Menertawakan Diri Sendiri

0

Oleh : Almin Hatta

KITA semua kerap terjebak dalam apologia, membanggakan diri sendiri: Aku yang terbaik,  aku yang terhebat,  paling tampan, paling cantik, paling pintar, paling jago, paling kuat, paling benar. Pokoknya paling segalanya.

BAHKAN kita kerap pula terperangkap dalam opologi negatif, merasa diri sendiri yang paling kekurangan: paling miskin, paling bodoh, paling jelek, paling merana sehingga tak perlu lagi memperpanjang hidup di dunia.

Bagi yang pertama, yang dilihat cuma kekurangan orang lain, lalu menertawakannya sampai terbahak-bahak dan bahkan hingga mengeluarkan dahak. Sebaliknya, kekurangan diri sendiri tak pernah disadari. Karenanya, orang yang seperti ini hampir tak pernah menertawakan dirinya sendiri. 

BACA : Pedang Waktu

Bagi yang kedua, yang dipandang cuma kelebihan orang lain, lalu mengagungkannya bagai dewa dan bahkan menista diri sendiri karena merasa tak ada apa-apanya. Karenanya, orang yang seperti ini sama sekali tak mampu tertawa. Baik menertawakan orang lain maupun menertawakan dirinya seorang. Sebab, baginya, tertawa adalah barang langka yang menjadi hak orang berpunya: punya wajah rupawan, punya jabatan, punya kedudukan, punya kelebihan pendidikan, atau punya popularitas yang membanggakan.     

Karena itulah Milan Kundera suatu ketika mengingatkan kepada kita semua: tiada kemajuan yang mungkin dicapai dalam kemanusiaan tanpa kemampuan menertawakan diri sendiri.

Soalnya adalah, orang bisa dengan mudah mengucurkan air mata, menangisi kegagalannya atau meratapi nasibnya yang sedemikian malangnya. Tapi, untuk menertawakan diri sendiri, menyadari betapa konyolnya diri ini, tak semua orang bisa melakukannya.

BACA JUGA : Beratnya Amanah Kehidupan

Padahal, semua orang, siapa pun dia, siapa pun orangtuanya, apa pun sukunya, apa pun agamanya, setinggi apa pun pendidikannya, apa pun status sosialnya, pasti ada saja kekurangannya. Sebaliknya, sebodoh apa seseorang, semiskin-miskinnya seseorang, sejelek-jeleknya tampang seseorang, pasti ada saja kelebihannya.

Tapi, orang yang berlimpahan harta, orang yang berpendidikan di atas rata-rata, orang yang kebetulan berwajah tampan atau jelita, orang yang dipercaya menduduki tahta, kerap lupa akan kekurangannya. Sehingga ia menjadi jumawa, dan kerap mengejek orang lain sambil tertawa-tawa.

Sebaliknya, orang yang berpendidikan rendah, orang yang wajahnya payah, orang yang selalu menduduki jabatan di bawah, orang yang hidupnya selalu dililit susah, kerap lupa akan kelebihan yang dimilikinya. Karena itu ia sama sekali tak berani tengadah, apalagi tertawa renyah.

Maka, yang kemudian kerap kita temukan adalah: sekelompok orang yang kerap tertawa riang sembari melecehkan lain orang, dan sekelompok orang lainnya yang selalu terlihat gundah dan bahkan pasrah.

BACA LAGI : Lembah Kehidupan

Padahal, mereka yang selalu terlihat riang dan bahkan kerap menertawakan lain orang itu belumlah tentu bahagia. Sebab, itu semua bisa saja kamuflase belaka. Di depan orang ia sengaja menampakkan kegembiraan, tapi begitu sendirian ia menangis sampai tersedu-sedan. Sebabnya tentu bisa macam-macam, misalnya rumah mewahnya disita bank atau bahkan istrinya sedang main seorang dengan pemuda tampan. 

Demikian pula mereka yang kerap terlihat gelisah dan seolah-olah pasrah, belumlah tentu hidupnya benar-benar susah. Sebab, itu semua bisa saja cuma ekspresi belaka dari sikap orang yang bersangkutan karena kelewat terpengaruh kehidupan orang lain yang dikiranya bahagia karena memiliki hampir segalanya.

Karena itu, cobalah sesekali tertawa. Bukan menertawakan siapa-siapa, tapi menertawakan diri sendiri saja yang terkadang berbuat dusta. Baik dusta dalam bicara, maupun dusta dalam sikap guna menutupi keadaan yang sebenarnya.(jejakrekam)

Editor Almin Hatta

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.