkan Kesadaran, Pemkab HSU Tekan Angka Pernikahan Dini

Kondisi anak-anak pada zaman dulu dan sekarang berbeda. Pada zaman dulu saat aturan islam diterapkan tentu tingkat kematangan psikologis anak-anaknya sudah jauh lebih siap dibandingkan anak-anak zaman sekarang.

Dalam naungan negara yang menerapkan Islam secara kafah, pendidikan (taklim) dan pembinaan (tasqif) akidah anak-anak betul-betul berjalan optimal. Kepribadian (syakhsiyah) mereka digembleng sehingga saat balig mereka telah siap menerima taklif hukum syariat, termasuk perihal pernikahan. Jadi, kesiapan untuk menikah pun telah ada sejak dini.

Tidak seperti sekarang. Tingkat kematangan organ reproduksi pada anak-anak pada zaman sekarang tidak diimbangi dengan kematangan cara berpikir. Tontonan dan gaya hidup bebas pada saat ini cenderung mendorong anak-anak dan remaja untuk gaul bebas dan pacaran, mengumbar syahwat dan bersenang-senang sesuai keinginan mereka sehingga organ reproduksi bisa jadi berkembang lebih cepat, tapi tidak  diimbangi dengan kematangan kepribadian (syakhsiyah) yang mencakup kematangan berpikir dan sikapnya.

Secara umum kita bisa lihat fenomenanya yang masih sangat jauh dari harapan, wajar saja akibat gaya hidup bebas saat ini membuat anak-anak yang usianya masih di bawah batas usia pernikahan kebelet untuk menikah namun kurang siap dari sisi mental, kematangan berpikir dan juga sisi ekonominya. Maka akhirnya akan terjadi banyak masalah setelah menikah karena mereka gagap tanggung jawab dalam berumah tangga.

Belum lagi fenomena seks bebas yang berujung pada kehamilan yang tidak diinginkan (KTD). Maka sangat wajar jika kemudian menikah di usia yang masih belia menjadi pilihan dan pelarian sekaligus sebagai solusi pragmatis dari permasalahan sosial ini. Padahal bisa jadi, ini justru menjadi awal dari permasalahan-permasalahan selanjutnya dalam biduk rumah tangga.

BACA JUGA : Memprihatinkan, Angka Pernikahan Dini di Kabupaten Banjar Masih Tinggi

Masalah sosial (KTD) ini menjadi salah satu pendulang maraknya anak-anak ABG yang menikah di usia muda. Jadi, masalah sebenarnya bukan soal berapa batas usia pernikahan yang harus disoroti, tapi tentang bagaimana menyiapkan generasi muda agar benar-benar siap menghadapi kehidupannya ketika dewasa dan saat sudah bekeluarga.

Menurut konsep Islam, nikah muda bukanlah masalah yang akan membuat resah, selama syarat dan rukun nikah dipenuhi dan tidak ada pelanggaran hukum agama maka pernikahan akan sah dan berkah. Menikah muda adalah sebuah pilihan asalkan harus benar-benar siap bertanggung jawab terhadap pilihan tersebut, bukan sekedar untuk main-main semata.

Risiko yang mungkin terjadi pada nikah muda seperti kematian ibu dan anak pada fase hamil-melahirkan bisa diminimalisir dengan menyiapkan diri (lahir-batin) termasuk dengan melakukan pendidikan seks secara intensif di tengah keluarga, bahkan sejak anak masih belum balig. Islam memberikan panduan lengkap tentang semuanya.

Dalam pandangan Islam, Seksualitas adalah anugerah Allah Subhanahu wa taala agar manusia dapat mengemban misi hidupnya tanpa mengalami kepunahan, dan pemenuhan terhadap seks hanya dipenuhi dengan jalan pernikahan.

Dalam menjalani bahtera rumah tangga suami istri adalah merupakan sahabat sejati yang siap berbagi dalam menjali romantika kehidupan berumah tangga. Terlebih lagi bagi sorang istri yang akan melaksanakan peran gandanya sebagai ummu wa rabbatul bait tentunya wajib mempunyai bekal agama yang cukup untuk menjalankan tugasnya sebagai menejer rumah tangga dan sekaligus pencetak  generasi hebat bermartabat.

Islam juga mengajarkan agar orangtua selalu menanamkan unsur keimanan dan memberikan informasi yang tepat sesuai perkembangan anak bagaimana tentang proses reproduksi dan kesehatan reproduksi yang benar. Sejak dini anak-anak harus dihindarkan dari tayangan atau informasi yang berbau pornografi dan pornoaksi. Membiasakan izin masuk kamar orang tua dengan memahamkan tentang konsep pendidikan dan pergaulan Islam secara kaffah.

BACA JUGA : Usia Calon Pengantin Minimal 19 tahun

Dengan demikian, yang menjadi ancaman rusaknya generasi bukanlah karena nikah muda tapi sistem liberal-sekular yang melahirkan pergaulan bebas. Maka yang harus kita lakukan adalah bagaimana agar sistem yang menaungi para remaja kita tidak lagi sistem liberal-sekular, namun sistem Islami yang membentuk pribadi yang kokoh imannya, kuat kepribadiannya dan tangguh menghadapi tantangan zaman yang semakin mengkhawatirkan.

Perubahan sistem harus dilakukan pada semua aspek kehidupan. Sebagai seorang muslim sudah seharusnya kita berbenah diri agar kembali pada hukum-hukum Islam yang maha sempurna, yang punya standar aturan jelas tentang benar salah, agar generasi masa depan bisa segera terselamatkan dari kerusakan dan kehancuran.Wallhu’alam.(jejakrekam)

Penulis Pengajar MtsN 2 HSU-Aktivis Muslimah

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2020/04/12/kerusakan-generasi-bukan-karena-pernikahan-dini/

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.