Elegi Tanah Banjar; Bak Ayam Mati di Lumbung Padi

0

BAK ayam mati di lumbung padi. Ini gambaran dari catatan sejarah yang diungkap sejarawan FKIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Yusliani Noor mengomentari kondisi Kalimantan Selatan yang kaya raya, namun faktanya rakyatnya belum sejahtera.

PENULIS buku Islamisasi Banjarmasin (Abad XV-XIX) mengungkapkan sebenarnya masyarakat Banjar dan umumnya Kalimantan Selatan lebih suka berbicara daripada menulis.

“Namun, kita tidak boleh menyimpulkan bahwa masyarakat Banjar arkais, tidak memiliki huruf tulis. Bisa jadi mereka memliki huruf dalam bentuk gambar,” tutur sejarawan Islam ini dalam diskusi yang digelar Sirrkall di Restoran Lima Rasa, Banjarmasin, beberapa waktu lalu.

Ia pun menuturkan berbagai catatan sejarah baik dalam bentuk hikayat maupun manuskrip berbahasa Melayu-Banjar, membuktikan hal itu. Walau, huruf yang dipakai adalah huruf Arab Jawi atau huruf Pegon.

Dosen senior sejarah FKIP ULM ini menceritakan sebenarnya Kalsel menggeliat dalam roda pembangunan, terbukti ketika Riam Kanan di Kabupaten Banjar, dibendung menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Ir  P.M Noor Riam Kanan di era Presiden Soeharto pada 1973. Hingga, ada 9 desa seluas 9.730 hektare di Kecamatan Aranio, harus ditenggelamkan menjadi waduk.

BACA : Intan Sultan Adam, Rampasan Perang Banjar yang Kini Dikoleksi Museum Belanda

“Semua pendapatan masuk ke kas negara melalui PLN. Meski listrik sering padam, rakyat Banjar tetap saja membayar rekening listrik,” ucap Yusliani Noor.

Cerita itu tak terhenti begitu saja. Penulis aktif buku-buku bertema sejarah lokal ini pun menceritakan ketika hutan Kalsel dibabat untuk disulap menjadi plywood (kayu lapis), dengan hadirnya pabrik plywood berskala besar di era 1980-1990-an.

“Kayunya justru diekspor, begitu hutan habis ditebang ditanami karet dan sawit. Ada puluhan perusahaan dengan ratusan ribut hektare ramai-ramai menanami sawit di Kalsel,” kata Yusliani Noor.

BACA JUGA : Keraton Dibumihanguskan, Belanda Sita Regalia Kesultanan Banjar

Hingga era batubara pun berjaya. Perut bumi Borneo Selatan ini dikeruk untuk menghasilkan ‘emas hitam’ dan jutaan ton per bulan diangkut dengan kapal-kapal besar melalui Sungai Barito hingga menuju Laut Jawa ke Pulau Jawa atau negara-negara tujuan ekspor.

“Kemana hasilnya itu masuk? Berapa yang didapat Kalsel?” cecar Yusliani Noor.

Ia pun teringat di era kejayaan Kerajaan Negara Dipa dan berlanjut ke masa Kesultan Banjar yang juga tak kalah kaya raya. Menurut dia, dalam catatan sejarah, istana Negara Dipa yang ada di Amuntai, dapat dilihat dari jauh, karena pancaran cahaya dari puncak istana.

“Kabarnya, cungkup istana tersebut terbuat dari intan sebesar telur angsa. Serta, patung gangsa dan patung naga si Rintik dan si ribut dibuat oleh pengukir gangsa dari China. Mereka meletakkan rubi merah dan biru pada mata naga dengan sisik-sisik yang terbuat dari emas,” papar Yusliani Noor.

Kejayaan Negara Dipa yang diteruskan trah Sultan Suriansyah dengan Kerajaan Banjar juga membuat decak kagum para penjelajah dan diplomat Eropa. Menurut Yusliani Noor, diplomat VOC,  Johannes Andreas Paravicini memberi testimoni dalam jurnal perjalananya saat bertamu di Istana Sultan Banjar, Martapura.

“Dia menceritakan para pasukan pengawal Sultan Banjar memiliki tombak berlapis emas, keris berlapis emas dan lain-lain. Bahkan, kursi sultannya juga ikut berlapis emas,” beber Yusliani.

BACA JUGA : Jadi Bandar, Umur Pasar Terapung Muara Kuin Setua Kesultanan Banjar

Hal ini  tak lain karena kekayaan perut Kalimantan, khususnya Tanah Banjar. Bahkan, menurut Yusliani Noor, dalam sejarah Kesultanan Paser menyebutkan, upeti yang diberikan setiap tahun kepada Kesultanan Banjar berupa emas.

“Setiap tahun hampir satu ton, apalagi Kesultanan Banjar juga memiliki pengaruh dengan Kerajaan Kotawaringin di Kalimantan Tengah dan kesultanan yang lain,” katanya.

Yusliani menyebut mitos rakyat yang beredar di Martapura juga menyebutkan, istri dari Sultan Adam yang bernama Nyai Kumalasari memiliki puluhan bahkan ratusan guci berisi intan berlian.

“Tentu saja, hal ini ditopang sistem kepemilikan tanahnya, setiap bangsawan memiliki lahan potensial yang mengandung intan dan emas,” ucapnya.

“Saya teringat ketika KH Anang Djazouly Seman bercerita, harta Kesultanan Banjar dalam bentuk intan dapat dilihat di Museum Gajah Jakarta,” ujarnya.

BACA LAGI : Cerita Keris Abu Gagang dan Pangeran Hidayatullah di Tanah Pengasingan

Bahkan, beber Yusliani Noor, temannya yang merupakan geolog asal Jerman pernah mengatakan, intan-intan berwarna merah dan biru serta putih cemerang yang menghiasi mahkota Ratu Belanda itu asalnya dari Banjar.

“Lalu kemana intan-intan dan emas itu? Milik siapa sekarang?” tanya Yusliani.

Tak mengherankan, jika dalam hipotesis Yusliani Noor bahwa perlawanan yang dilakukan Ibnu Hadjar yang dicap pemberontak era Presiden Soekarno, adalah bagian dari memperjuangkan nasib rakyat dan bumi Kalimantan.

“Bahkan, perlawanan Ibnu Hadjar yang mampu bertahan dalam melawan ketidakadilan pemerintah pusat pada tahun 1950-1963,” tuturnya.

Kabar yang beredar,  Yusliani menyebut jika Ibnu Hadjar memiliki kerajaan dan menjadi raja itu sendiri yang bernama suku Bukit.

“Ibnu Hadjar diketahui memiliki kesaktian yang luar biasa, sehingga ia tidak bisa ditangkap oleh siapapun kecuali menyerahkan diri sendiri,” ucapnya.

BACA JUGA : The Banjarmasin Secret; Berburu Harta Karun BJ Haga, Gubernur Borneo Tahun 1938-1942 (4)

Atas kondisi Kalsel di era kemerdekaan RI, Yusliani Noor pun agaknya setuju dengan kata pepatah, bak ayam mati di lumbung padi. Sebuah elegi di Tanah Banjar.

“Kapan harta karun itu benar-benar menjadi milik masyarakat Kalsel? Dari catatan sejarah, jelas Kalimantan sangat kaya dengan sumber daya alam yang melimpah, apakah itu berupa intan permata, emas hingga sekarang batubara yang juga telah dieksploitasi di era kolonial Hindia Belanda,” imbuhnya.(jejakrekam)

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2020/04/08/elegi-tanah-banjar-bak-ayam-mati-di-lumbung-padi/
Penulis M Syaiful Riki
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.