Usulan Karantina Ketat, Kolonial Belanda Terapkan Surat Izin Influenza dan Hukuman Pidana (1)

0

Oleh : Mansyur ‘Sammy’

DI TENGAH suasana masih merebaknya penyebaran virus Corona (Covid-19), muncul kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang diambil Presiden Joko Widodo. Via kebijakan ini, meningkatkan status dari sekadar imbauan social distancing (jarak aman sosial) dan physical distancing (jarak aman fisik), terutama di daerah zona merah Covid-19.

STATUS yang hanya berupa imbauan pun berubah menjadi tindakan nyata berupa pembatasan kegiatan tertentu penduduk.Dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit atau terkontaminasi sedemikian rupa demi mencegah penyebaran penyakit. Tidak hanya sampai di situ. Apabila kebijakan PSBB dianggap tidak efektif mengatasi laju penularan Covid-19, ada skenario berikutnya, penerapan karantina wilayah (lockdown).

Hanya saja, semua kebijakan ini terbilang dilematis. Pada satu sisi terbilang efektif dalam rangka menekan laju penyebaran penyakit. Pada sisi lain, jika itu dilakukanmaka muncul efek domino problema sosial dan ekonomi yang berpotensi semakin membesar.Tentunya pemerintah dituntut mempertimbangkan segala hal sehingga kebijakan yang diambil tidak seperti menyiram api dengan bensin.

Bagaimana persfektif sejarah memotret hal ini? Memang tidak dapat dipungkiri, karantina atau pembatasan pergerakan masyarakat memang terbukti efektif menangani wabah penyakit menular.

BACA : Tablet Campuran Aspirin, Hentikan Pandemi Flu Spanyol di Banjarmasin (2-Habis)

Dalam catatan sejarah era kolonial Belanda, beberapa kali karantina dilakukan guna mengatasi wabah cacar, malaria, flu Spanyol, kolera, hingga pes. Walaupun demikian, kebijakan ini awalnya menuai kontroversi hingga polemik yang mengarah konflik pihak yang bersinggungan dengan kebijakan.

Sebut saja satu di antaranya. Permasalahan karantina era kolonial Hindia Belanda di tengah mewabahnya virus flu Spanyol rentang waktu 1918-1919. Wabah yang biasanya oleh masyarakat lokal dinamakan “demam panas”, “Penjakit Aneh”, “Penjakit Rahasia”, dan “Pilek Spanje” ini.

BACA JUGA : Berawal dari Hong Kong, Kasus Flu Spanyol Seabad Lalu, 1.424 Warga Banjarmasin Menjadi Korban (1)

Setelah pes pada akhir 1918, Hindia Belanda diserang influenza. Hampir serupa dengan penanganan pes, orang-orang yang terjangkit influenza juga dikarantina. Kapal-kapal yang transit bahkan dilarang menurunkan penumpang atau melakukan kontak agar tak ada penyebaran penyakit dari laut ke daratan.

Hans Pols dalam tulisannya “Quarantine in the Dutch East Indies” dalam buku Quarantine: Global dan Local Histories (2016), wabah kolera di Hindia Belanda yang menewaskan ribuan orang pada 1817-1823 memaksa pemerintah kolonial menerapkan aturan.

Satu aturannya adalah penerapan karantina untuk orang-orang yang naik haji, buruh kontrak dari China, dan pribumi.Aturan khusus tentang perjalanan, transportasi, dan karantina dari golongan tersebut pun dirancang Pemerintah Hindia Belanda dan diterapkan selama dekade pertama abad ke-20.

BACA JUGA : Ketika Wabah Cacar Mengubah Sejarah Perang Barito-Banjar

Priyanto Wibowo dkk (2009), dalam buku “Yang Terlupakan Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda”, berpendapat senada. Setelah merebaknya wabah di Hindia Belanda, pemerintah berkuasa saat itu juga melakukan karantina.

Tak ayal, ketika kebijakan karantina mulai dicetuskan pemerintah, protes keras yang pertama datang dari direksi Koninklijk Paketvaart Maatschappij (KPM).

Perusahaan yang mendominasi jalur jalur perkapalan di Hindia Belanda sejak akhir abad XIX itu merasa keberatan terhadap usul dari Kepala Dinas Kesehatan Rakyat, Dr. de Vogel yang dianggapnya membatasi kinerja dan usaha mereka, sehingga apabila peraturan itu disahkan dan diterapkan, resikonya adalah munculnya kerugian besar pada perusahaan perkapalan ini.

Dalam hasil diskusi de Vogel dan timnya, menurut Priyanto Wibowo dkk (2009),mereka menarik kesimpulan bahwa salah satu penyebab utama menyebarnya wabah influenza adalah aktivitas transportasi perkapalan. Para penumpang kapal, terutama yang datang dari luar negeri, dianggap sebagai pembawa penyakit (carrier) dan sumber penularan utama bagi para penderita.

