Demokrasi dan Oligarki Lokal: Refleksi Kritis Menyongsong Pilkada di Kalsel

0

Oleh: Muhammad Uhaib As’ad

BERAKHIRNYA pemerintahan Orde Baru setelah berkuasa selama 32 tahun telah melahirkan transisi demokrasi. Transisi demokrasi merubah instutisi kekuasaan otoriter menjadi lebih demokratis.

DI ERA transisi demokrasi telah melahirkan para petualang politik atau penumpang gelap, yaitu sekelompok orang atau populer disebut oligark- predator (Vedi R Hadiz, 2011). 

Para oligark lokal dan oligark pusat telah menguasai sumberdaya ekonomi dan politik negara. Transisi demokrasi menjadi arena persekongkolan secara legal yang dilindungi oleh  penguasa (negara). Dalam hal ini, (lihat buku State and Ilegality in Indoneaia, karya Edward Aspinal dan Van Klinken, 2010). 

Tampilnya sejumlah Kompol bisnis  di arena panggung demokrasi saat ini, semakin meramaikan jagad perpolitikan lokal maupun nasional. Proses demokrasi yang semakin liberal tidak terbendung lagi dan demokrasi pun berjalan seperti tidak punya arah tujuan yang jelas.

BACA : Mengharumkan Uniska, Uhaib As’ad Masuk Deretan Editor Jurnal Internasional

Demokrasi telah menjadi mitos yang diformalkan oleh negara. Demokrasi ibarat pasar gelap dan menjadi arena perjudian kekuasaan dan praktek mafia demokrasi yang tidak terhindarkan (Mary McCoy, 2019).

Alih-alih membangun demokrasi substantive seperti yang diteorisasikan oleh William Case (2006), justru yang lebih menonjolkan wajah demokrasi formalisme  dan prosedural yang sarat dengan pesekongkolan dan  transaksional.

Kekuatan modal telah memangsa institusi negara, sementara  partai politik  tidak lebih sebagai instrumen pembabtisan  para oligark  lokal dan oligark pusat. Yang lebih menyedihkan lagi,  partai politik menjadi arena pelembagaan feodalisme dan politik famili.

Mentalitas feodalisme dan politik famili yang bersarang di balik institusi partai politik itu, semakin membuka mata dan pikiran bangsa ini bahwa proses demokrasi sedang berada di jalan yang sesat.

Tulisan Edward Aspinall, Democracy for Sale (2019) dan Tom Pepinski yang menyebut praktik demkorasi di Indonesia saat sedang berada dalam fase back sliding of democracy (kemunduran demokrasi).

BACA JUGA : Gurita Korupsi Politik dan Menjemput Ajal Anak Bangsa

Peneliti asing tersebut, sesungguhnya telah memberikan argumen  berharga, suka atau tidak suka bahwa bangsa ini telah mengalami defisit demokrasi atau darurat demokrasi (the danger of democracy) yang berkepanjangan.

Setidaknya ada dua argumen yang dapat dibangun untuk menjelaskan problem demokrasi saat ini. Pertama, proses demokrasi dan sistem politik yang lahir pasca pemerintahan Orde Baru lebih lebih merepresentasikan kepentingan para elite politik atau para oligark.

Oleh karena itu, apa pun produk demokrasi lebih mewakili kepentingan kelompok elite atau para oligark dari pada Kepentingan publik. Kedua, instumen demokrasi telah dikuasai oleh elite dan menguasai instrumen demokrasi itu melalui proses demokrasi yang sarat politik uang dan persekongkolan.

Perlu dipahami bahwa tidak selamanya kelompok oligarki- predatoris meduduki jabatan formal, misalnya di lembaga legislatif dan eksekutf, tetapi berusaha menempatkan orang- orang atau para loylis masuk dalam lingkaran kekuasaan.

BACA LAGI : Buku dan Film Itu Membangkitkan Libido dan Andrenalin Intelektualku

Orang-orang atau para loyalis yang diselundupkan masuk dalam jajaran birokrasi pemerintahan atau membiayai seseorang menjadi legislatif, setidaknya diharapkan menjadi agen patronase bisnis dan politik bagi kepentingan oligark Kekuatan oligark lokal dan pusat telah menyeret proses demokrasi ke wilayah  kepentingan oligark.

Hal ini senada dengan ucapan Noreena Hertz (2011) dalam buku The Silent Take Over,  bahwa demokrasi telah dibajak oleh kekuatan modal atau pasar. Pembajakan seperti ini kata Hertz biasanya dilakukan oleh kelompok status quo (anti perubahan), yang menghendaki bertahannya suatu  kekuasaan dan ke kelompok-kelompok yang membawa kepentingan ekonomi dan politik.

