Kekerasan Versus Kekuasaan

0

Oleh : Anang Rosadi Adenansi

SUDAH bukan rahasia umum lagi, jika kita membaca media cetak dan oline, serta menyimak kabar di televisi, penjahat-penjahat kelas teri diperlakukan dengan tidak semestinya. Satu kaki bolong bahkan dua duanya bolong. Alasannya jelas melawan petugas dan berusaha kabur.

IRONISNYA media massa pun menyiarkan hal itu seakan tanpa dosa, bahkan terkesan bangga menghukum orang sebelum diadili dengan menggunakan asas praduga tak bersalah. Semua itu seperti tak ada urusan.

Mengapa saya mengangkat masalah ini? Ini penting. Karena suatu kelaziman yang buruk sekalipun akan mènjadi pembenar jika terus dilakukan berulang- ulang. Itu sama halnya kebohongan yang terus menerus diviralkan, hingga dia akan menjadi pembenar akan tindakannya. Karenanya, hal ini sangat berbahaya.

Dengan catatan, jika tidak dikendalikan, karena kekerasan yang dilakukan penjahat kelas teri. Sebab, dalam kamus saya, penjahat besar sebenarnya adalah koruptor. Nah, kalau penjahat kelas teri dibalas dengan arogansi kekuasaan dan kekuasaan yang absulut itu, maka mereka atau oknum akan menggunakan mengeksekusi melakukan tindakan kekerasan lagi. Inilah cerminan hukum kita, tanpa batas ketika mereka miliki kekuasaan.

BACA : Keadilan di Ruang Publik, Perspektif Agama-agama

Hukum yang baik seharusnya bukan seperti itu. Aparat penegak hukum atau siapapun harus diberi hukuman yang lebih keras jika melakukan kesalahan. Rumusannya harus seperti itu. Jika mereka tembak kaki penjahat, maka seandainya bukan prosedur tetap (protap), maka tentu ada sanksi.

Di Indonesia, walau pun di muka persidangan, tetap saja majelis hakim tutup mata karena salah menafsirkan simbol keadilan dengan mata tertutup dan pedang terhunus. Seandainya setiap peluru diaudit mulai peluru hampa karet dan peluru tajam, tentu cerita menjadi lain.

Seandainya dilakukan tindakan forensik, maka pasti ketahuan apakah penjahat ditembak dari jarak dekat atau jarak jauh. Karena ukuran lubang tembakan dapat terdeteksi.

Penanganan hukum seperti ini sangat berbahaya. Apalagi, setelah itu dilakukan pemidanaan di lembaga permasyarakatan, bukannya tambah baik justru banyak kasus justru tambah canggih. Sebab, pemerintah  terkesan abai memaknai arti lembaga permasyarakatan.

BACA JUGA : Pasal Karet Rancangan KUHP Berpotensi Ancam Kebebasan Pers

Lapas atau lembaga pemasyarakatan yang penuh jejal tidak manusiawi, justru di sisi lain pemerintah cuek asyik dengan diri dan kelompoknya. Padahal, biaya makana untuk warga binaan yagn mencapai Rp 1,3 triliun itu sangat rentan menjadi bancakan.

Sepatutnya, narapidana menanggung biaya makannya sendiri. Kecuali yang benar-benar tidak mampu, itu pun harus berutang kepada negara. Ini perlu, karena menurut pendapat saya, hal itu akan membangun tanggugjawab keluarga. Sebab, ketika masuk lapas akibat perbuatan jahat tidakselamanya jahat. Jangan sampai lapas justru menjadi pengucilan atau tempat pembuangan.

Dipandang dari terminologi keadilan, tentu sangat tidak adil ketika seseorang melakukan kesalahan maka rakyat disuruh menanggung kesalahannya  dengan ikut memberinya makannya, baca APBN berasal dari uang rakyat.

BACA LAGI : Bagir: Wartawan Jangan Terlena Kemerdekaan Pers

Oleh karenanya, perlu perubahan dalam UU Lapas dan juga KUHP/KUHAP, kembali kepada persoalan awal. Yakni, kekerasan tidak boleh dilawan kekerasan oleh aparat, karena akan melahirkan kekerasan-kekerasan yang lebih sadis lagi. Tentu saja, korbannya adalah masyarakat sebagai sasaran kejahatan, bahkan bisa diprediksi kecendrungan main hakim sendiri akan terus meningkat.

Saya melihat justru pemerintahan sekarang sangat lemah dalam penegakan hukum dan membangun basis hukum. Memang, membangun infrastruktur gampang dan memang sudah benar, walaupun berutang tetapi infrastruktur hanya dapat membangun pemerataan, bukan keadilan.

BACA LAGI : Mempropartifkan Indonesia (Menyelesaikan Konfilk Dengan Pendekatan Kemanusiaan Berbasis Keadilan) (1)

Keadilan bisa terbangun dan dapat dibangun oleh penegakan hukum yang keras dan terukur. Pemerintahan sekarang harusnya mulai fokus membenahi institusi kepolisian. Sejatinya, setiap kejadian bagian dari pembelajaran dan intropeksi  seperti misalnya, kenapa sasaran kemarahan dan lampiasan teroris selalu polisi?

Begitu juga kejadian di masyarakat, tidak lain karena polisi merupakan garda depan keamanan pelayanan masyarakat di bidang hukum. Pasal-pasal juga ditetapkan polisi untuk menuntut, hampir dan bisa jadi rentan penyelewengan jika kekuasaan yang absolut ini, tidak terkontrol dan dikontrol.

Oleh karenanya, pemerintahan sekarang harus membuka mata lebar-lebar dan meluaskan pendengarannya agar lebih fokus memimpin republik ini. Bukan hanya melakukan hal standar dengan Omnibus Law di Indonesia perlu “trailer law”, “buldozer law” dan “crusher law” di periode akhir ini. Sebab, jangan melakukan hal yang standar, karena Indonesia perlu terobosan yang konkret.(jejakrekam)

Penulis adalah Mantan Anggota DPRD Kalsel

Pegiat Anti Korupsi dan Kemasyarakatan

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.