Serpihan Surga

0

Oleh : Almin Hatta

ADA sebuah perkampungan baru, entah di kabupaten mana, entah di provinsi mana, entah di negara mana. Tapi, apa pula perlunya batas wilayah antara kabupaten/kota, kalau cuma membuat orang saling tuding menyebab banjir, misalnya? Apa pula perlunya batas negara, kalau itu justru membuat penduduknya harus terlibat sengketa, sebagaimana di Papua sana?

KEMBALI ke soal perkampungan baru tadi. Jalan-jalannya mulus, naung oleh pohon-pohon rindang, dan semarak dengan ribuan jenis bunga yang memenuhi sekian banyak taman di mana-mana. Rumahnya mewah semua. Segenap penduduknya orang kaya pindahan dari pusat kota.

Mereka semua sudah sekian lama resah karena kehidupan yang sudah sedemikian ruwetnya: setiap saat terperangkap macet, setiap saat dicekam intrik, setiap saat diterpa gosip, dan setiap saat tak pernah tidur lelap karena maling dan rampok tak pernah henti mengintip. Dan, setiap saat gelisah dihantui virus corona yang setiap saat bisa merenggut nyawa.

Maka dibuatlah perkampungan baru yang serba nyaman itu. Perkampungan yang bebas dari macet, bebas maling, bebas gosip, bebas virus, bahkan bebas dari terpaan politik. Maka segenap orang kaya pun berbondong-bondong pindah ke sana.

Untuk lebih melengkapi kenyamanan, orang-orang kaya itu cuma datang berpasang-pasangan, suami dan istri saja. Sedangkan anak-anak mereka ditinggal di pusat kota. Dengan demikian, hidup mereka benar-benar bebas dari urusan anak-anak yang terkadang memang menyakitkan kepala.

Setiap hari kerja warga perkampungan itu cuma belanja di mall yang juga tersedia di sana, nonton film, senam kebugaran, jalan santai di jalan khusus yang sejuk dan nyaman, minum-minum di kafe yang tenteram, atau ngobrol di gedung pertemuan yang indah menawan.

Tapi, beberapa waktu kemudian, salah seorang perempuan penghuni perkampungan baru itu mulai merasakan adanya ketidakberesan. Ia merasa bahwa kehidupan yang mereka jalani dari hari ke hari tak lagi sebagaimana layaknya kehidupan di dunia nyata, tapi entah di dunia mana. “Kehidupan di sini tak normal. Kehidupan di sini tak manusiawi. Kehidupan di sini tak duniawi,” teriaknya, lalu pergi, kembali ke pusat kota yang hiruk-pikuk dari pagi hingga pagi berikutnya muncul kembali.

Cerita di atas memang tak pernah ada di dunia nyata, melainkan cuma dalam sebuah film saja. Meski demikian, ia bukan sekadar cerita kosong belaka. Melainkan gambaran bahwa kehidupan di dunia tak mungkin ditata menyerupai kehidupan di surga. Intinya, sekadar serpihan kehidupan surga pun ternyata tak bisa pas untuk segenap manusia yang masih hidup di dunia.

Karena itu, janganlah terlalu risau jika kita setiap hari terperangkap kemacetan lalulintas. Janganlah terlalu galau jika setiap hari kita menemukan korupsi belum juga tuntas diberantas. Janganlah terlalu kesal jika setiap hari kenyamanan makan kita diganggu bocah kecil pengemis yang bau amis.

Janganlah terlalu risau jika setiap hari pedagang kaki lima masih saja menggelar dagangan semaunya. Dan bahkan janganlah kita risau jika tiap hari masih banyak orang yang bangga berbuat dosa.

Soalnya itu tadi: kita semua hingga hari ini masih bermukim di dunia, bukan di surga nun jauh di alam lain sana. Kita memang bisa membuat seperpisan surga di dunia, tapi selamanya tak akan pernah sama dengan surganya Tuhan Yang Maha Kaya di akhir sana.(jejakrekam)

Editor Almin Hatta

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.