BACA JUGA : Riwayat Pelabuhan Martapura Lama Era Belanda dan Jepang

Kesimpulan itu berdasarkan hasil penelitian de Vogel yang menganalisa bahwa korban terbanyak terdapat di kota­kota di sepanjang pantai yang memiliki pelabuhan pelabuhan kecil (pelabuhan kelas empat).

Pelabuhan­pelabuhan kecil tersebut menjadi sangat rentan terhadap resiko penularan. Alasannya, di tempat­tempat tersebut tidak terdapat perangkat medis dan personil kesehatan yang memadai untuk melakukan pemeriksaan dan penanganan pasien influenza.

Dalam rangka merumuskan peraturan perundangan merespon wabah influenza, de Vogel merujuk kepada beberapa peraturan tentang penanggulangan wabah penyakit di Hindia Belanda yang telah ada sebelumnya dan yang telah diberlakukan.

Rujukan yang paling utama adalah Peraturan Karantina yang dikeluarkan pada tahun 1911 dan dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie nomor 277. Peraturan ini memberikan wewenang kepada pejabat pemerintah untuk melakukan karantina terhadap daerah tertentu yang dinyatakan terkena wabah penyakit.

BACA JUGA : Banjarmasin, Kota Sungai Dihantui Bayang Krisis Air Bersih ‘Abadi’

Dituliskan Priyanto Wibowo dkk (2009),tujuannya menghindari penularan dan penyebaran penyakit itu kepada orang lain dan ke daerah lain. Sebagai resiko dari penerapan peraturan ini, orang yang dicurigai berasal dari daerah terjangkit, dilarang meninggalkan tempat itu atau memasuki daerah yang dinyatakan masih sehat.

Bagi mereka yang melakukan pelanggaran, resikonya dikenakan hukuman pidana. Demikian termaktub dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie 1917 nomor 497.

Berdasarkan peraturan itu, tim kemudian merumuskan usulan sebagai berikut dalam rancangan peraturan itu bahwa pengalaman telah menunjukkan di pelabuhan­pelabuhan kecil, influenza terjadi setelah kunjungan sebuah kapal laut. Jadi sangat memungkinkan penyakit akan menular lewat kontak awak kapal dan penumpang dengan penduduk.

Jadi bagi dr. de Vogel bahwa pertama-tama kontak harus ditekan sampai sekecil mungkin.Selain itu sebuah kapal sebelum menyinggahi pelabuhan kelas 4 hendaknya dicurigaisedikit mungkin tertular.

Priyanto Wibowo dkk (2009) juga mengemukakantujuan pertama yang ingin dicapai pasal 7 dan 8 peraturan ini, bahwa tidak ada hubungan antara penumpang kapal dan penduduk darat kecuali daripada sebuah kapal yang sama sekali tidak tertular.

Jika perlu suatu pengawasan ketat dan kalau memungkinkan dikarantina. Persoalannya terletak pada aturan-aturan dalam pasal 5 dan 6 yakni aturan ketat di pelabuhan­pelabuhan kelas, tindak lanjutnya adalah pemberian sertifkat tidak terjangkit atau surat ijin influenza.

Tampak jelas, bahwa fokus dari peraturan itu bukan hanya pada pelabuhan tetapi juga pada kapal yang datang. Yang dimaksud dengan kapal dalam peraturan tersebut seluruh penumpang kapal beserta awak kapalnya.

BACA JUGA : Dari Militaire Weg ke Jalan Kalimantan hingga Jalan S Parman

Mereka yang berada di atas kapal sangat rentan terhadap penularan penyakit influenza mengingat mereka tidak hanya berasal dari luar negeri, yang diduga telah terjangkit, juga dianggap mudah terkena penularan melalui angin laut selama perjalanannya.

Kondisi kesehatan yang buruk di kapal dan terbatasnya fasilitas kesehatan di sana menambah kewaspadaan terhadap kapal­kapal yang tiba ini. Asumsi ini didasarkan pada catatan-catatan wabah flu yang pernah menyerang Hindia Belanda sebelumnya.

Sebagai tindak lanjut dari pertimbangan tersebut, menurutPriyanto Wibowo dkk (2009), Kepala Dinas Kesehatan Rakyat dr. de Vogel mengusulkan kepada Gubernur Jenderal agar mengeluarkan peraturan yang bersifat pidana untuk menghukum mereka yang melanggar peraturan karantina. Yang dimaksudadalah orang­orang dari kapal dilarang turun dari kapal karena dikhawatirkan menulari penduduk di pelabuhan dan menyebarkan penyakit di darat.

Mengingat kapal berada di bawah tanggungjawab nahkoda sepenuhnya sebelum melakukan bongkar­muat dan penurunan penumpang, nahkoda merupakan sosok yang harus bertanggung jawab melakukan pengawasan. Apabila ada pelanggaran yang dilakukan penumpangnya, nahkoda dapat dijatuhi hukuman pidana melalui proses hukum berlaku. (jejakrekam/bersambung)

Penulis adalah Penasihat Komunitas Historia Indonesia Chapter Kalsel

Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya (SKS2B) Kalimantan

Dosen Prodi Pendidikan Sejarah FKIP ULM Banjarmasi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.