Membumikan Istilah Tren Saat Pandemi Covid-19 dalam Bahasa Bakumpai

0

PANDEMI virus Corona (Covid-19) kini menjelma menjadi momok menakutkan bagi sebagian besar masyarakat di Indonesia, tak terkecuali Kalimantan Selatan.

DISKUSI terpumpun intelektual muda, akademisi dan warga Bakumpai sejatinya digelar secara langsung. Namun, guna menghindari pertemuan dalam skala menengah, forum memutuskan diskusi secara online atau dalam jaringan (daring), Senin (30/3/2020) malam.

Topik utama yang menjadi bahan diskusi adalah istilah seputar Covid-19 dalam bahasa Bakumpai.

BACA : Saat Istilah Asing Viral Di Tengah Wabah Corona Dinatularisasikan Ke Bahasa Daerah

Antropolog FKIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Nasrullah menuturkan istilah lockdown, isolasi, social distancing, pandemi dan sebagainya menjadi tren di tengah masyarakat di masa sulit seperti sekarang.

“Istilah-istilah tersebut  yang menyertai bayangan orang sakit, kematian, kota yang sepi, akibat wabah mematikan itu,” ucap Inas sapaan akrabnya.

BACA JUGA : Batatamba, Menggali Ritus Dan Metode Penyembuhan Penyakit Di Tengah Masyarakat Bakumpai

Ia menjelaskan istilah tersebut sebenarnya ada dalam bahasa Bakumpai seperti manumpung buang”, “mambenyem arep”, “melai si junjung”, “hadari” dan mungkin banyak lagi istilah lokal yang mudah dipahami, walaupun secara makna tidak 100 persen sama.

“Kita mengenal istilah ‘mansan’ secara konsep sama dengan istilah lockdown, walaupun maknanya mungkin bisa saja berbeda,” ucap antropolog jebolan UGM Yogyakarta ini.

Tokoh senior Bakumpai lainnya, Abdurrahmah Al Husaini menuturkan istilah saraksaru atau pergantian siang menuju malam menjadi pantangan bagi masyarakat terutama bagi anak-anak.

BACA JUGA : Suku Bakumpai, Penyambung Kesultanan Banjar Dengan Masyarakat Dayak

“Larangan ini tepatri hingga sekarang. Nah, setelah dipelajari lebih lanjut secara ilmiah, memang tidak baik bagi kesehatan,” kata Abdurrahman.

Seniman Bakumpai Kasmudin mengungkapkan Sanggar Permata Ije Jela yang dia pimpin pernah mengkreasikan tarian Mahelat Lebu yang dipentaskan dalam festival tari daerah se-Kalsel, pada 2010 silam.

“Kami menggunakan beragam simbol untuk membentengi kampung dari gangguan alam gaib maupun gangguan dari alam nyata,” imbuhnya.

Peserta lainnya Indra Gunawan berpendapat dalam sejarahnya DAS Barito, pernah mengalami wabah besar yang melanda masyarakat. Yakni, wabah kolera.

“Wabah inilah yang mengubah sejarah Perang Barito, banyak pasukan yang berperang pada masa itu terjangkit kolera, sehingga kekuatan melemah, dan bisa ditaklukkan pasukan Belanda,” ucapnya.

Aktivis lingkungan Adenansi berpendapat sebelum memutuskan lockdown ataupun karantina persoalan utama yang dijawab adalah ketahanan pangan.

“Orang tetua kita dulu setiap rumah punya tabungan padi yang cukup hingga tiga tahun, apakah saat ini ketahanan pangan masih bisa jika harus memutuskan lockdown,” tanya dia.

Adenansi menyebut pengalaman bertemu dengan masyarakat Pegunungan Meratus yang memiliki ketahanan pangan yang baik, simpanan padi bisa bertahan hingga 11 tahun.

“Nah sekarang beberapa daerah yang dulunya dikenal lumbung padi, malah kini harus membeli ke luar daerah. Jika ketahanan pangan kita rapuh, dikhawatirkan akan berujung chaos,” ujar dia.

BACA JUGA : Gerakan Laung Bahenda, Sebuah Perlawanan Simbolik Dan Kearifan Dayak

Sementara itu, Sirajul Rahman, anggota DPRD Kalteng berpesan kepada masyarakat Bakumpai untuk tetap semangat, meski pun di tengah mewabahnya Covid-19.

“Kita harus membawa rasa optimisme dalam jiwa, namun tetap dengan menjaga jarak. Dengan bersemangat Hamburuan, kita semakin menguat, sehingga imun tubuh meningkat di tengah wabah Covid-19 ini,” tutup Sirajul.(jejakrekam)

Penulis Ahmad Husaini
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.