Berilah!

0

Oleh : Almin Hatta

PEMDA DKI Jakarta beberapa waktu lalu menetapkan Perda tentang Larangan Memberi kepada Pengemis. Bahkan Perda tersebut telah diberlakukan sejak beberapa bulan sebelumnya. Pemberlakukan Perda Larangan Memberi itu kontan menuai kontroversi.

PASALNYA, sejumlah orang yang ketahuan memberi pengemis di jalanan langsung ditangkap. Lalu “disidangkan”, dan dijatuhi hukuman berupa denda sekian juta rupiah atau kurungan badan sekian bulan.

Belakangan ada wacana pembuatan Perda serupa di sejumlah daerah, termasuk di Kota Banjarmasin. Entah siapa yang pertama melontarkan wacana itu di Banjarmasin, entah bagaimana kelanjutannya, sampai sekarang tidak ada kejelasannya (boleh jadi sudah diperdakan, tapi saya tidak mendapat informasinya).

Sebelum Pemkot Banjarmasin terlanjur membuat Perda tersebut (kalau memang belum diperdakan), saya ingin mengutaran kisah di zaman kekhalifahan dulu, sebagaimana dituturkan kembali oleh Al-Syahid Murtadha Muthahhari lewat cerita berjudul Laki-Laki Tak Dikenal (terjemahan M Ali Hasan).

Dikisahkan, suatu hari seorang lelaki berpakain sederhana melintas di perkampungan  pinggiran kota. Matanya tiba-tiba tertuju pada seorang perempuan yang tertatih-tatih menggendong gentong air menuju rumahnya.

BACA : Butuh Modal, Tak Semua Pengemis Itu Dari Keluarga Tak Mampu

Tanpa bertanya, lelaki itu mengambil gentong tersebut dan memanggulnya sampai ke rumah si wanita. Setibanya di rumah itu ia tak melihat seorang pun lelaki dewasa. Maka ia berkata, “Sekiranya ada lelaki dewasa di sini, tentulah ia yang mengambil air ini,” katanya.

Perempuan paro baya itu pun mengangguk mengiayakan, sembari mengatakan, “Suamiku seorang tentara. Beberapa waktu lalu dia dikirim Khalifah Ali bin Abi Thalib ke garis depan perbatasan, dan ia gugur sebagai seorang pejuang.”

Lelaki tak dikenal itu diam saja, tak memberikan komentar apa-apa, lalu pamit sambil mengucapkan salam sebagaimana mestinya. Tapi besoknya ia muncul lagi, membawa daging, tepung terigu, dan kurma. “Aku sengaja membawakan makanan ini untuk anak-anakmu,” katanya ketika perempuan pemilik rumah membukakan pintu untuknya.

Setelah duduk sejenak, lelaki itu berkata lagi. “Aku ingin memperoleh tambahan pahala. Maka izinkanlah aku memasak daging dan roti itu, atau kau yang memasaknya dan aku yang menjaga anak-anakmu,” ujarnya.

Ketika semuanya sudah siap dihidangkan, lelaki itu pun membantu menyuapi anak-anak perempuan yang menjanda itu. “Maafkan Ali bin Abi Thalib, kalau dia telah menyia-nyiakan hakmu,” ujarnya.

BACA JUGA : Tidak Mampu Secara Ekonomi Menjadi Alasan Untuk Mengemis

Belum lagi perempuan itu menjawab, tiba-tiba muncul  seorang perempuan tetangganya. Ketika melihat lelaki itu, ia pun berkata, “Tidakkah kau kenal siapa lelaki yang menyuapi anak-anakmu itu? Sesungguhnya dia adalah Amirul Mukminin Khalifah Ali bin Abi Thalib,” katanya.

Janda itu tentu saja terkesima, dan buru-buru memberi hormat sambil memohon maaf. Tapi, “Tidak, jangan kau meminta maaf. Justru akulah yang harus meminta maaf kepadamu, sebab akulah yang telah menyia-nyiakan hakmu akan keberadaan suamimu,” jawab Sayidina Ali sambil mohon pamit untuk pergi.

Kisah di atas bukan sekadar soal pemberian. Tapi lebih kepada tanggung jawab seorang penguasa kepada rakyatnya. Jadi, yang harus dilakukan bukanlah melarang orang memberi kepada sesama. Melainkan bagaimana mengatasi kesusahan rakyat tak berpunya. Maka, berilah!(jejakrekam)               

Editor Almin Hatta

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.