Mentalitas seperti ini adalah refleksi dari mentalitas penguasa  Orde Baru yang berusaha melanggengkan patronase politik dan ekonomi dalam genggaman segelintir orang.

Proses demokrasi telah terkontaminasi oleh kelompok oligarki dan mendikte kebijakan penguasa lokal atau pusat dengan kekuatan modal dan memposisikan penguasa sebagai klien (client) dan Oligark (pengusaha) sebagai patron. Sebuah fakta paradoks di era transisi demokrasi.

BACA LAGI : Jenderal Kunyuk dan Komparador

Konsolidasi demokrasi yang compang camping ini, walaupun institusi kekuasaan telah mengalami perubahan, namun perubahan itu tidak diiringi oleh perubahan perilaku aktor politik yang masih bermental oligarki-predatoris. Oleh kerena itu, tidak aneh bila arah demokrasi menjadi oligarkis yang dikendalikan para aktor bisnis.

Seiring perjalanan  demokrasi, kelompok oligark semakin terdesentralisasi ke level lokal. Fakta ini semakin memperjelas bahwa demokrasi oligarki semakin berkembang pasca pemerintahan Orde Baru. Demokrasi lokal telah dimanfaatkan oleh kelompok  oligark  membangun patronase politik dan bisnis.

Sengkarut landscap demokrasi saat ini, salah satu faktornya adalah karena mentalitas para elite politik masih bermental oligarki- predatoris karena desain  demokrasi yang dibangun telah melegalkan praktek demokrasi oligarki. (Aspinall, 2010 dan Hafiz, 2011).

Sebagai leading argument untuk menjelaskan perilaku oligark-pradatoris yang terdesentralisasi di level lokal setidaknya dapat dijelaskan, antara lain: Pertama, penguasaan sumberdaya ekonomi (bisnis) dan politik saat ini relatif masih sama dengan mentalitas elite Orde Baru yaitu mentalitas keserakahan (predatoris).

Kedua, pola relasi kuasa, baik lokal atau pusat sama-sama berwatak oligarkis-predatoris. Ketiga, para oligark- predatoris pola pendekatan yang digunakan adalah menggunakan institusi kekuasaan dan birokrasi pemerintah. Perpaduan ketiga pola itu kemudian membentuk kontinuitas pola warisan Orde Baru dan berkolaborasi dalan jaringan bisnis dan politik.

BACA LAGI : Denny Indrayana Akui Politik Kalsel Masih Dikuasai Oligarki Lokal

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), sebagai salah satu arena ditengah kontestasi demokrasi yang berbiaya mahal,  telah mengudang intervensi modal atau kelompok bisnis, baik sebagai kandidat atau sebagai donator politik (Political broker). Kandidat yang terpilih akan memberikan konsesi politik dan ekonomi sebagai politik balas jasa melalui pemberian proyek-proyek infrasturktur, proteksi kebijakan, dan lesensi pe nguasaan sumber daya alam (Aspinall dan Uhaib,. 2013 dan 2014, Hidayat, 2006).

Mengamati dinamika politik lokal bulan dalan konteks pengelolaan sumber daya alam, baik sebelum dan setelah Pilkada, bagi daerah yang memiliki potensi sumber daya alam, justru tidak memberikan kontribusi signifikan bagi membangun ekonomi dan infrastruktrur lainnya bila dibandingkan kerusakan lingkungan dan hilangnya lahan-lahan warga lokal.

Pembajakan sumber daya alam oleh para oligark bisnis salah satu dampak dari keterlibatan pengusaha dalam kontestasi demokrasi  dan sumber daya alam menjadi instrumen persekongkolan bisnis dan politik.       

BACA LAGI :  Ritual Pemilukada dalam Perspektif Teori Dramaturgi 

Di tengah kapitalisasi demokrasi atau pasar gelap demokrasi, keterlibatan sejumlah pengusaha tambang yang mengatur irama permain politik lokal, semakin menjadikan pasar demokrasi bernilai mahal dan pragmatis. Oleh karena itu, pasca Pilkada para oligark-predatoris tambang mereposisi diri masuk dalam lingkaran patronase penguasa yang terpilih dalam Pilkada dan menyandera kekuasaan.

Semoga refleksi pemikiran ini menjadi medan lagi para  akademik bagaimana menggunakan perspektif ini dalam membaca dinamika politik lokal di Kalimantan Selatan dalam kontestasi elektoral 2020 ini.(jejakrekam)

Penulis adalah Peneliti pada Institute of Politics and Public Policy Studies Banjarmasin

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.